Dalam keheningan yang penuh makna, di balik dinding-dinding pesantren yang dipenuhi doa, aku menemukan dunia yang tak terbayangkan sebelumnya. Dunia yang tidak hanya dibangun oleh hafalan dan ibadah, tetapi juga oleh deretan kata, lembaran kitab, dan goresan pena. Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, literasiku terasah, seperti pisau yang semakin tajam saat diasah dengan tekun.
Pondok ini bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, tetapi juga ruang di mana literasi menemukan tempatnya untuk tumbuh dan berkembang. Saya belajar bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami, memikirkan, dan menuangkan gagasan ke dalam bentuk yang bisa menginspirasi.
Buku-Buku yang Menjadi Jendela Dunia
Di awal kedatanganku, aku melihat rak-rak buku berjejer rapi di perpustakaan pondok. Ada kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama besar, ada pula buku-buku modern yang berbicara tentang peradaban, filsafat, dan sastra Islam. Saat aku membuka lembar demi lembar, seolah-olah aku sedang melintasi lorong waktu—mengenal para pemikir besar, menyelami gagasan mereka, dan menghubungkannya dengan kenyataan hari ini.
Buku yang memberi pelajaran berharga pernah yang aku baca dan hafalkan adalah Mahfudzot, Mutola'ah, dan Ta'lim Muta'allim, kitab klasik yang mengajarkan adab seorang pencari ilmu. Dari sana, saya memahami bahwa ilmu bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal ketekunan dan kesungguhan hati. Hari demi hari, kebiasaanku membaca semakin tumbuh.
Di pondok ini, saya mengajarkan bahwa membaca bukan sekadar menelusuri kata-kata, tetapi juga menyelami makna yang terkandung di dalamnya. Setiap buku adalah jendela menuju dunia yang lebih luas, dan setiap lembaran adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam.
Menulis: Jejak Pemikiran yang Abadi
Tak hanya membaca, di pondok ini aku juga belajar menulis. Awalnya, menulis terasa sulit. Kata-kata berhamburan di kepala, tetapi sulit tertata dalam kalimat yang indah. Namun, Ustadzku Faisal Islamy pernah berkata, “Tuliskan, apa yang kamu lihat, rasakan, dan lakukan, karena dengan menulis, pikiranmu akan menemukan bentuknya.”
Di sela-sela waktu belajar, aku mulai menulis. Kadang-kadang hanya sekedar catatan kecil tentang hal-hal yang kupelajari di kelas, kadang juga refleksi pribadi tentang kehidupan di pondok. Dari kebiasaan ini, saya memahami bahwa menulis bukan hanya tentang menuangkan kata, tetapi juga tentang menyusun dengan pikiran yang lebih terstruktur.
Tulisan-tulisan kecilku kemudian berkembang menjadi catatan harian, esai, artikel, skripsi, bahkan tesis. Aku mulai membacakan pandanganku tentang berbagai hal— tentang keutamaan tuntutan ilmu, tentang makna persaudaraan, tentang refleksi dari kitab yang kubaca. Dari sana, saya menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang menuangkan gagasan, tetapi juga tentang berbagi ilmu dan inspirasi kepada orang lain.
Diskusi dan Debat: Mengasah Nalar dan Retorika
Di pondok ini, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, namun juga tentang berbicara dan mendengarkan. Ada diskusi tradisi yang begitu hidup. Setiap pekan, kami berkumpul untuk membahas berbagai isu—mulai dari tafsir Al-Qur'an hingga isu-isu kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Diskusi bukan sekedar ajang untuk mengutarakan pendapat, tetapi juga latihan untuk berpikir kritis. Saya belajar bahwa berbicara bukan hanya tentang menyampaikan gagasan, tetapi juga tentang menyusun argumen dengan logistik dan meyakinkan.
Dalam ruang-ruang diskusi itu, saya bertemu dengan berbagai pemikiran yang berbeda. Ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang tertarik. Namun, dari setiap perbedaan pendapat, saya justru semakin memahami bahwa ilmu itu luas, dan kita semua adalah pencari kebenaran yang terus belajar.
Puisi dan Sastra: Keindahan dalam Kata-Kata
Di pondok ini, aku juga menemukan keindahan dalam sastra. Aku mulai mengenal puisi-puisi sufistik yang ditulis oleh Rumi dan Al-Hallaj, yang membawa jiwaku melayang di lautan makna. Aku mulai menulis puisi sendiri—tentang kesunyian malam yang dipenuhi doa, tentang kerinduan kepada keluarga yang kutitipkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tentang perjalanan mencari ilmu yang penuh tantangan tetapi juga kebahagiaan.
Aku sadar bahwa sastra adalah cara lain untuk memahami dunia. Kata-kata memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati, mengubah pandangan, dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang lembut namun mendalam.
Literasi dan Kehidupan: Pelajaran yang Tak Terlupakan
Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, literasi bukan sekedar keterampilan akademik, tetapi juga cara hidup. Kami membaca untuk memahami, menulis untuk menginspirasi, berbicara untuk menyampaikan kebenaran, dan mendengar untuk belajar dari orang lain.
Di sini, saya belajar bahwa literasi bukan hanya tentang kemampuan mengolah kata, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk karakter dan memperluas wawasan. Seorang muslim yang baik bukan hanya rajin beribadah, tetapi juga berpikir luas, memiliki kepekaan sosial, dan mampu memberikan manfaat bagi orang lain melalui ilmu yang dimilikinya.
Masa Depan yang Cerah Berkat Literasi
Kini, aku merasa beruntung telah berada di pondok ini. Di sini, saya tidak hanya belajar tentang agama, tetapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang terus bertumbuh dan berkembang melalui literasi.
Dari membaca, saya mengenal dunia. Dari menulis, aku menemukan suara. Dari diskusi, saya belajar memahami. Dari sastra, aku menemukan keindahan dalam kata-kata.
Dari semua itu, saya semakin memahami bahwa literasi adalah kunci untuk membuka pintu masa depan. Dengan ilmu yang kutimba dari pondok ini, saya siap melangkah, membawa pemahaman yang lebih luas, dan menyebarkan cahaya ilmu kepada dunia.
Terima kasih, Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid. Perdalaman literasiku terasah, dan dalam diriku menemukan makna sejati dari membaca, menulis, dan berpikir. SALAM PROGRESS!
Komentar
Posting Komentar