Langsung ke konten utama

𝐃𝐢 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐨𝐤 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝, 𝐀𝐤𝐮 𝐃𝐢𝐛𝐞𝐤𝐚𝐥𝐢 𝐌𝐚𝐡𝐤𝐨𝐭𝐚 𝐁𝐚𝐡𝐚𝐬𝐚

La Rudi S.Hum., M.Pd
Alumni Permata Angk.3 Ponpes Saw

Bahasa adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan dunia, membuka daya tarik pemahaman, dan membawa seseorang menuju kebijaksanaan. Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, saya belajar bahwa menguasai bahasa bukan sekadar keterampilan, tetapi sebuah mahkota yang menghiasi intelektualitas seseorang. Dan di dalamnya, di antara dinding-dinding pesantren yang dipenuhi lantunan doa, aku dibekali mahkota itu—kemampuan berbahasa Arab dan Inggris, dua bahasa yang menjadi pilar peradaban Islam dan dunia.

Bukan sekedar pelajaran di kelas, bahasa di pondok ini adalah budaya, disiplin, dan kebanggaan. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk memahami ilmu yang lebih luas, menembus batas-batas zaman, dan menghubungkan kami dengan khazanah keilmuan Islam serta peradaban dunia.

Bahasa Arab: Kunci Menuju Warisan Ilmu Islam

Bahasa Arab bukan sekadar bahasa yang diajarkan di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid; ia adalah ruh yang menghidupkan setiap santri. Kami tidak hanya menghafal mufrodat dan struktur tata bahasa, tetapi juga menggunakannya dalam keseharian. Sejak hari pertama di pondok, kami diajak untuk menyelami bahasa Al-Qur'an ini dengan sepenuh hati.

(Bahasa Arab adalah mahkota bagi para pencari ilmu), begitu kata ustaz kami suatu hari. Sejak saat itu, saya memahami bahwa menguasai bahasa Arab bukan sekadar kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab.

Dari lembaran kitab kuning yang kami telaah setiap pagi hingga percakapan di asrama yang diwajibkan menggunakan bahasa Arab, kami dibentuk untuk menjadikan bahasa ini sebagai bagian dari kehidupan. Perlahan-lahan, saya mulai terbiasa membaca kitab-kitab klasik tanpa terjemahan, memahami makna Al-Qur'an tanpa perantara, dan berbicara dengan teman-teman dalam bahasa yang sebelumnya terasa asing.

Dalam setiap diskusi, kami dipacu untuk berpikir dalam bahasa Arab, menulis esai dalam bahasa yang digunakan oleh para ulama besar, dan menyampaikan presentasi dengan kefasihan yang terus diasah. Kami mengajarkan bahwa bahasa Arab bukan hanya tentang berbicara, tetapi tentang bagaimana menghidupkannya dalam setiap aspek kehidupan.

Bahasa Inggris: Gerbang Menuju Dunia Global

Jika bahasa Arab adalah warisan Islam, maka bahasa Inggris adalah jembatan yang menghubungkan kami dengan dunia modern. Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, bahasa Inggris tidak hanya menjadi mata pelajaran wajib, tetapi juga keterampilan yang harus dikuasai sebagai bekal masa depan.

Kami tidak hanya diajarkan tata bahasa dan matematika, tetapi juga bagaimana menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, debat, dan presentasi. “Bahasa Inggris bukan sekedar bahasa, itu adalah kunci dunia,” kata Ustadzku Ja'far Karim, mengingatkan bahwa menguasai bahasa ini akan membuka banyak kesempatan di masa depan.

Setiap pekan, kami mengadakan English Day, di mana kami harus berbicara dalam bahasa Inggris sepanjang hari. Awalnya terasa sulit, namun lama-kelamaan, lidah ini mulai terbiasa. Kami berbicara, menulis, dan berpikir dalam bahasa yang telah menjadi bahasa internasional ini.

Tidak hanya itu, kami juga dilatih untuk berdebat dalam bahasa Inggris, mengomunikasikan gagasan, dan menulis artikel dalam bahasa Inggris yang kini menguasai dunia sains dan teknologi. Dengan keterampilan ini, kami tidak hanya mampu memahami sastra modern, tetapi juga siap berdialog dengan dunia, membawa pesan Islam dengan kefasihan dan kepercayaan diri.

Mahkota Pondok: Menyatukan Dua Bahasa dalam Satu Jiwa

Di pondok ini, menguasai bahasa Arab dan Inggris bukan sekadar tuntutan akademik, tetapi bagian dari identitas seorang santri. Kami mengajarkan untuk menjadikan kedua bahasa ini sebagai mahkota yang memperindah pemikiran dan ucapan kami.

Dengan bahasa Arab, kami mampu menyelami samudra ilmu Islam, memahami Al-Qur'an dan hadits secara lebih mendalam, serta menghubungkan diri dengan warisan para ulama. Dengan bahasa Inggris, kami melangkah ke dunia modern, memahami perkembangan ilmu pengetahuan, dan siap menghadapi tantangan global.

Bahasa kedua ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi saling melengkapi. Dalam satu hari, kami bisa berpindah dari membaca kitab Tafsir Ibnu Katsir dalam bahasa Arab ke membahas konsep peradaban Islam dalam bahasa Inggris. Kami terbiasa dengan keragaman bahasa, memahami bahwa setiap bahasa membawa pemikiran dan budaya yang unik.

Mengasah kemampuan, Menyiapkan Masa Depan

Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, saya tidak hanya belajar bagaimana berbicara dalam dua bahasa, tetapi juga bagaimana berpikir dengan lebih luas dan mendalam. Saya menyadari bahwa bahasa bukan hanya tentang bagaimana kita berbicara, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami dunia.

Bahasa Arab mengajarkanku untuk berpikir secara filosofis dan mendalami keilmuan Islam dengan lebih otentik. Sementara bahasa Inggris membawaku pada pemahaman yang lebih luas tentang dunia modern, memungkinkan saya menjelajahi literatur global, berdiskusi dengan pemikiran dari berbagai latar belakang, dan menulis dengan perspektif yang lebih luas.

Setiap kali aku membaca Al-Qur'an dan memahami maknanya tanpa bantuan terjemahan, aku bersyukur atas ilmu yang kudapatkan di pondok ini. Setiap kali saya membaca buku dalam bahasa Inggris dan memahami gagasan penulisnya, saya merasa lebih siap menghadapi dunia.

Menjadi Duta Bahasa untuk Umat

Kini, aku sadar bahwa ilmu yang kupelajari di pondok ini bukan hanya untuk diriku sendiri. Dengan bekal bahasa Arab dan Inggris yang telah diasah, saya memiliki tanggung jawab untuk menjadi tugas bagi umat.

Saya ingin menjadi seseorang yang mampu menjelaskan Islam kepada dunia dengan bahasa yang mereka pahami. Saya ingin menulis, berbicara, dan mengajarkan Islam dengan kefasihan yang meyakinkan, menghilangkan kesalahpahaman, dan membawa cahaya kebenaran kepada siapa pun yang mencarinya.

Seperti yang diajarkan di pondok ini, seorang santri tidak hanya dituntut untuk memahami ilmu, tetapi juga untuk menyebarkannya. Dengan bahasa Arab, saya bisa menyampaikan keindahan Islam kepada sesama muslim. Dengan bahasa Inggris, saya bisa berdialog dengan dunia, membawa pesan damai dan kebijaksanaan Islam kepada mereka yang belum mengenalnya.

Kesimpulan: Mahkota yang Harus Dijaga

Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, saya tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga diberi mahkota yang akan kubawa sepanjang hidup—kemampuan berbahasa Arab dan Inggris.

Mahkota ini bukan sekadar kebanggaan, tetapi juga amanah. Ia adalah kunci yang membuka banyak pintu, baik dalam dunia akademik, sosial, maupun dakwah. Ia adalah senjata yang harus diasah terus-menerus, agar tidak tumpul di tengah zaman yang terus berubah.

Dan kini, aku siap melangkah ke dunia luar, dengan mahkota bahasa yang menghiasi pikiranku, dengan semangat untuk terus belajar, dan dengan tekad untuk menjadi bagian dari mereka yang membawa cahaya ilmu dan kebijaksanaan ke seluruh penjuru dunia.

Terima kasih, Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid. Di sini, saya tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga menemukan bahasa yang akan mengantarkan saya menuju masa depan. SALAM PROGRESS!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...