![]() |
Foto: Tim Sepakbola Porsa Berlaga Di Lakudo Buton Tengah (Sumber Koleksi Ustadz Junaidin (Abangk)) |
Oleh: La Rudi
(Dosen STKIP Pelnus Buton)
Ada masa ketika dakwah tak selalu hadir lewat podium dan mimbar. Ada masa ketika pesan suci tak hanya bergema lewat kitab dan khutbah. Pada penghujung milenium lalu, di pelosok tanah Buton, suara dakwah justru menggema di tengah lapangan sepak bola berdebu, ketika peluit dibunyikan dan sorak penonton mengalun dalam antusias yang menggetarkan. Di sanalah Porsa—Persatuan Sepakbola Al-Syaikh Abdul Wahid—berdiri bukan sekadar sebagai klub olahraga, tetapi sebagai wajah muda dari sebuah pondok pesantren yang ingin dikenal, diterima, dan dicintai oleh masyarakat.
Tahun 1999, adalah era ketika banyak orang belum mengenal betul nama Al-Syaikh Abdul Wahid. Pondok masih muda, fasilitas sederhana, dan lembaga ini berjalan dalam keterbatasan. Namun di balik kesederhanaan itu, ada semangat membara yang tumbuh dalam dada para santri dan para ustaznya: semangat untuk memperkenalkan pondok sebagai pusat ilmu, adab, dan kehidupan.
PORSA: Dari Lapangan Menuju Hati Masyarakat
PORSA bukan sekadar tim sepakbola. Ia adalah strategi dakwah, jembatan silaturahmi, dan kendaraan perkenalan yang menyusup lembut ke hati masyarakat. Kala itu, pondok masih belum punya banyak santri, belum pula dikenal luas. Tapi setiap kali PORSA berlaga di desa-desa, di kampung-kampung, nama pondok itu disebut-sebut dengan rasa penasaran.
“Santri ini? Mainnya bagus juga ya!”
“Dari pondok mana? Al-Syaikh Abdul Wahid? Di mana itu?”
Dan dari situlah, pengenalan pondok dimulai. Bukan lewat brosur. Bukan lewat baliho. Tapi lewat umpan terukur, semangat sportif, dan sikap santun para pemain yang tak lupa menyalami lawan, bahkan di tengah kekalahan.
Di tiap peluit akhir, masyarakat bukan hanya menyaksikan pertandingan. Mereka menyaksikan karakter. Mereka merasakan aura akhlak yang berbeda. Dan mereka, secara perlahan, mulai membuka hati terhadap pondok yang sebelumnya hanya nama asing.
Sepak Bola dan Dakwah Kultural
Bila dakwah adalah seni menjemput hati, maka PORSA adalah maestro yang bermain di panggung luas bernama masyarakat. Dalam sunyi yang memeluk kampung-kampung di Buton kala itu, sepak bola adalah bahasa yang paling mudah dimengerti semua kalangan—dari anak kecil hingga orang tua, dari nelayan hingga tokoh adat.
PORSA menjadikan dakwah kultural sebagai pendekatannya. Mereka tidak datang menggurui, tapi menghibur. Mereka tidak sekadar bermain, tapi menghadirkan teladan. Di lapangan, santri-santri itu bermain dengan semangat tinggi, tetapi tetap rendah hati. Mereka menang tanpa jemawa, dan kalah tanpa cela. Sebab mereka sadar, di balik seragam tim itu, mereka sedang membawa nama pondok, bahkan membawa wajah Islam itu sendiri.
Kemenangan Sejati Adalah Keteladanan
PORSA tak selalu menang dalam skor. Tapi mereka menang dalam hal yang lebih tinggi: membangun citra. Tak sedikit orang tua yang akhirnya menitipkan anaknya ke pondok, hanya karena pernah menyaksikan adab para santri di lapangan. Mereka melihat bahwa pondok ini bukan sekadar tempat menghafal, tapi tempat membentuk manusia seutuhnya—jiwa dan raga, akal dan adab.
Seorang tokoh masyarakat di salah satu pelosok pernah berkata setelah menyaksikan laga PORSA:
"Saya tidak tahu siapa pelatih mereka, tapi saya tahu, mereka dididik oleh orang yang benar-benar mengerti agama."
Dan siapa sangka, dari satu laga itu, lima santri baru datang di tahun berikutnya. Beginilah PORSA bekerja—diam-diam, pelan-pelan, tapi penuh pengaruh.
PORSA dan Pondok: Simfoni yang Tak Terpisahkan
Keberadaan PORSA menjadi simfoni indah dari gerak pondok yang menyatu dalam denyut masyarakat. Ia menjadi lambang bahwa pendidikan tak melulu soal ceramah, tapi soal hadir, bersosialisasi, dan menyentuh masyarakat lewat hal-hal yang mereka cintai.
Di titik ini, PORSA berhasil mengubah paradigma bahwa santri itu kaku dan hanya duduk di mushola. PORSA menghadirkan citra baru: santri itu dinamis, kreatif, sportif, dan bisa menjadi teladan dalam semua lini kehidupan.
Warisan untuk Masa Depan
Kini, dua dekade lebih telah berlalu. Pondok sudah tumbuh besar. Gedung-gedung baru berdiri. Santri datang dari berbagai daerah. Namun sejarah awal itu tetap abadi dalam kenangan. PORSA telah menjadi bagian dari sejarah besar pondok ini. Ia adalah tapak awal yang membawa nama Al-Syaikh Abdul Wahid menembus batas desa dan pulau.
Maka, mengenang PORSA bukan hanya mengenang masa lalu. Ini adalah upaya menghargai strategi cerdas dan ikhtiar luhur para pendahulu. Bahwa mengenalkan pondok tidak harus dengan gembar-gembor, cukup dengan niat tulus, aksi nyata, dan kerendahan hati yang konsisten.
Catatan Akhir: Sepak Bola dan Cinta
Barangkali, di masa itu, tak ada satu pun santri PORSA yang menyangka bahwa permainan mereka sedang membangun sejarah. Tapi begitulah kerja cinta—ia tak banyak bicara, tapi jejaknya tetap hidup.
Hari ini, para alumni PORSA mungkin telah menjadi guru, dai, pengusaha, pejabat, atau ayah dari para santri baru. Tapi dalam dada mereka, tetap terpatri kenangan akan lapangan berdebu, kaos sederhana, dan semangat menyampaikan kebaikan lewat permainan.
Dan siapa tahu, kelak akan lahir PORSA-PORSA baru, yang kembali menapaki jalan dakwah dari lapangan-lapangan sederhana. Yang kembali menyapa masyarakat lewat umpan dan gol, tapi membawa pesan bahwa pondok ini, pondok kita, adalah rumah bagi ilmu dan adab.
Salam hormat untuk PORSA. Karena kalian bukan hanya bermain bola. Kalian membangun sejarah.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar