Langsung ke konten utama

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫


Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd
(Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw)

Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung.

Alhamdulillah, kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia.

Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan dengan sistem Computer Based Test (CBT) secara daring, dilanjutkan dengan wawancara intensif yang menggali bukan hanya isi kepala, tapi juga kekuatan hati. Di sinilah, kelimanya berdiri tegak, menjawab tantangan bukan hanya dengan kecerdasan intelektual, tetapi juga kedalaman ruhani dan keteguhan cita.

Keberhasilan ini tak lahir dari keajaiban yang turun tiba-tiba dari langit. Ia adalah buah dari proses panjang yang ditanam dalam keheningan pesantren: ayunan suara guru saat mengajar kitab, tetes peluh santri yang menahan kantuk demi menghafal ayat, dan doa-doa sunyi yang terbang dari ruang asrama ke langit malam, meminta agar ilmu itu menjadi cahaya yang membimbing hidup.

**

Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, yang dulu berdiri dari tekad dan harapan sederhana di sudut kota Baubau, kini menjelma menjadi taman ilmu yang harum mewangi ke penjuru negeri. Tidak lagi sekadar tempat tafaqquh fiddin, tapi menjadi kawah candradimuka yang mencetak santri dengan daya saing global, siap menyongsong tantangan zaman dengan iman dan akal yang seimbang.

Kabar kelulusan lima santri ini adalah bukti nyata kualitas pendidikan dan pembinaan yang dilakukan dengan sepenuh cinta oleh para ustad dan pembina. Di bawah bimbingan mereka, para santri bukan hanya diajarkan bagaimana membaca teks, tetapi juga bagaimana membaca zaman. Mereka dilatih bukan hanya untuk menghafal ayat, tetapi juga untuk menjadikan ayat-ayat itu pedoman hidup, dalam dunia yang terus berubah cepat dan keras.

**

Al-Azhar Kairo, Mesir — bagi umat Islam dunia, nama itu tak sekadar universitas. Ia adalah lentera yang sejak abad ke-10 telah menyalakan obor ilmu bagi para pencari kebenaran. Ribuan ulama besar lahir dari rahimnya, menyinari berbagai penjuru dunia dengan pemikiran, fatwa, dan adab. Kini, dari tanah Buton yang jauh di timur Indonesia, lima santri kita akan melangkah masuk ke gerbang peradaban itu, menyambung sanad keilmuan dari para salafus shalih, dan kelak — insya Allah — akan kembali menjadi pelita bagi bangsa.

Mereka bukan hanya membawa nama sendiri, tapi juga nama kampung halaman, nama pondok, dan nama daerah. Setiap kata yang mereka ucapkan di tanah Mesir akan menjadi perwakilan dari Buton yang teduh dan Baubau yang bersahaja. Setiap prestasi yang mereka raih akan menjadi bukti bahwa daerah ini tidak kekurangan bakat, hanya butuh kesempatan dan pembinaan yang tulus.

Inilah peran pesantren yang sejati — bukan hanya mendidik santri agar taat ibadah, tetapi juga menjadikan mereka mampu bersaing di pentas dunia, tanpa kehilangan identitas dan akarnya.

**

Dalam wajah Almawaddah, Fegita, Azhar, Fahriansyah, dan Ilham, kita melihat refleksi dari masa depan pendidikan Islam Indonesia. Mereka adalah simbol bahwa kesungguhan tak mengenal batas geografi. Bahwa mimpi besar bisa tumbuh dari ruang kecil pesantren yang beratapkan seng dan berlantaikan tikar, asalkan disiram dengan semangat dan istiqamah.

Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid telah membuktikan, bahwa dari sudut timur Indonesia ini, dari tanah Buton, Kota Baubau yang sederhana, bisa lahir insan-insan pilihan yang menggetarkan dunia. Mereka pergi bukan untuk meninggalkan, tapi untuk memperdalam. Mereka berangkat bukan untuk membanggakan diri, tapi untuk mengangkat harkat umat.

Sebagaimana kata para ulama, “Barangsiapa berjalan dalam jalan ilmu, maka ia sedang menapaki jalan menuju surga.” Maka kelima santri ini, dengan restu orang tua dan bimbingan para guru, kini sedang menapaki jalan itu — jalan panjang yang akan mereka lalui dengan sabar, tawadhu’, dan cinta akan ilmu.

**

Mari kita doakan, agar setiap langkah mereka di bumi para Nabi menjadi langkah yang penuh berkah. Agar setiap huruf yang mereka baca di Al-Azhar menjadi cahaya yang menuntun pulang ke tanah air dengan ilmu yang berguna. Dan agar kelak, saat mereka kembali, mereka menjadi kekuatan intelektual yang tidak hanya mampu menjawab pertanyaan zaman, tetapi juga membimbing umat dengan hikmah dan kasih sayang.

Barakallahu fiikum, para pejuang ilmu dari Baubau dan Buton. Kalian adalah matahari kecil yang akan bersinar di negeri para ulama. Semoga cahaya kalian memancar hingga kembali ke tanah Buton, membawa ilmu, membawa kemuliaan, dan membawa perubahan.

Kami menanti jejak-jejak kalian kembali — dengan segudang hikmah, dan sejuta cinta untuk negeri.. Teruslah Menginsipirasi!, and Go On!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...