Langsung ke konten utama

𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐇. 𝐌𝐮𝐡𝐚𝐦𝐦𝐚𝐝 𝐒𝐚𝐛𝐢𝐫𝐢𝐧: 𝐌𝐞𝐥𝐢𝐧𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐰𝐚 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐈𝐥𝐦𝐮 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐮-𝐁𝐚𝐮

La Rudi S.Hum., M.Pd
Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw

Setiap langkah besar dalam sejarah selalu dimulai dari mimpi. Di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, mimpi seorang pedagang sederhana bernama H. Muhammad Sabirin berubah menjadi kenyataan, menjelma dalam sebuah lembaga yang menjadi titik terang pendidikan Islam: Pondok Modern Al-Syaikh Abdul Wahid. Dari latar belakang pendidikannya yang hanya sekolah rakyat (SR), H. Sabirin mengajarkan kepada kita bahwa keterbatasan bukanlah penghalang jika keberanian dan keikhlasan telah menjadi pemandunya.

H. Sabirin dan Istri (Foto: 15 Juni 2022)

Mimpi Besar di Tengah Keterbatasan

H. Sabirin bukan seorang ulama atau cendekiawan berilmu tinggi; ia adalah seorang pedagang yang pekerja keras. Namun, di hatinya tersimpan impian besar yang melampaui batas dirinya: mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangannya, masyarakat muslim Bau-Bau membutuhkan pusat pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun karakter berlandaskan iman dan takwa.

Ketika impian itu semakin kuat, ia mengambil langkah strategis: menyekolahkan anaknya ke Pondok Modern Gontor dan Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah. Langkah ini tidak hanya menjadi jalan bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tetapi juga menjadi proses pembelajaran baginya. Selama kunjungannya ke Gontor, ia mempelajari sistem pendidikan pesantren modern—dari kurikulum hingga cara mengelola asrama.

Dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki, ia mengimbangi kekurangan itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan tekad baja untuk membawa perubahan nyata. Dari setiap kunjungan, ia menyerap wawasan dan menjadikannya bahan bakar untuk memantapkan gagasan mendirikan pesantren.

Perintisan di Tengah Tantangan

Tahun 1989 menjadi momen penting dalam perjalanan perjuangan H. Sabirin. Dengan bantuan Wali Kota Bau-Bau saat itu, La Ode Saidi, dimulailah pembangunan sebuah pondok pesantren sederhana. Awalnya, pondok ini hanyalah Taman Pengajian Al-Qur'an (TPQ) untuk anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA.

Langkah pertama ini tidak mudah. Kontradiksi di masyarakat mengemuka. Ada yang mendukung gagasan pendirian pesantren, tetapi banyak juga yang meragukan keberlanjutannya. Sebagian pihak bahkan menganggapnya langkah yang tidak realistis untuk seorang pedagang berlatar belakang SR. Namun, semangat H. Sabirin tak pernah surut. Ia meyakini bahwa upayanya ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap agama dan upaya membangun generasi Islam yang kokoh.

“Menegakkan agama Allah hanya semata-mata untuk ridha-Nya,” itulah yang menjadi pijakan utamanya. Keyakinan ini menguatkannya melewati berbagai tantangan, dari minimnya dukungan awal hingga kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik.

Tonggak Sejarah: Sistem Klasikal Modern

Pada 19 Juni 1993, babak baru dimulai. Proses belajar-mengajar yang sebelumnya berfokus pada pengajian Quran bergeser ke sistem klasikal modern, yang menggabungkan tiga pilar utama: kurikulum pesantren modern, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Agama.


Foto: Santri Perdana Berpose  Didepan Makkah Bangunan Pertama Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid (Diambil dari Sumber Koleksi Ustad Bachtiar).

Hanya dengan 19 santri awal, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid resmi memulai perjalanan barunya. Jumlah ini memang kecil, tetapi dalam keberanian untuk melangkah terletak potensi perubahan besar. Sistem yang diterapkan tidak hanya berorientasi pada pembelajaran formal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kerja sama.

Sebagaimana masjid menjadi titik spiritual yang menjiwai, sistem asrama dan figur kyai sebagai panutan menjadi inti dari kehidupan pesantren. Dengan kombinasi ini, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid tumbuh menjadi lembaga yang tidak hanya mendidik santrinya, tetapi juga menginspirasi masyarakat.

Transformasi Dukungan Masyarakat

Tantangan awal yang dihadapi pondok tidak membuat H. Sabirin menyerah. Justru seiring waktu, ia berhasil membuktikan nilai dan dampak nyata dari pondok pesantren ini. Di tengah masyarakat Bau-Bau, pondok mulai dianggap sebagai solusi pendidikan Islam berkualitas.

Keberhasilan ini tidak datang tiba-tiba; ia lahir dari kerja keras tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, dan keyakinan kuat bahwa ilmu harus menjadi warisan terbaik bagi generasi masa depan. Dari perlawanan hingga dukungan, perjalanan pondok ini mengajarkan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari ketekunan kecil.

Warisan Inspirasi dari H. Sabirin

Melalui perintisan Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, H. Sabirin meninggalkan warisan yang jauh melampaui jejak fisik bangunan. Ia mewariskan semangat untuk melangkah di tengah keterbatasan, keberanian untuk bermimpi besar, dan keteguhan dalam memegang prinsip.

Pondok ini menjadi simbol perjuangan seorang individu biasa yang mampu menciptakan dampak luar biasa. H. Sabirin tidak hanya membangun gedung, tetapi juga menciptakan perubahan paradigma dalam masyarakat tentang pentingnya pendidikan berbasis Islam.

Pelajaran yang Harus Terus Hidup

Di usia pesantren yang telah melampaui tiga dekade, jejak perjuangan H. Sabirin menjadi lentera yang tak pernah padam. Ia adalah teladan bahwa semangat perbaikan tidak mengenal batas usia, latar belakang, atau profesi. Dengan ketulusan dan visi yang jelas, seorang pedagang kecil mampu membangun benteng besar yang kini menjadi kebanggaan Kota Bau-Bau.

Pesantren ini, yang kini menjadi pusat pendidikan modern berbasis Islam, adalah bukti bahwa kebersamaan masyarakat dan jiwa semangat keagamaan dapat membangun sesuatu yang abadi. Kehadiran santri-santri yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bau-Bau adalah cermin kesuksesan visi awal H. Sabirin.

Amanah yang Tak Boleh Luntur

Seiring waktu, semangat yang ditanamkan oleh H. Sabirin harus tetap dijaga dan diteruskan. Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid adalah bukti nyata bahwa jika kita memiliki visi besar, kesungguhan untuk merealisasikannya, dan keberanian untuk mengambil langkah pertama, maka segala rintangan bisa diatasi.

Pondok ini adalah bukti nyata bahwa perubahan tidak pernah datang dari keluhan, tetapi dari aksi nyata. Dengan setiap batu yang ia letakkan, H. Sabirin tidak hanya membangun bangunan fisik, tetapi juga membangun masa depan masyarakat yang lebih baik.

Semoga perjuangan ini terus menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk menyalakan kembali obor semangat, menjadikan ilmu, iman, dan takwa sebagai jalan perjuangan yang abadi. SALAM PROGRESS!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...