Langsung ke konten utama

𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐔𝐬𝐭𝐚𝐝𝐳 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐝𝐢: 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐀𝐢𝐫 𝐈𝐥𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐉𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐞𝐢𝐤𝐡𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧

 

Foto: Ustadz dan Pimpinan Periode 1993-1996 Penuh Cinta Dan Energis Duduk Didepan Dari Kanan Ke Kiri,. Ust. Ismail (Pimpinan), Ust. Idris Rahman (alm), Ust. Amiruddin (alm), Ust Jamal AB. Berdiri Belakang Dari Kanan Ke Kiri: Ust. Muhlis, Ust Arfani, Ust. Saleh Laksana, Ust. Faisal Islamy, Ust. Jamhur Baeda, Ust. Jamil (Lokasi Depan Gedung Makkah 2)

Oleh: La Rudi
(Dosen STKIP Pelnus Buton)

Di antara bayang-bayang sejarah yang kerap dilupakan, ada secarik cahaya yang tak pernah padam: cahaya pengabdian. Ia hidup di antara langkah para ustadz yang menjejakkan kaki di halaman Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, saat tanah masih berlumpur, dan digenangi air rawa, atap masih bocor, dan suara adzan belum menggema dari menara yang layak disebut menara (toa dipasang diatas pohon kelapa tinggi), yang suaranya mendayuh- dayu di langit Kota Baubau. Namun di sanalah, sejarah ditulis bukan dengan tinta emas, melainkan dengan keringat, air mata, dan iman yang tak pernah goyah.

Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid tak lahir dari keajaiban. Ia dibangun dari keikhlasan yang ditenun, malam demi malam, oleh para ustadz yang mengajar bukan demi gaji, tapi karena panggilan hati. Mereka adalah penjaga malam ilmu, penabur cahaya di tengah gelapnya keterbatasan. Nama-nama mereka tak selalu tercetak di prasasti, namun tercatat dalam langit sebagai orang-orang yang diam-diam membangun peradaban.

Ustadz dan Jejak Langkah di Tanah Berkah

Masa awal pondok adalah masa ketika harapan lebih besar dari kenyataan, dan tekad lebih kuat dari fasilitas. Di sanalah para ustadz pengabdi muncul, laksana pelita dalam lorong gelap. Mereka datang membawa ilmu dari beberapa pesantren yang ada di tanah Jawa, lalu menaruhnya seperti benih di ladang jiwa santri. Ada yang mengajar dengan papan tulis lusuh dan kapur tulis kering. Ada yang mendidik dengan suara serak karena tak cukup tidur setelah mengimami qiyamul lail. Semua dijalani dengan senyum, karena hati mereka penuh cinta.

Siapa yang mengingat bagaimana para ustadz menghidupkan suasana di tengah keterbatasan? Ketika nasi kadang hanya ditemani ikan sambal seadanya, dan WC, kamar mandi terbatas, air wudhu pun harus digilir. Namun tak ada keluhan. Justru dari keterbatasan itu tumbuh solidaritas, tumbuh jiwa besar, tumbuh keajaiban. Sebab, para ustadz itu paham: mereka bukan sedang membangun gedung, tapi sedang mendirikan generasi.

Keikhlasan, Modal yang Tak Pernah Habis

Para ustadz pengabdi membawa satu hal yang tak bisa dihitung dengan neraca duniawi: keikhlasan. Mereka tak pernah menghitung berapa banyak waktu yang mereka habiskan, berapa banyak peluh yang tertumpah. Mereka hanya tahu bahwa ilmu adalah amanah, dan mendidik adalah jihad.

Keikhlasan mereka menular. Santri tumbuh bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan teladan. Mereka melihat bagaimana ustadznya berjalan kaki jauh demi mengajar. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana sang guru menjahit sendiri bajunya yang robek, sambil tetap tersenyum menyambut santri. Dari ustadz-ustadz pengabdi inilah para santri belajar arti hidup yang sesungguhnya: hidup yang memberi.

Pengabdian yang Tak Terlihat, Tapi Terasa

Tak semua pengabdian butuh sorotan kamera. Tak semua jasa harus dibalas dengan plakat atau piagam. Justru pengabdian paling suci adalah yang dilakukan dalam diam, di ruang-ruang kecil yang sakral: ruang kelas, mushola, asrama, kebun, dapur, bahkan sumur.

Ada ustadz yang mengajar sambil jualan gorengan. Ada yang mendidik sambil memperbaiki atap yang bocor. Ada yang menyambung listrik pondok sambil mengajarkan adab kepada santri. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa mereka sedang menjadi bagian dari sejarah besar. Bukan sejarah gemerlap, tapi sejarah yang tumbuh seperti akar: tak terlihat, tapi menopang semuanya.

Mengenang Mereka, Merawat Warisan

Hari ini, saat gedung-gedung baru mulai berdiri, dan fasilitas pondok mulai lengkap, jangan pernah lupa pada pondasi awal yang diletakkan dengan cucuran keringat para ustadz pengabdi. Mereka adalah pilar tak bernama, tetapi kekuatan mereka menjulang tinggi. Mereka adalah ruh yang membuat pondok ini hidup, tak hanya sebagai institusi pendidikan, tapi sebagai rumah spiritual bagi ribuan jiwa.

Mengenang mereka bukan sekadar nostalgia. Ia adalah panggilan hati, untuk meneruskan warisan itu. Sebab pengabdian bukan milik satu generasi. Ia adalah api yang harus terus dijaga, agar tak padam oleh kenyamanan zaman. Kita harus bertanya: apakah kita hari ini masih menyimpan keikhlasan yang sama seperti mereka?

Seruan Zaman: Siapakah Pengabdi Hari Ini?

Pondok hari ini tak lagi seperti dulu. Tantangannya lebih kompleks. Dunia bergerak cepat. Tapi keikhlasan tetap menjadi bahan bakar utama. Maka, di manakah para ustadz pengabdi zaman ini? Siapakah yang bersedia menapaki jejak para pendahulu, mengajar dengan cinta, membimbing dengan sabar, dan mendidik dengan jiwa?

Para ustadz pengabdi telah mewariskan kita bukan hanya pondok, tetapi semangat. Semangat untuk menjadi manusia yang memberi, bukan meminta. Semangat untuk tetap setia, walau tak dikenal. Semangat untuk terus hadir, walau tak dihitung.

Menyulam Masa Lalu untuk Masa Depan

Hari ini, kita menatap pondok dengan bangga. Tapi mari jangan hanya bangga. Mari bersyukur. Mari bergerak. Mari menjadi bagian dari estafet keikhlasan yang diwariskan para ustadz pengabdi.

Karena sesungguhnya, pondok ini bukan milik siapa-siapa—ia milik mereka yang ikhlas mengabdi tanpa pamrih, tanpa nama, tanpa upah, tapi penuh cinta.

Dan selamanya, para ustadz pengabdi itu akan tetap hidup—bukan di buku sejarah, tetapi dalam setiap jiwa santri yang tumbuh dari cahaya ilmu mereka. Semoga menginspirasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...