Di antara bayang-bayang sejarah yang kerap dilupakan, ada secarik cahaya yang tak pernah padam: cahaya pengabdian. Ia hidup di antara langkah para ustadz yang menjejakkan kaki di halaman Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, saat tanah masih berlumpur, dan digenangi air rawa, atap masih bocor, dan suara adzan belum menggema dari menara yang layak disebut menara (toa dipasang diatas pohon kelapa tinggi), yang suaranya mendayuh- dayu di langit Kota Baubau. Namun di sanalah, sejarah ditulis bukan dengan tinta emas, melainkan dengan keringat, air mata, dan iman yang tak pernah goyah.
Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid tak lahir dari keajaiban. Ia dibangun dari keikhlasan yang ditenun, malam demi malam, oleh para ustadz yang mengajar bukan demi gaji, tapi karena panggilan hati. Mereka adalah penjaga malam ilmu, penabur cahaya di tengah gelapnya keterbatasan. Nama-nama mereka tak selalu tercetak di prasasti, namun tercatat dalam langit sebagai orang-orang yang diam-diam membangun peradaban.
Ustadz dan Jejak Langkah di Tanah Berkah
Masa awal pondok adalah masa ketika harapan lebih besar dari kenyataan, dan tekad lebih kuat dari fasilitas. Di sanalah para ustadz pengabdi muncul, laksana pelita dalam lorong gelap. Mereka datang membawa ilmu dari beberapa pesantren yang ada di tanah Jawa, lalu menaruhnya seperti benih di ladang jiwa santri. Ada yang mengajar dengan papan tulis lusuh dan kapur tulis kering. Ada yang mendidik dengan suara serak karena tak cukup tidur setelah mengimami qiyamul lail. Semua dijalani dengan senyum, karena hati mereka penuh cinta.
Siapa yang mengingat bagaimana para ustadz menghidupkan suasana di tengah keterbatasan? Ketika nasi kadang hanya ditemani ikan sambal seadanya, dan WC, kamar mandi terbatas, air wudhu pun harus digilir. Namun tak ada keluhan. Justru dari keterbatasan itu tumbuh solidaritas, tumbuh jiwa besar, tumbuh keajaiban. Sebab, para ustadz itu paham: mereka bukan sedang membangun gedung, tapi sedang mendirikan generasi.
Keikhlasan, Modal yang Tak Pernah Habis
Para ustadz pengabdi membawa satu hal yang tak bisa dihitung dengan neraca duniawi: keikhlasan. Mereka tak pernah menghitung berapa banyak waktu yang mereka habiskan, berapa banyak peluh yang tertumpah. Mereka hanya tahu bahwa ilmu adalah amanah, dan mendidik adalah jihad.
Keikhlasan mereka menular. Santri tumbuh bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan teladan. Mereka melihat bagaimana ustadznya berjalan kaki jauh demi mengajar. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana sang guru menjahit sendiri bajunya yang robek, sambil tetap tersenyum menyambut santri. Dari ustadz-ustadz pengabdi inilah para santri belajar arti hidup yang sesungguhnya: hidup yang memberi.
Pengabdian yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Tak semua pengabdian butuh sorotan kamera. Tak semua jasa harus dibalas dengan plakat atau piagam. Justru pengabdian paling suci adalah yang dilakukan dalam diam, di ruang-ruang kecil yang sakral: ruang kelas, mushola, asrama, kebun, dapur, bahkan sumur.
Ada ustadz yang mengajar sambil jualan gorengan. Ada yang mendidik sambil memperbaiki atap yang bocor. Ada yang menyambung listrik pondok sambil mengajarkan adab kepada santri. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa mereka sedang menjadi bagian dari sejarah besar. Bukan sejarah gemerlap, tapi sejarah yang tumbuh seperti akar: tak terlihat, tapi menopang semuanya.
Mengenang Mereka, Merawat Warisan
Hari ini, saat gedung-gedung baru mulai berdiri, dan fasilitas pondok mulai lengkap, jangan pernah lupa pada pondasi awal yang diletakkan dengan cucuran keringat para ustadz pengabdi. Mereka adalah pilar tak bernama, tetapi kekuatan mereka menjulang tinggi. Mereka adalah ruh yang membuat pondok ini hidup, tak hanya sebagai institusi pendidikan, tapi sebagai rumah spiritual bagi ribuan jiwa.
Mengenang mereka bukan sekadar nostalgia. Ia adalah panggilan hati, untuk meneruskan warisan itu. Sebab pengabdian bukan milik satu generasi. Ia adalah api yang harus terus dijaga, agar tak padam oleh kenyamanan zaman. Kita harus bertanya: apakah kita hari ini masih menyimpan keikhlasan yang sama seperti mereka?
Seruan Zaman: Siapakah Pengabdi Hari Ini?
Pondok hari ini tak lagi seperti dulu. Tantangannya lebih kompleks. Dunia bergerak cepat. Tapi keikhlasan tetap menjadi bahan bakar utama. Maka, di manakah para ustadz pengabdi zaman ini? Siapakah yang bersedia menapaki jejak para pendahulu, mengajar dengan cinta, membimbing dengan sabar, dan mendidik dengan jiwa?
Para ustadz pengabdi telah mewariskan kita bukan hanya pondok, tetapi semangat. Semangat untuk menjadi manusia yang memberi, bukan meminta. Semangat untuk tetap setia, walau tak dikenal. Semangat untuk terus hadir, walau tak dihitung.
Menyulam Masa Lalu untuk Masa Depan
Hari ini, kita menatap pondok dengan bangga. Tapi mari jangan hanya bangga. Mari bersyukur. Mari bergerak. Mari menjadi bagian dari estafet keikhlasan yang diwariskan para ustadz pengabdi.
Karena sesungguhnya, pondok ini bukan milik siapa-siapa—ia milik mereka yang ikhlas mengabdi tanpa pamrih, tanpa nama, tanpa upah, tapi penuh cinta.
Dan selamanya, para ustadz pengabdi itu akan tetap hidup—bukan di buku sejarah, tetapi dalam setiap jiwa santri yang tumbuh dari cahaya ilmu mereka. Semoga menginspirasi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar