Langsung ke konten utama

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐒𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩: 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐩𝐚 𝐃𝐢𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐔𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐨𝐧𝐭𝐞𝐤

Foto: Suasana Ujian Tulis Angk I, II dan III Di Depan Teras Gedung Makkah Tahun 1995, Cara Meneguhkan Orisinalitas Berpikir Santri (Diambil dari Dokumentasi Ustadz Bachtiar) 

Oleh: La Rudi
(Dosen STKIP Pelnus Buton)

Di Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, waktu terasa bergerak dalam irama yang tidak tergesa. Di balik dinding-dinding yang memeluk kitab-kitab tua, dan langkah para santri yang mengendap dalam balutan adab, ada satu masa yang tak pernah absen dari kalender kehidupan pesantren—masa ujian.

Ia datang dengan tenang, namun berwibawa. Ia hadir tanpa banyak pengumuman, tetapi membuat detak jantung melambung dalam diam. Ujian, baik tulis maupun lisan, adalah medan sunyi tempat santri mengukur kadar ilmunya, bukan untuk sekadar mendapat nilai, tetapi mengukur keberanian, kemandirian, dan kematangan diri.

Di sinilah, aku pertama kali belajar apa arti jujur. Di sinilah aku memilih jalan untuk tidak menyontek, bukan karena takut ketahuan, tetapi karena ingin tahu seberapa kuat diriku berdiri atas nama usaha dan doa.

Hening yang Membentuk Karakter

Suasana ujian di pondok bukan seperti di sekolah-sekolah umum yang kerap diwarnai keluh kesah dan desas-desus bocoran soal. Di sini, yang terdengar hanya detak jarum jam dinding, helaan napas yang dalam, dan suara pena yang berlari di atas lembar jawaban. Tidak ada bisik-bisik. Tidak ada suara gaduh. Hening itu seperti guru yang tak berkata, tapi mengajar.

Kamar ujian adalah ruang kejujuran. Ruang yang tak menyisakan tempat untuk tipu daya. Di sana, duduk para santri dengan wajah penuh konsentrasi, menunduk di hadapan soal-soal yang telah disusun dengan teliti oleh para ustaz—soal-soal yang tak hanya menyoal hafalan, tetapi juga pemahaman, penghayatan, dan keikhlasan.

Dan saat aku duduk di sana, pena dalam genggaman, hati dalam keteguhan, aku merasa sedang berbicara pada diri sendiri: “Inilah saatnya engkau membuktikan bahwa kau telah belajar. Inilah waktunya kau jujur pada dirimu sendiri.”

Ujian Lisan: Menatap Wajah Guru dengan Ilmu

Jika ujian tulis adalah ruang kesendirian, maka ujian lisan adalah pertemuan langsung dengan cahaya ilmu. Duduk bersimpuh di hadapan guru, menjawab pertanyaan dengan lidah yang bergetar, adalah momen di mana nyali, kejujuran, dan hafalan bersatu dalam satu detik yang menentukan.

Ada rasa takut, tentu. Tapi lebih dari itu, ada rasa hormat. Karena di hadapan guru, tak mungkin kita bermain-main. Setiap jawaban yang keluar dari lisan kita, seakan langsung diuji bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan nurani.

Dan anehnya, dalam setiap keterbatasan hafalan, aku merasa Allah membantu. Mungkin karena aku telah berusaha dengan jujur. Mungkin karena aku belajar tidak untuk orang lain, tetapi untuk diriku sendiri. Tidak untuk sekadar nilai, tetapi untuk memahami hidup.

Belajar Mandiri, Percaya Diri

Ujian di pondok bukan sekadar evaluasi. Ia adalah pendidikan karakter. Ia melatihku untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain. Tidak bertanya kiri kanan. Tidak mencari-cari cara pintas. Di sinilah, rasa percaya pada diri tumbuh seperti akar yang menguat di dalam tanah yang hening.

Dan itulah yang membuatku tidak pernah menyontek.

Bukan karena aku merasa lebih pintar. Bukan pula karena aku merasa lebih saleh. Tapi karena aku merasa ingin merasakan kejujuran itu sebagai bentuk rasa syukur. Karena setiap pelajaran yang telah kuterima dari para guru, dari malam-malam menghafal, dari pagi-pagi membaca, layak untuk diuji dengan cara yang paling bermartabat.

Menjadi Santri Sejati: Lahir dari Ujian

Menjadi santri bukan hanya soal mengenakan sarung dan berdoa panjang. Menjadi santri adalah tentang bagaimana kita membentuk jiwa yang teguh dalam ujian. Dan ujian yang sebenarnya adalah saat kita diuji tanpa pengawasan manusia, tetapi masih memilih jalan yang lurus.

Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid mengajarkanku bahwa ujian adalah jalan sunyi menuju kemuliaan. Jalan yang tak ramai, tak viral, tapi dalam dan mengakar.

Aku belajar bahwa kejujuran itu seperti menanam pohon. Mungkin tumbuhnya lama, mungkin tidak langsung berbuah, tapi ketika ia mulai rindang, ia akan menjadi tempat berteduh yang menenangkan jiwa.

Dan kini, saat aku mengenang masa-masa itu, aku bersyukur telah menjadi bagian dari generasi yang diajarkan untuk percaya pada usaha, bukan keberuntungan. Pada ikhtiar, bukan akal-akalan.

Catatan dari Masa Santri: Ujian adalah Hadiah

Jika kini ada yang bertanya padaku: “Mengapa kamu tak pernah menyontek?”

Aku akan menjawab dengan sederhana: karena aku ingin tahu siapa diriku yang sebenarnya. Karena aku percaya bahwa ilmu yang datang dari kejujuran, akan lebih berkah daripada nilai yang datang dari tipu muslihat.

Dan pondok ini—Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid—telah mengajarkan itu semua dalam ujian-ujian yang diam, tetapi membentuk karaktermu dalam jangka panjang.

Ujian bukanlah beban. Ia adalah hadiah. Hadiah dari Allah untuk melihat seberapa ikhlas kita menempuh jalan ilmu.

Semoga adik-adik santri yang kini tengah bersiap menghadapi ujian, tak hanya menyiapkan hafalan, tapi juga menguatkan niat. Karena ilmu yang baik, tak hanya terletak pada apa yang ditulis atau diucapkan, tapi pada bagaimana ia dicapai—dengan kejujuran, dengan keyakinan, dan dengan rasa malu pada Allah. Semoga Menginspirasi.

Karena sesungguhnya, di dalam hening itu, ada Allah yang sedang memperhatikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...