Oleh: La Rudi
( Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw)
Fajar masih muda ketika suara lantunan doa dan dzikir menggema di langit Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Udara pagi yang sejuk menyusup ke dalam dada, membawa kesejukan yang tak hanya meresap ke tubuh, tetapi juga ke dalam jiwa. Pagi ini berbeda, istimewa, dan penuh makna.
Di dalam Masjid Al-Amin, para alumni berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil. Mereka menatap dengan penuh antusias, menanti momen berharga yang telah menjadi tradisi di pondok ini: pemberian kosa kata (al-mufradat) Bahasa Arab dan Inggris di pagi hari.
Suasana ini bukan sekadar rutinitas. Ini adalah gerbang menuju cakrawala ilmu yang lebih luas. Sebuah tradisi yang mengajarkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mahkota seorang santri.
Meniti Fajar dengan Al-Mufradat
"Today’s vocabulary is…" suara seorang ustadz memecah kesunyian pagi.
Para santri serentak membuka catatan kecil mereka. Mata mereka berbinar, bersiap menerima setiap kata yang akan mereka hafalkan dan amalkan sepanjang hari.
"Optimistic! Artinya?"
"Optimis!" jawab para santri serempak.
Begitulah pagi di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid. Seperti tetesan embun yang membasahi bumi, setiap kata yang dihafalkan adalah tetesan ilmu yang menyuburkan akal dan jiwa.
Bahasa: Mahkota Seorang Santri
Dalam tradisi pesantren, bahasa bukan hanya pelajaran, tetapi juga identitas. Seorang santri harus fasih berbicara dalam dua bahasa dunia: Bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan Bahasa Inggris sebagai bahasa global.
"Santri yang menguasai bahasa, akan menguasai dunia," ucap H. Sairul, dalam pemberian mufradat pagi itu.
Bahasa Arab membawa santri lebih dekat dengan Al-Qur’an, memahami maknanya tanpa sekat. Bahasa ini adalah bahasa para ulama, bahasa ilmu, dan bahasa yang membawa keberkahan.
Sementara Bahasa Inggris adalah jembatan santri untuk berdialog dengan dunia. Dunia yang terus berubah menuntut santri untuk tak hanya paham kitab kuning, tetapi juga mampu berkomunikasi dengan dunia luar.
"Kalian harus berbicara dengan dunia, bukan hanya dengan kitab," lanjut H. Sairul, memberikan dorongan kepada para alumni peserta Santri Sehari untuk lebih berani menggunakan bahasa asing dalam keseharian.
Menghafal, Meresapi, Mengamalkan
Pagi terus berjalan. Kata demi kata dihafal, diulang, diresapi. Tidak hanya dihafalkan di atas kertas, tetapi juga diamalkan dalam percakapan sehari-hari.
Di sudut halaman masjid, seorang alumni berbincang dengan temannya, mencoba menggunakan kosa kata yang baru saja mereka dapatkan.
"You must be optimistic, Akhi. Laa takhof!" kata seorang alumni sambil tersenyum.
"Aiwaa! Let’s practice more!" balas temannya dengan penuh antusias.
Percakapan sederhana, tetapi penuh makna. Di sinilah tradisi ini menemukan tujuannya: menanamkan keberanian dalam berbicara, menghidupkan bahasa, dan menjadikannya bagian dari kehidupan.
Santri Sehari, Ilmu Seumur Hidup
Santri Sehari bukan hanya tentang kembali merasakan kehidupan pesantren. Ini adalah momen untuk merenungi makna menjadi santri, memaknai kembali perjalanan ilmu, dan memperbarui tekad untuk terus belajar.
"Kosa kata pagi ini mungkin hanya dua, tapi jika kalian terus menambahnya setiap hari, dalam setahun kalian akan memiliki ribuan kosa kata baru," ujar H. Sairul, memberikan motivasi kepada alumni peserta Santri Sehari.
Karena sejatinya, belajar bahasa bukan tentang seberapa banyak kata yang dihafal dalam sehari, tetapi seberapa konsisten kita dalam menambah ilmu setiap hari.
Pagi ini, alumni peserta Santri Sehari menutup sesi dengan doa. Hati mereka penuh dengan semangat baru, tekad mereka lebih kuat dari sebelumnya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar