Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐠𝐚 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢, 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐬𝐚𝐡 𝐑𝐚𝐬𝐚, 𝐌𝐞𝐧𝐚𝐣𝐚𝐦𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧: 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐈𝐊𝐏𝐒 𝐒𝐚𝐰 𝐉𝐚𝐲𝐚

Foto: Ketua Syukur Haniru Bersama Pengurus IKPS Saw 2025/2029 

Oleh La Rudi
(Dosen STKIP Pelnus Buton)

Dalam setiap jiwa yang bermimpi, selalu ada seutas benang tak kasat mata yang mengikatnya pada kenyataan. Di sanubari para alumni IKPS Saw, benang itu telah dirajut sejak lama—sejak hari-hari pertama mereka menapakkan kaki di halaman Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, mencicipi getir dan manisnya pendidikan jiwa, ilmu, dan adab.
Hari ini, mimpi itu bukan lagi sekadar nyanyian sunyi di dalam dada. Ia telah menjelma menjadi semangat yang berdenyut di setiap langkah, menjadi cahaya yang menuntun di tengah malam-malam penuh tantangan. Namun, menjaga mimpi adalah pekerjaan sunyi, menuntut lebih dari sekadar retorika—ia menuntut rasa yang tajam dan tindakan yang nyata.
Mimpi Itu Harus Dijaga
Mimpi tentang IKPS Saw yang jaya bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Ia lahir dari doa-doa panjang di sajadah basah, dari kerja keras yang kerap tak dilihat orang, dari ketulusan yang hanya Allah yang tahu. Mimpi ini telah ditempa dari peluh para alumni yang tak pernah lelah berharap dan berusaha.
Menjaga mimpi berarti menjaga api itu tetap menyala, meski kadang angin zaman bertiup kencang, mencoba memadamkannya. Menjaga mimpi berarti terus mengingat, bahwa yang kita perjuangkan bukan sekadar organisasi, melainkan peradaban; bukan sekadar nama, melainkan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan sejak kita menjadi santri kecil di pondok.
Mengasah Rasa
Namun, bermimpi tanpa mengasah rasa hanyalah angan kosong. Rasa adalah jembatan antara hati dan tindakan. Rasa itu yang membuat kita peka terhadap kebutuhan sesama alumni, terhadap panggilan pondok yang selalu menanti keterlibatan kita.
Rasa yang terasah membuat kita sadar, bahwa kekuatan IKPS Saw bukan hanya di jumlah anggotanya, melainkan di kuatnya ikatan batin di antara mereka. Dalam rasa itu, tumbuh kepedulian. Dalam rasa itu, terbit semangat memberi, bukan semata-mata menuntut.
Mengasah rasa berarti membiarkan hati kita ikut merasakan denyut nadi organisasi. Saat satu teman berjuang, kita merasa terdorong untuk turut serta. Saat pondok butuh uluran tangan, kita tidak berpaling, melainkan bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan?”
Menajamkan Tindakan
Tapi rasa tanpa tindakan adalah fatamorgana. Ia hanya membuat kita berandai-andai tanpa pernah benar-benar melangkah.
Tindakanlah yang membuktikan kesungguhan rasa. Tindakanlah yang mengubah ide menjadi realita. Dan tindakanlah yang kelak akan dikenang sejarah, bukan sekadar kata-kata manis yang menguap bersama angin.
Menajamkan tindakan berarti bergerak cepat tanpa menunggu disuruh. Menajamkan tindakan berarti menjadikan setiap kesempatan sebagai ladang amal, menjadikan setiap program IKPS Saw sebagai ladang kontribusi.
Inilah zaman di mana solidaritas alumni diuji: sejauh mana kita tidak hanya bicara tentang visi besar, tapi juga berani menapakkan kaki di jalan yang mungkin penuh kerikil.
IKPS Saw Jaya: Bukan Sebuah Kemustahilan
Hari ini, ketika kita mengucapkan "IKPS Saw Jaya", kita sedang meletakkan batu pertama untuk sebuah menara harapan. Sebuah menara yang kokoh bukan karena tinggi semata, melainkan karena kuatnya fondasi keikhlasan, pengorbanan, dan kebersamaan.
Kita bermimpi tentang IKPS Saw yang mampu menjadi rumah besar bagi semua alumni—tempat berbagi, belajar, dan bertumbuh. Kita bermimpi tentang IKPS Saw yang menjadi mitra strategis pondok dalam menyiarkan nilai-nilai keislaman, keilmuan, dan keadaban. Kita bermimpi tentang IKPS Saw yang mandiri secara ekonomi, kuat secara organisasi, dan luas dalam manfaat.
Tapi mimpi itu hanya akan menjadi nyata bila kita terus menjaga bara semangat, mengasah kepekaan hati, dan menajamkan aksi nyata.
Menulis Sejarah Bersama
Setiap masa akan berlalu. Setiap generasi akan menulis babaknya masing-masing dalam kitab besar kehidupan. Kita adalah generasi yang sedang diberi kesempatan untuk menulis bab tentang kebangkitan IKPS Saw.
Mari bertanya pada diri sendiri: Akankah kita dikenal sebagai generasi yang hanya bisa berbicara, atau generasi yang bergerak membangun?
Mari ukir sejarah itu dengan tinta keikhlasan, dengan kerja-kerja kecil yang konsisten, dengan langkah-langkah sunyi yang akhirnya membentuk riuh kemenangan.
Menghidupkan Mimpi dengan Kerja Nyata
Mari kita mulai dari hal-hal sederhana: menghadiri setiap agenda, mendukung setiap program, membantu sesama alumni, berkontribusi untuk pondok tercinta.
Mari kita bantu memperkuat kemandirian IKPS Saw, memperbanyak kegiatan produktif, mempererat jaringan usaha antaralumni, dan memperluas siar pondok di tengah masyarakat.
Mari kita hidupkan kembali budaya diskusi, budaya gotong-royong, budaya saling menguatkan—seperti budaya yang dulu kita pelajari di pesantren, di sela-sela belajar, di tengah latihan olahraga, di waktu malam menghafal Al-Quran.
Akhir Kata:
IKPS Saw Terdepan, IKPS Saw Tercepat.
Slogan ini bukan sekadar seruan, melainkan ajakan menuju kerja besar. Sebuah kerja membangun peradaban alumni yang kokoh, inspiratif, dan membawa maslahat.
Mari terus menjaga mimpi ini. Mari terus mengasah rasa ini. Mari terus menajamkan tindakan kita.
Karena hanya mereka yang mau menjaga, mengasah, dan menajamkan, yang akhirnya bisa mengukir sejarah.
IKPS Saw Jaya!
Dan kelak, saat kita menengok ke belakang, kita akan tersenyum dan berkata:
"Di sanalah, di masa itu, kami pernah bermimpi bersama... dan mewujudkannya dengan kerja nyata."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...