![]() |
Foto: Saya Peragaan Angkat Besi pada Acara Pekan Perkenalan 1996 (Dokumentasi Ustadz Bachtiar) |
Oleh : La Rudi
(Alumni Permata Angk.3 Ponpes Saw)
Di sebuah panggung sederhana namun sarat makna, di halaman pondok yang rindang dan teduh oleh semilir doa para guru, aku berdiri. Saat itu, namaku dipanggil untuk memperagakan sesuatu. Bukan puisi, bukan orasi, bukan pula drama seperti teman-teman lainnya. Tapi aku memilih yang tak biasa: angkat besi. Bukan karena aku ingin menunjukkan kekuatan fisik, tapi karena ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar besi dan otot—ada pesan tentang mimpi, tentang ketekunan, dan tentang keberanian menantang keterbatasan diri.
Hari itu sekitar 1996 adalah Khutbatul Arsy—pekan perkenalan di Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Bagi sebagian, ini sekadar tradisi tahunan yang mempertemukan santri lama dan baru dalam bingkai persaudaraan. Tapi bagiku, ini adalah panggung pertama dalam hidup yang mempertemukan aku dengan diriku sendiri yang belum utuh. Di hadapan para guru dan ratusan pasang mata, aku memperagakan angkat besi yang alatnya dibuat dari ember dan pegangangnya dari kayu menyerupai beban besi sungguhan. Aku menggenggam besi dengan atraksi seakan-akan yang terasa dingin dan berat seperti keraguan yang lama bersarang dalam dada.
Pada percobaan pertama, dengan sengaja aku tak mampu mengangkatnya. Suara sorak dan tawa kecil terdengar samar, menembus pori-pori rasa malu. Tapi aku menatap besi itu seperti menatap mimpi yang terlalu lama aku abaikan. Lalu aku coba lagi, dan lagi. Sampai akhirnya, di percobaan ketiga, besi itu terangkat. Bukan dengan sombongnya kekuatan, tapi dengan kukuhnya tekad. Saat itu, aku sadar, beban itu bukan sekadar logam, tapi lambang dari cita-cita yang semula tampak mustahil, tapi pelan-pelan bisa didekap dan bahkan diputar dengan satu tangan.
Pondok: Laboratorium Kreativitas
Di balik setiap pekan perkenalan, pondok telah membentangkan ruang bagi kreativitas santri untuk menyala. Tak semua pesantren memberi ruang itu. Tapi di sini, di bawah asuhan KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA., pondok ini tak sekadar menjadi rumah ilmu, tapi rumah ekspresi, rumah penemuan diri. Pondok ini memahami bahwa ilmu bukan hanya deretan teks dalam kitab, tapi juga nyala api dalam dada yang harus diasah dengan berbagai cara.
Panggung Khutbatul Arsy bukan ajang pamer. Ia adalah jendela tempat santri melihat potensi dalam dirinya yang belum dikenali. Maka, saat seorang teman memperagakan parodi olahraga, itu bukan sekadar gerakan indah, tapi simbol kerja sama yang rapat. Saat yang lain menendang bola takraw dan melakukan smash, itu bukan sekadar smash, tapi gema harapan umat. Dan saat aku mengangkat besi, itu bukan sekadar kekuatan otot, tapi kekuatan jiwa.
Besi dan Jiwa yang Terlatih
Kreativitas, ternyata, bisa muncul dari hal-hal sederhana. Bahkan dari sebuah angkat besi. Aku belajar bahwa ketika tubuh dilatih untuk tak menyerah, jiwa pun ikut ditempa untuk kuat. Aku tak sedang mengejar gelar binaragawan. Tapi aku sedang membuktikan bahwa pondok telah memberi ruang untuk berpikir, merasa, dan bertindak dalam harmoni. Bahkan dalam sesuatu yang tak lazim, pondok ini mengajarkan nilai-nilai besar: kesungguhan, keberanian, dan disiplin.
Pondok ini telah mengajari aku bahwa setiap orang punya cara sendiri untuk menyampaikan pesan. Ada yang menulis, ada yang berdakwah, ada yang memimpin, dan ada yang mengangkat beban sebagai lambang perjuangan. Di setiap aksi, ada makna. Di setiap penampilan, ada cerita.
Kreativitas Adalah Dakwah
Di masa depan, santri tak hanya akan tampil di podium masjid. Ia harus mampu berbicara di ruang publik, tampil dalam forum-forum intelektual, menjadi pengusaha, menjadi penulis, bahkan menjadi pemimpin masyarakat. Maka pondok yang mengasah kreativitas santri berarti sedang membentuk kader yang lengkap: kuat ilmu, tajam gagasan, luwes dalam menyampaikan, dan tangguh dalam mengeksekusi.
Pekan perkenalan hanyalah awal. Tapi jika awal ini diarahkan dengan baik, maka perjalanan akan terbangun kokoh. Dan pondok ini tahu benar bagaimana membangun pondasi itu. Bukan hanya dari hafalan, tapi juga dari keberanian tampil, dari latihan percaya diri, dan dari keberagaman cara berpikir santri.
Akhirnya: Mimpi Itu Berat, Tapi Bisa Diangkat
Hari ini, ketika aku mengenang kembali peristiwa itu, aku sadar, angkat besi di pondok adalah simbol dari seluruh beban mimpi yang akan aku angkat di masa depan. Mimpi itu berat, tapi bukan berarti tak bisa diangkat. Dengan tekad dan keyakinan, aku bisa memutarnya dengan satu tangan.
Dan pondok ini, Al-Syaikh Abdul Wahid, adalah tempat pertama aku belajar bahwa mimpi harus dikejar dengan tekad dan tenaga, dengan sabar dan doa, dengan disiplin dan keberanian.
Besi itu kini tak lagi ada di tangan, tapi telah pindah ke dada: menjadi semangat yang tak bisa dikaratkan oleh waktu. Semoga Menginspirasi!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar