![]() |
La Rudi S.Hum., M.Pd Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw |
Di balik gelombang Laut Banda, Kota Bau-Bau menyimpan kisah tentang seorang lelaki sederhana bernama H. Muhammad Sabirin. Ia bukan seorang intelektual terkemuka, bukan juga seorang pendidik mumpuni yang lahir dari perguruan tinggi besar. Namun, dari ketulusannya, lahirlah Pondok Modern Al-Syaikh Abdul Wahid, sebuah oase ilmu dan iman di Kelurahan Bataraguru. Kisah H. Sabirin adalah cerita tentang keberanian menghadapi keterbatasan, kekuatan mimpi, dan keyakinan pada cita-cita.
H. Sabirin
(Pendiri Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid 1989-2023)
Mimpi Seorang Pedagang untuk Masa Depan Umat
Seorang pedagang kecil, itulah identitas H. Muhammad Sabirin sebelum kisah besar ini bermula. Dengan latar belakang pendidikan sekolah rakyat (SR), ia mungkin tidak memiliki hak intelektual istimewa seperti para tokoh lainnya. Namun, ia memiliki sesuatu yang lebih berharga: keyakinan bahwa pendidikan berbasis nilai-nilai Islam dapat menjadi landasan kokoh untuk membangun generasi yang tangguh.
Dalam keheningan malam, di sela-sela kesibukannya sebagai pedagang, H. Sabirin kerap merenung, “Bagaimana generasi Kota Bau-Bau dapat tumbuh menjadi generasi berilmu dan bertakwa jika tak ada yang menyediakan ladang ilmu bagi mereka?” Pemikiran ini menjelma menjadi api di dalam dirinya, membakar semangat untuk melakukan sesuatu yang besar.
Jalan Menuju Mimpi: Pembelajaran dari Gontor dan Al-MawaddahKeyakinan itu semakin kuat saat ia menyekolahkan anaknya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Selama kunjungannya ke pesantren tersebut, H. Sabirin tak hanya menatap bangunan kokoh atau aktivitas santri yang sibuk. Ia juga mencatat, mempelajari, dan memahami sistem pendidikan yang diterapkan di sana.
“Masjid sebagai jiwa, kyai sebagai tokoh sentral, dan asrama sebagai wadah pembentukan karakter,” gumamnya dalam hati. Sistem ini adalah gambaran nyata dari mimpinya. Dengan tambahan pengalaman dari Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah, ia semakin mantap membawa konsep ini ke tanah kelahirannya.
Dengan ketulusan seorang ayah dan keberanian seorang pemimpin, ia bertekad mengembangkan sebuah lembaga pendidikan Islam di Kota Bau-Bau. Tekad ini bukan tentang nama besar, tetapi tentang cita-cita untuk menegakkan agama Allah dan mempersembahkan generasi yang berilmu dan berakhlak mulia.
Perjuangan Awal: Dari TPQ hingga Pesantren Modern
Langkah besar H. Sabirin dimulai pada tahun 1989, di bawah naungan Yayasan Perguruan Tinggi Islam Nurul Huda. Awalnya, pondok ini hanya berupa Taman Pengajian Al-Qur'an (TPQ), tempat anak-anak belajar membaca Al-Qur'an. Saat itu, masyarakat memandang TPQ ini seperti taman-taman belajar lainnya, sederhana dan tanpa pretensi besar.
Namun, H. Sabirin telah memiliki visi jauh ke depan. Dengan dukungan Wali Kota Bau-Bau saat itu, Laode Saidi, ia mulai membangun pondok yang kelak menjadi pondok pesantren modern. Meskipun hanya bermodal semangat dan kepercayaan diri, ia berhasil memulai langkah awal. Tahun 1989 menjadi tonggak sejarah, meski perjalanan ini jauh dari kata mudah.
Kontradiksi bermunculan dari masyarakat. Ada yang menganggap upaya ini hanya mimpi utopis. Sebagian orang lain bertanya, “Apa yang bisa dilakukan oleh pedagang berlatar belakang SR?” Namun, seperti karang yang berdiri kokoh di tengah lautan, H. Sabirin tidak tergoyahkan. Dalam diamnya, ia bekerja keras untuk membuktikan bahwa pondok pesantren ini bukan sekadar mimpi.
Langkah Nyata: Transformasi Sistem Klasikal Modern
Tonggak penting pondok ini terjadi pada tanggal 19 Juni 1993. Pada hari itu, dimulailah pembelajaran dengan sistem klasikal modern. Sistem ini menggabungkan kurikulum pesantren modern, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Agama.
Jumlah santri awalnya hanya 19 orang, angka yang mungkin terdengar kecil. Namun, di mata H. Sabirin, mereka adalah batu pertama yang akan menyusun bangunan besar pendidikan Islam di Bau-Bau. Di bawah bimbingan para kyai, pondok ini menjadi tempat di mana nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan ilmu pengetahuan diajarkan secara seimbang.
Dengan masjid sebagai pusat spiritual dan asrama sebagai ruang pembentukan karakter, pondok ini tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga mempersiapkan santri untuk menghadapi dunia. Di sini, ilmu dunia dan akhirat bersatu dalam harmoni yang indah.
Pondok dan Masyarakat: Harmoni yang Tumbuh
Pada awal berdirinya, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid mungkin terasa seperti anomali di tengah masyarakat. Tetapi, waktu membuktikannya. Kehadiran pondok ini lambat laun memberikan sumbangsih nyata bagi pendidikan agama di Kota Bau-Bau.
Melalui santrinya, pondok ini menjelma menjadi cahaya di tengah masyarakat. Sabirin telah berhasil menunjukkan bahwa pondok pesantren bukan sekedar tempat belajar, melainkan juga benteng moral yang mengembangkan keimanan dan ketakwaan.
Warisan Abadi H. Sabirin
Perjuangan H. Sabirin telah melampaui batasan fisik atau intelektualnya. Ia mewariskan bukan hanya bangunan, tetapi semangat dan keyakinan bahwa ilmu adalah warisan terbaik bagi generasi mendatang. Dalam perjuangannya, kita belajar bahwa kelemahan bukanlah kelemahan, tetapi justru kekuatan jika diiringi dengan keikhlasan dan doa.
Sebagai pondok pesantren modern pertama di Kota Bau-Bau, Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid adalah monumen cinta Sabirin kepada ilmu dan iman. Jejak langkahnya mengajarkan kepada kita semua bahwa perubahan besar selalu dimulai dari mimpi yang berani dan langkah pertama yang tulus.
Hari ini, Pondok Modern Al-Syaikh Abdul Wahid berdiri kokoh, menjadi lentera yang terus bersinar, membimbing santri-santrinya menuju jalan kebenaran. Dan setiap kali kita memandang pondok ini, kita diingatkan bahwa di balik kemegahan itu ada seorang pedagang sederhana yang memilih untuk memimpikan masa depan yang lebih baik bagi umat.
Semoga perjuangan H. Sabirin menjadi inspirasi abadi bagi generasi berikutnya, membawa pesan bahwa dengan iman, ketekunan, dan keberanian, kita dapat membangun sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. SALAM PROGRESS!
Komentar
Posting Komentar