Hidup adalah perpaduan antara akal, hati, dan perbuatan. Sama seperti langit tidak sempurna tanpa bintang, demikian pula manusia tidak akan mencapai kebijaksanaan tanpa keseimbangan antara berpikir, merasa, dan bertindak. Kami, alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, telah diajarkan untuk mendengarkan harmoni antara ketiganya.
![]() |
La Rudi S.Hum.,M.Pd |
Di pondok ini, kami tidak hanya ditempa dengan ilmu, tetapi juga dengan akhlak. Kami tidak hanya berlatih untuk menghafal, tetapi juga untuk memahami. Kami tidak hanya dididik untuk membaca, tetapi juga untuk memikirkan dan bertindak. Inilah warisan paling berharga yang kami bawa ke dunia luar: pola pikir yang tajam, hati yang peka, dan langkah yang mantap.
Berpikir dengan Jernih dan Kritis
Sejak pertama kali melangkah ke gerbang pesantren, kami belajar untuk berpikir, bukan sekedar menerima. Kami belajar untuk memahami sebelum menghakimi, untuk menggali sebelum menyimpulkan.
Dalam ruang-ruang kajian, kami bergelut dengan kitab-kitab klasik, menelusuri makna di balik kata-kata para ulama terdahulu. Kami diajarkan bahwa Islam bukan sekadar kumpulan dogma, tetapi lautan hikmah yang harus dijelajahi. Berpikir bukan sekadar menyerap informasi, tetapi memikirkan, membandingkan, dan menemukan jawaban terbaik.
Dari diskusi di halaqah hingga debat di mimbar santri, kami ditempa untuk tidak takut bertanya. Sebab, kebenaran tidak datang kepada mereka yang pasif, tetapi kepada mereka yang berani mencari. Kami menyadari bahwa Islam adalah agama yang mengajak manusia untuk berpikir:
"Maka apakah mereka tidak memikirkan (berpikir)?" (QS. Ar-Rum: 8).
Kami alumni Al-Syaikh Abdul Wahid, tidak boleh menjadi generasi yang mudah percaya pada hoaks, yang terjebak dalam fanatisme buta, atau yang hanya menerima tanpa menimbang. Kita harus menjadi insan yang berpikir luas, yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara maslahat dan mafsadat.
Merasa dengan Ketulusan dan Kepekaan
Berpikir tanpa merasa akan melahirkan keringnya jiwa. Namun, merasa tanpa berpikir akan membawa kita pada ketergelinciran. Di pesantren, kami diajarkan untuk memiliki hati yang peka—merasa terhadap penderitaan orang lain, memahami kegelisahan umat, dan menyelami kedalaman perasaan sesama.
Kami belajar dari kisah para nabi dan sahabat bahwa kepekaan adalah kekuatan. Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga pemimpin yang memiliki hati lembut. Beliau menangis ketika melihat umatnya menderita, beliau tersentuh oleh kesedihan seorang anak yatim, dan beliau peka merasakan luka yang dialami kaumnya.
Dari pendidikan pesantren, kami menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri. Hidup adalah tentang bagaimana kita berbagi, membantu, dan menjadi rahmat bagi orang lain. Dari setiap shalat berjamaah, kami belajar tentang kebersamaan. Dari setiap kerja bakti di pondok, kami belajar tentang kepedulian. Dari setiap teguran ustadz, kami belajar tentang kasih sayang dalam pendidikan.
Kami memahami bahwa seorang alumni pesantren harus memiliki hati yang hidup—hati yang mampu menangis melihat kezaliman, yang mampu tersenyum dalam kesederhanaan, dan yang mampu merasakan kebahagiaan dalam memberi.
Bertindak dengan Keberanian dan Kebijaksanaan
Berpikir dan merasa tanpa tindakan hanyalah mimpi kosong. Dunia ini tidak berubah hanya dengan gagasan, tetapi dengan langkah nyata.
Pesantren mengajarkan kita untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bergerak. Kami belajar bahwa keimanan sejati bukan hanya tentang keyakinan di hati, tetapi juga amal dalam kehidupan. Kami tidak boleh menjadi mereka yang hanya pandai berteori tetapi takut melangkah.
Dari pondok, kami membawa warisan keberanian. Keberanian untuk menyampaikan kebenaran, keberanian untuk berdiri di garis depan, dan keberanian untuk mengambil risiko demi perubahan. Namun, keberanian tanpa kebijaksanaan hanyalah kesia-siaan.
Kami belajar bahwa dalam bertindak, harus ada strategi. Seperti seorang pejuang yang tidak hanya membawa senjata tetapi juga memiliki rencana, demikian pula kami dalam menjalani kehidupan. Kami harus bijak dalam bertutur kata, cermat dalam mengambil keputusan, dan adil dalam bertindak.
Menjadi Alumni yang Menginspirasi
Kini, sebagai alumni Al-Syaikh Abdul Wahid, kami membawa amanah besar. Kami bukan hanya individu biasa, tetapi bagian dari sejarah panjang pendidikan Islam yang harus terus berlanjut.
Di mana pun kami berada—di kantor, di kampus, di masyarakat—kami harus menunjukkan bahwa alumni pesantren adalah pribadi yang berpikir jernih, memiliki empati tinggi, dan bertindak dengan kebijaksanaan.
Kami harus menjadi solusi bagi masalah umat, bukan hanya menjadi bagian dari masalah. Kami harus membawa nilai-nilai pesantren ke dalam kehidupan nyata: kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan keikhlasan dalam perjuangan.
Kami adalah generasi yang harus siap beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan akar spiritual kami. Dunia bisa berubah, tetapi prinsip kami tetap: berpikir dengan akal, merasa dengan hati, dan bertindak dengan hikmah.
Penutup: Warisan yang Harus Diteruskan
Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid bukan hanya tempat belajar, tetapi juga kawah candradimuka yang menempa kami menjadi manusia yang utuh.
Kami telah belajar bahwa berpikir adalah cahaya yang mencapai jalan.
Kami telah belajar bahwa merasa adalah kekuatan yang menyatukan manusia.
Kami telah belajar bahwa bertindak adalah jembatan menuju perubahan.
Kini, saatnya kami membawa warisan ini ke mana pun kami pergi. Sebab, alumni yang sejati bukan hanya mereka yang bangga pernah mondok, namun mereka yang mampu mengamalkan ilmu dan nilai-nilai yang telah diajarkan. SALAM PROGRESS!
Komentar
Posting Komentar