Oleh: La Rudi (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw)
Matahari 3 April 2025 bersinar lembut, seolah menundukkan sinarnya menyaksikan langkah-langkah penuh takzim yang menuju satu tempat suci. Sejumlah alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid bersama Pimpinan Pondok, KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA, melangkah dengan hati penuh haru menuju peristirahatan terakhir H. Muh. Sabirin, sang pendiri pondok yang telah menjadi rumah bagi ribuan santri.
Langkah-langkah itu bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan hati—napak tilas sejarah, menelusuri jejak perjuangan, dan menyerap energi perjuangan seorang yang telah menghabiskan hidupnya untuk membangun peradaban melalui ilmu dan keikhlasan.
Di antara batu nisan dan doa-doa yang mengalun, terasa betapa besar warisan yang telah ditinggalkan oleh H. Muh. Sabirin. Bukan sekadar bangunan megah atau fasilitas fisik, melainkan warisan yang jauh lebih berharga: keimanan, ilmu, dan nilai-nilai perjuangan yang kini mengakar kuat dalam jiwa setiap santri dan alumninya.
Menziarahi, Bukan Hanya Mengenang, Tetapi Menghidupkan
Ziarah ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu. Ia adalah momen untuk menghidupkan kembali semangat yang telah diwariskan, menjadikannya api yang tak pernah padam dalam setiap langkah perjuangan ke depan.
KH. Abdul Rasyid Sabirin, dengan suara lembut namun penuh wibawa, mengingatkan kita semua bahwa perjalanan ini bukan sekadar ritual, melainkan pernyataan janji.
"Kita tidak datang ke sini hanya untuk mendoakan beliau, tetapi juga untuk meneguhkan kembali tekad kita. Apa yang beliau cita-citakan untuk pondok ini harus terus kita lanjutkan. Pondok ini bukan sekadar tempat belajar, tetapi tempat membangun peradaban. Dan itu adalah tugas kita semua—alumni, santri, dan siapapun yang pernah merasakan manfaatnya."
Kata-kata itu menembus hati. Alumni yang hadir menyadari bahwa mereka adalah kepanjangan tangan dari perjuangan H. Muh. Sabirin.
Ziarah ini menjadi panggilan jiwa: Apa yang telah kita lakukan untuk menjaga dan mengembangkan warisan besar ini?
Jejak Perjuangan H. Muh. Sabirin: Dari Sebuah Mimpi ke Kenyataan
Jauh sebelum pondok ini berdiri megah seperti sekarang, ada impian yang tumbuh di hati seorang pria sederhana bernama H. Muh. Sabirin.
Impian itu bukan sekadar untuk mendirikan bangunan, tetapi untuk melahirkan generasi yang kuat dalam ilmu agama, tangguh dalam akhlak, dan siap menjadi pemimpin umat.
Beliau memulainya dari sesuatu yang kecil—dari langkah pertama yang penuh keterbatasan. Namun, keterbatasan tak membuatnya menyerah.
Dengan kesabaran, keteguhan hati, dan keyakinan kepada Allah, pondok ini akhirnya berdiri, tumbuh, dan melahirkan ribuan santri yang kini tersebar di berbagai penjuru negeri, menjadi cahaya di tempat mereka masing-masing.
Kini, 32 tahun setelah pondok ini berdiri, kita melihat hasilnya. Kita melihat bahwa impian itu telah menjadi kenyataan.
Tapi pertanyaannya, apakah kita hanya akan menjadi saksi sejarah? Ataukah kita akan menjadi bagian dari sejarah berikutnya?
Alumni: Cahaya yang Harus Tetap Menyala
Pondok ini bukan hanya milik para santri yang masih belajar di dalamnya. Ia juga milik kita—para alumni.
Setiap alumni adalah bagian dari kisah panjang pondok ini. Kita membawa nama pondok ke mana pun kita melangkah. Kita membawa nilai-nilainya dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak.
Dalam setiap jejak langkah kita, ada pertanyaan yang harus selalu kita tanyakan kepada diri sendiri:
Apakah kita sudah menjadi cerminan dari apa yang diajarkan di pondok ini?Apakah kita sudah ikut berkontribusi untuk menjaga dan membesarkan nama baik pondok?Apakah kita hanya mengenang, atau kita benar-benar bertindak?
Ziarah ini adalah pengingat bahwa kita tidak boleh menjadi alumni yang hanya mengenang, tetapi harus menjadi alumni yang bergerak.
Meneruskan Warisan: Bukan Beban, Tetapi Kehormatan
KH. Abdul Rasyid Sabirin menegaskan bahwa pondok ini masih terus berbenah dan berkembang.
"Kita sudah melihat bagaimana pondok ini tumbuh. Dari satu bangunan kecil, kini menjadi kompleks pendidikan yang besar. Dari hanya menerima santri putra, kini ada santri putri. Dari sekadar pesantren, kini ada kampus STIS SAW. Tetapi perjuangan ini belum selesai. Ada banyak hal yang harus kita lanjutkan dan kembangkan."
Di antara program besar yang kini sedang dirancang:
-
Pengembangan fasilitas pondok, agar lebih layak dan nyaman bagi santri.
-
Pembangunan pondok tahfidz Quran, yang tidak hanya mencetak hafiz, tetapi juga membangun karakter santri berbasis nilai-nilai Qurani.
-
Penguatan bahasa Arab dan Inggris, agar para santri memiliki akses lebih luas dalam memahami ilmu-ilmu Islam dan dunia.
Semua ini tidak akan terwujud tanpa sinergi dan dukungan dari alumni.
Menghidupkan Kembali Semangat Perjuangan
Ziarah ini bukan hanya perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan spiritual, perjalanan menyerap energi perjuangan, dan perjalanan untuk menegaskan kembali komitmen kita sebagai alumni.
Saat tangan-tangan alumni menengadah, memanjatkan doa di atas pusara H. Muh. Sabirin, ada harapan yang menyatu dalam satu kata: istiqamah.
Ya Allah, kuatkanlah kami untuk meneruskan perjuangan ini.Ya Allah, berilah kami keikhlasan sebagaimana keikhlasan yang beliau tunjukkan.Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi generasi yang melupakan perjuangan pendahulu kami.
Dan saat doa terakhir diucapkan, angin berembus perlahan, seolah membawa pesan dari sang pendiri pondok:
"Jangan berhenti berjuang. Jangan biarkan api ini padam. Teruskan langkah kalian, karena pondok ini adalah amanah, bukan sekadar warisan."
Maka, ziarah ini bukanlah akhir. Ia adalah awal dari sebuah kesadaran.
Kesadaran bahwa pondok ini harus terus hidup.
Kesadaran bahwa kita semua bertanggung jawab atas masa depannya.
Kesadaran bahwa setiap alumni adalah bagian dari rantai panjang perjuangan ini. Dan kini, giliran kita untuk melanjutkannya. Salam Progress!.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar