![]() |
La Rudi S.Hum., M.Pd Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw |
Setiap langkah besar dalam sejarah selalu dimulai dari mimpi. Di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, mimpi seorang pedagang sederhana bernama H. Muhammad Sabirin berubah menjadi kenyataan, menjelma dalam sebuah lembaga yang menjadi titik terang pendidikan Islam: Pondok Modern Al-Syaikh Abdul Wahid. Dari latar belakang pendidikannya yang hanya sekolah rakyat (SR), H. Sabirin mengajarkan kepada kita bahwa keterbatasan bukanlah penghalang jika keberanian dan keikhlasan telah menjadi pemandunya.
Mimpi Besar di Tengah Keterbatasan
H. Sabirin bukan seorang ulama atau cendekiawan berilmu tinggi; ia adalah seorang pedagang yang pekerja keras. Namun, di hatinya tersimpan impian besar yang melampaui batas dirinya: mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangannya, masyarakat muslim Bau-Bau membutuhkan pusat pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun karakter berlandaskan iman dan takwa.
Ketika impian itu semakin kuat, ia mengambil langkah strategis: menyekolahkan anaknya ke Pondok Modern Gontor dan Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah. Langkah ini tidak hanya menjadi jalan bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tetapi juga menjadi proses pembelajaran baginya. Selama kunjungannya ke Gontor, ia mempelajari sistem pendidikan pesantren modern—dari kurikulum hingga cara mengelola asrama.
Dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki, ia mengimbangi kekurangan itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan tekad baja untuk membawa perubahan nyata. Dari setiap kunjungan, ia menyerap wawasan dan menjadikannya bahan bakar untuk memantapkan gagasan mendirikan pesantren.
Perintisan di Tengah Tantangan
Tahun 1989 menjadi momen penting dalam perjalanan perjuangan H. Sabirin. Dengan bantuan Wali Kota Bau-Bau saat itu, La Ode Saidi, dimulailah pembangunan sebuah pondok pesantren sederhana. Awalnya, pondok ini hanyalah Taman Pengajian Al-Qur'an (TPQ) untuk anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA.
Langkah pertama ini tidak mudah. Kontradiksi di masyarakat mengemuka. Ada yang mendukung gagasan pendirian pesantren, tetapi banyak juga yang meragukan keberlanjutannya. Sebagian pihak bahkan menganggapnya langkah yang tidak realistis untuk seorang pedagang berlatar belakang SR. Namun, semangat H. Sabirin tak pernah surut. Ia meyakini bahwa upayanya ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap agama dan upaya membangun generasi Islam yang kokoh.
“Menegakkan agama Allah hanya semata-mata untuk ridha-Nya,” itulah yang menjadi pijakan utamanya. Keyakinan ini menguatkannya melewati berbagai tantangan, dari minimnya dukungan awal hingga kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik.
Tonggak Sejarah: Sistem Klasikal Modern
Pada 19 Juni 1993, babak baru dimulai. Proses belajar-mengajar yang sebelumnya berfokus pada pengajian Quran bergeser ke sistem klasikal modern, yang menggabungkan tiga pilar utama: kurikulum pesantren modern, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Agama.
Hanya dengan 19 santri awal, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid resmi memulai perjalanan barunya. Jumlah ini memang kecil, tetapi dalam keberanian untuk melangkah terletak potensi perubahan besar. Sistem yang diterapkan tidak hanya berorientasi pada pembelajaran formal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kerja sama.
Sebagaimana masjid menjadi titik spiritual yang menjiwai, sistem asrama dan figur kyai sebagai panutan menjadi inti dari kehidupan pesantren. Dengan kombinasi ini, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid tumbuh menjadi lembaga yang tidak hanya mendidik santrinya, tetapi juga menginspirasi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar