Langsung ke konten utama

(1) 𝐁𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐥𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐏𝐨𝐧𝐩𝐞𝐬 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝

Hidup adalah perpaduan antara akal, hati, dan perbuatan. Sama seperti langit tidak sempurna tanpa bintang, demikian pula manusia tidak akan mencapai kebijaksanaan tanpa keseimbangan antara berpikir, merasa, dan bertindak. Kami, alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, telah diajarkan untuk mendengarkan harmoni antara ketiganya.

La Rudi S.Hum.,M.Pd
Alumni Permata Angk.3 Ponpes Sawa

Di pondok ini, kami tidak hanya ditempa dengan ilmu, tetapi juga dengan akhlak. Kami tidak hanya berlatih untuk menghafal, tetapi juga untuk memahami. Kami tidak hanya dididik untuk membaca, tetapi juga untuk memikirkan dan bertindak. Inilah warisan paling berharga yang kami bawa ke dunia luar: pola pikir yang tajam, hati yang peka, dan langkah yang mantap.

Berpikir dengan Jernih dan Kritis

Sejak pertama kali melangkah ke gerbang pesantren, kami belajar untuk berpikir, bukan sekedar menerima. Kami belajar untuk memahami sebelum menghakimi, untuk menggali sebelum menyimpulkan.
Dalam ruang-ruang kajian, kami bergelut dengan kitab-kitab klasik, menelusuri makna di balik kata-kata para ulama terdahulu. Kami diajarkan bahwa Islam bukan sekadar kumpulan dogma, tetapi lautan hikmah yang harus dijelajahi. Berpikir bukan sekadar menyerap informasi, tetapi memikirkan, membandingkan, dan menemukan jawaban terbaik.
Dari diskusi di halaqah hingga debat di mimbar santri, kami ditempa untuk tidak takut bertanya. Sebab, kebenaran tidak datang kepada mereka yang pasif, tetapi kepada mereka yang berani mencari. Kami menyadari bahwa Islam adalah agama yang mengajak manusia untuk berpikir:
"Maka apakah mereka tidak memikirkan (berpikir)?" (QS. Ar-Rum: 8).
Kami alumni Al-Syaikh Abdul Wahid, tidak boleh menjadi generasi yang mudah percaya pada hoaks, yang terjebak dalam fanatisme buta, atau yang hanya menerima tanpa menimbang. Kita harus menjadi insan yang berpikir luas, yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara maslahat dan mafsadat.

Merasa dengan Ketulusan dan Kepekaan

Berpikir tanpa merasa akan melahirkan keringnya jiwa. Namun, merasa tanpa berpikir akan membawa kita pada ketergelinciran. Di pesantren, kami diajarkan untuk memiliki hati yang peka—merasa terhadap penderitaan orang lain, memahami kegelisahan umat, dan menyelami kedalaman perasaan sesama.
Kami belajar dari kisah para nabi dan sahabat bahwa kepekaan adalah kekuatan. Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga pemimpin yang memiliki hati lembut. Beliau menangis ketika melihat umatnya menderita, beliau tersentuh oleh kesedihan seorang anak yatim, dan beliau peka merasakan luka yang dialami kaumnya.
Dari pendidikan pesantren, kami menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri. Hidup adalah tentang bagaimana kita berbagi, membantu, dan menjadi rahmat bagi orang lain. Dari setiap shalat berjamaah, kami belajar tentang kebersamaan. Dari setiap kerja bakti di pondok, kami belajar tentang kepedulian. Dari setiap teguran ustadz, kami belajar tentang kasih sayang dalam pendidikan.
Kami memahami bahwa seorang alumni pesantren harus memiliki hati yang hidup—hati yang mampu menangis melihat kezaliman, yang mampu tersenyum dalam kesederhanaan, dan yang mampu merasakan kebahagiaan dalam memberi.

Bertindak dengan Keberanian dan Kebijaksanaan

Berpikir dan merasa tanpa tindakan hanyalah mimpi kosong. Dunia ini tidak berubah hanya dengan gagasan, tetapi dengan langkah nyata.
Pesantren mengajarkan kita untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bergerak. Kami belajar bahwa keimanan sejati bukan hanya tentang keyakinan di hati, tetapi juga amal dalam kehidupan. Kami tidak boleh menjadi mereka yang hanya pandai berteori tetapi takut melangkah.
Dari pondok, kami membawa warisan keberanian. Keberanian untuk menyampaikan kebenaran, keberanian untuk berdiri di garis depan, dan keberanian untuk mengambil risiko demi perubahan. Namun, keberanian tanpa kebijaksanaan hanyalah kesia-siaan.
Kami belajar bahwa dalam bertindak, harus ada strategi. Seperti seorang pejuang yang tidak hanya membawa senjata tetapi juga memiliki rencana, demikian pula kami dalam menjalani kehidupan. Kami harus bijak dalam bertutur kata, cermat dalam mengambil keputusan, dan adil dalam bertindak.

Menjadi Alumni yang Menginspirasi

Kini, sebagai alumni Al-Syaikh Abdul Wahid, kami membawa amanah besar. Kami bukan hanya individu biasa, tetapi bagian dari sejarah panjang pendidikan Islam yang harus terus berlanjut.
Di mana pun kami berada—di kantor, di kampus, di masyarakat—kami harus menunjukkan bahwa alumni pesantren adalah pribadi yang berpikir jernih, memiliki empati tinggi, dan bertindak dengan kebijaksanaan.
Kami harus menjadi solusi bagi masalah umat, bukan hanya menjadi bagian dari masalah. Kami harus membawa nilai-nilai pesantren ke dalam kehidupan nyata: kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan keikhlasan dalam perjuangan.
Kami adalah generasi yang harus siap beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan akar spiritual kami. Dunia bisa berubah, tetapi prinsip kami tetap: berpikir dengan akal, merasa dengan hati, dan bertindak dengan hikmah.

Penutup: Warisan yang Harus Diteruskan

Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid bukan hanya tempat belajar, tetapi juga kawah candradimuka yang menempa kami menjadi manusia yang utuh.
Kami telah belajar bahwa berpikir adalah cahaya yang mencapai jalan.
Kami telah belajar bahwa merasa adalah kekuatan yang menyatukan manusia.
Kami telah belajar bahwa bertindak adalah jembatan menuju perubahan.
Kini, saatnya kami membawa warisan ini ke mana pun kami pergi. Sebab, alumni yang sejati bukan hanya mereka yang bangga pernah mondok, namun mereka yang mampu mengamalkan ilmu dan nilai-nilai yang telah diajarkan. SALAM PROGRESS!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...