Langsung ke konten utama

𝐃𝐢 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐨𝐤 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝, 𝐋𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢𝐤𝐮 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐡



La Rudi S.Hum., M.Pd
Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw

Dalam keheningan yang penuh makna, di balik dinding-dinding pesantren yang dipenuhi doa, aku menemukan dunia yang tak terbayangkan sebelumnya. Dunia yang tidak hanya dibangun oleh hafalan dan ibadah, tetapi juga oleh deretan kata, lembaran kitab, dan goresan pena. Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, literasiku terasah, seperti pisau yang semakin tajam saat diasah dengan tekun.
Pondok ini bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, tetapi juga ruang di mana literasi menemukan tempatnya untuk tumbuh dan berkembang. Saya belajar bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami, memikirkan, dan menuangkan gagasan ke dalam bentuk yang bisa menginspirasi.
Buku-Buku yang Menjadi Jendela Dunia
Di awal kedatanganku, aku melihat rak-rak buku berjejer rapi di perpustakaan pondok. Ada kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama besar, ada pula buku-buku modern yang berbicara tentang peradaban, filsafat, dan sastra Islam. Saat aku membuka lembar demi lembar, seolah-olah aku sedang melintasi lorong waktu—mengenal para pemikir besar, menyelami gagasan mereka, dan menghubungkannya dengan kenyataan hari ini.
Buku yang memberi pelajaran berharga pernah yang aku baca dan hafalkan adalah Mahfudzot, Mutola'ah, dan Ta'lim Muta'allim, kitab klasik yang mengajarkan adab seorang pencari ilmu. Dari sana, saya memahami bahwa ilmu bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal ketekunan dan kesungguhan hati. Hari demi hari, kebiasaanku membaca semakin tumbuh.
Di pondok ini, saya mengajarkan bahwa membaca bukan sekadar menelusuri kata-kata, tetapi juga menyelami makna yang terkandung di dalamnya. Setiap buku adalah jendela menuju dunia yang lebih luas, dan setiap lembaran adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam.
Menulis: Jejak Pemikiran yang Abadi
Tak hanya membaca, di pondok ini aku juga belajar menulis. Awalnya, menulis terasa sulit. Kata-kata berhamburan di kepala, tetapi sulit tertata dalam kalimat yang indah. Namun, Ustadzku Faisal Islamy pernah berkata, “Tuliskan, apa yang kamu lihat, rasakan, dan lakukan, karena dengan menulis, pikiranmu akan menemukan bentuknya.”
Di sela-sela waktu belajar, aku mulai menulis. Kadang-kadang hanya sekedar catatan kecil tentang hal-hal yang kupelajari di kelas, kadang juga refleksi pribadi tentang kehidupan di pondok. Dari kebiasaan ini, saya memahami bahwa menulis bukan hanya tentang menuangkan kata, tetapi juga tentang menyusun dengan pikiran yang lebih terstruktur.
Tulisan-tulisan kecilku kemudian berkembang menjadi catatan harian, esai, artikel, skripsi, bahkan tesis. Aku mulai membacakan pandanganku tentang berbagai hal— tentang keutamaan tuntutan ilmu, tentang makna persaudaraan, tentang refleksi dari kitab yang kubaca. Dari sana, saya menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang menuangkan gagasan, tetapi juga tentang berbagi ilmu dan inspirasi kepada orang lain.
Diskusi dan Debat: Mengasah Nalar dan Retorika
Di pondok ini, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, namun juga tentang berbicara dan mendengarkan. Ada diskusi tradisi yang begitu hidup. Setiap pekan, kami berkumpul untuk membahas berbagai isu—mulai dari tafsir Al-Qur'an hingga isu-isu kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Diskusi bukan sekedar ajang untuk mengutarakan pendapat, tetapi juga latihan untuk berpikir kritis. Saya belajar bahwa berbicara bukan hanya tentang menyampaikan gagasan, tetapi juga tentang menyusun argumen dengan logistik dan meyakinkan.
Dalam ruang-ruang diskusi itu, saya bertemu dengan berbagai pemikiran yang berbeda. Ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang tertarik. Namun, dari setiap perbedaan pendapat, saya justru semakin memahami bahwa ilmu itu luas, dan kita semua adalah pencari kebenaran yang terus belajar.
Puisi dan Sastra: Keindahan dalam Kata-Kata
Di pondok ini, aku juga menemukan keindahan dalam sastra. Aku mulai mengenal puisi-puisi sufistik yang ditulis oleh Rumi dan Al-Hallaj, yang membawa jiwaku melayang di lautan makna. Aku mulai menulis puisi sendiri—tentang kesunyian malam yang dipenuhi doa, tentang kerinduan kepada keluarga yang kutitipkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tentang perjalanan mencari ilmu yang penuh tantangan tetapi juga kebahagiaan.
Aku sadar bahwa sastra adalah cara lain untuk memahami dunia. Kata-kata memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati, mengubah pandangan, dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang lembut namun mendalam.
Literasi dan Kehidupan: Pelajaran yang Tak Terlupakan
Di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, literasi bukan sekedar keterampilan akademik, tetapi juga cara hidup. Kami membaca untuk memahami, menulis untuk menginspirasi, berbicara untuk menyampaikan kebenaran, dan mendengar untuk belajar dari orang lain.
Di sini, saya belajar bahwa literasi bukan hanya tentang kemampuan mengolah kata, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk karakter dan memperluas wawasan. Seorang muslim yang baik bukan hanya rajin beribadah, tetapi juga berpikir luas, memiliki kepekaan sosial, dan mampu memberikan manfaat bagi orang lain melalui ilmu yang dimilikinya.
Masa Depan yang Cerah Berkat Literasi
Kini, aku merasa beruntung telah berada di pondok ini. Di sini, saya tidak hanya belajar tentang agama, tetapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang terus bertumbuh dan berkembang melalui literasi.
Dari membaca, saya mengenal dunia. Dari menulis, aku menemukan suara. Dari diskusi, saya belajar memahami. Dari sastra, aku menemukan keindahan dalam kata-kata.
Dari semua itu, saya semakin memahami bahwa literasi adalah kunci untuk membuka pintu masa depan. Dengan ilmu yang kutimba dari pondok ini, saya siap melangkah, membawa pemahaman yang lebih luas, dan menyebarkan cahaya ilmu kepada dunia.
Terima kasih, Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid. Perdalaman literasiku terasah, dan dalam diriku menemukan makna sejati dari membaca, menulis, dan berpikir. SALAM PROGRESS!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...