(Sang Pengelana Pendidikan)
Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna.
Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid.
Empat tokoh yang bersahaja namun punya cakrawala luas hadir pagi itu. Ustadza Nurmarlina Sabirin, Pimpinan Pondok Putri Al-Amanah, memulai dengan refleksi: "Santri hari ini bukan hanya diajarkan mengaji dan fiqih, tapi harus dibekali dengan kemampuan berpikir kritis dan menjawab zaman. Kita harus berani keluar dari zona nyaman, tapi tetap menjaga akar."
Ustad Ramsul Hasan, Sekretaris Pondok Al-Amanah yang tekun dan tenang, menambahi: "Sistem harus terus diperbaiki. Bukan semata agar terlihat modern, tapi agar efisien. Administrasi, kurikulum, dan pengelolaan SDM harus terus diperbarui. Kita butuh santri yang lulus bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai pemimpin."
Lalu Ustad Kasman Rauf, Anggota DPRD Buton Tengah, memandang lebih luas. "Kita di sini adalah perpanjangan tangan umat. Pondok ini harus punya strategi pembangunan berkelanjutan. Buton Tengah butuh kader. Dan pondok adalah rahim tempat mereka dilahirkan. Maka, kita harus serius memikirkan penguatan jejaring, beasiswa, dan program afirmasi pendidikan."
Ustad Jamal Ponda, bekerja di Yayasan Pendidikan di Jakarta yang dikelolah oleh pegawai Kemendikdasmen RI, mengaitkan pembicaraan dengan konteks nasional. "Lembaga pendidikan Islam seperti Al-Amanah jangan hanya berkutat pada wilayah lokal. Kita harus punya misi nasional bahkan global. Santri Al-Amanah harus siap menembus ruang-ruang keilmuan nasional, bersaing dengan lulusan perguruan tinggi umum. Relasi antar-pondok seperti Al-Syaikh Abdul Wahid dan Al-Amanah, harus terus dijaga dan dikembangkan menjadi kekuatan kultural dan intelektual."
Pagi itu obrolan mengalir, antara nostalgia dan harapan. Antara Jakarta yang gemerlap dan Baubau yang tenang. Antara suara azan di surau pondok dan suara bising kereta di ibukota. Semua menyatu dalam kesadaran bahwa kita sedang menyulam arah, bukan hanya untuk pondok, tapi untuk masa depan generasi.
Kami yang menyimak, merasa disiram oleh percikan pemikiran yang jernih dan membebaskan. Ini bukan sekadar obrolan pagi, ini adalah tafsir sosial atas misi pendidikan yang selama ini kami warisi dari para pendahulu, dari para guru, dari almarhum KH. Syaharuddin Saleh, almarhum H. Muh. Sabirin dan Ibu, dan para peletak batu pertama perjuangan, serta KH. Abdul Rasyid Sabirin, KH. Ahmad Karim, Ustad Faisal Islamy, Ustad Amir Karim, Ustad Ja'far Karim, Ustad Suddin Aly, Ustad Jamhur Baeda.
Waktu terus berjalan 08.30, obrolan kami mulai mereda, ketika suara handphone Ustad Kasman berdering dan sudah harus ke Palagimata lagi, dan jadwal keberangkatan Ustad Jamal Ponda dengan Kapal Pelni yang sudah akan siap berangkat ke Ambon jam 14.00 nanti. Sebuah foto bingkai bersama menjadi penutup pertemuan. Tak sekadar gambar, tapi simbol kesatuan niat dan cita.
Saya terdiam sejenak, lalu mencatat dalam hati: obrolan ini adalah denyut kehidupan. Ia mengurai gerak, menyisakan jejak, dan membangkitkan getaran yang tak kasat mata, tapi terasa di lubuk jiwa.
Dan semoga, sebagaimana pagi itu, segala harapan dan gagasan yang lahir dari obrolan ini tidak berhenti di meja wacana. Tapi menjelma menjadi tindakan. Menjadi jalan. Menjadi cahaya yang menerangi langkah-langkah para guru dan santri dalam mengarungi zaman yang terus berubah.
Karena sesungguhnya, pondok bukan hanya tempat belajar. Ia adalah rumah pulang, tempat gagasan bertumbuh, dan peradaban dirawat.
Komentar
Posting Komentar