Langsung ke konten utama

𝐊𝐢𝐫𝐢𝐦𝐚𝐧 𝐃𝐨𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢: 𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐚𝐛𝐢𝐫𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐈𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧

 



Oleh: La Rudi 

(Alumni Permata Angk.3 Ponpes Saw)

Di bawah langit 3 April 2025 yang teduh, di antara desir angin yang berhembus perlahan, sekelompok alumni dan santri berkumpul dalam kekhusyukan di Masjid Al-Amin Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Bataraguru, pada momen Program Nyantri Sehari. Di hadapan mereka, Pimpinan Pondok KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA., duduk dengan penuh wibawa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya hari itu. Ada kerinduan yang mengalir dalam tatapan, ada kesyahduan yang membalut bacaan ayat-ayat Alquran, dan doa-doa yang dipanjatkan.

Hari itu bukan hari biasa. Itu adalah hari di mana mereka datang dengan satu tujuan yang sama: mengirimkan doa untuk almarhum H. Muh. Sabirin, pendiri Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid.

Di masjid yang tenang, mereka menundukkan kepala, membisikkan doa-doa tulus yang melangit.

“Ya Allah, rahmatilah beliau. Lapangkanlah kuburnya, jadikanlah cahaya ilmu yang telah beliau tebarkan sebagai penerang di alam barzakh. Satukanlah beliau dengan para kekasih-Mu, bersama orang-orang shalih yang telah mendermakan hidupnya untuk agama ini.”

Air mata jatuh tanpa perlu diseka. Tidak ada kesedihan dalam bentuk ratapan, yang ada hanyalah penghormatan yang tak berkesudahan.

Mengenang Sosok Sang Pendiri: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Bagi santri dan alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, nama H. Muh. Sabirin bukan sekadar sebuah nama. Ia adalah lambang perjuangan, bukti bahwa dengan tekad, ilmu, dan keikhlasan, sebuah peradaban bisa dibangun dari nol.

Jauh sebelum pondok ini berdiri kokoh seperti sekarang, beliau hanyalah seorang lelaki dengan impian besar.

Impian itu bukan tentang dunia, bukan tentang harta. Ia bermimpi tentang lahirnya generasi yang kuat dalam keimanan, tajam dalam pemikiran, dan teguh dalam nilai-nilai Islam.

Maka, dengan penuh keikhlasan, beliau mengorbankan apa yang bisa dikorbankan. Tidak ada lelah, tidak ada ragu, hanya ada keyakinan bahwa Allah akan menolong setiap langkah perjuangan yang diniatkan untuk-Nya.

Dan kini, 32 tahun setelah pondok ini berdiri, kita melihat hasilnya.
Pondok yang dulu hanya gagasan kini telah menjadi tempat menimba ilmu bagi ribuan santri.
Santri yang dulu hanya bocah kecil yang mengeja huruf hijaiyah, kini telah menjadi ulama, pendidik, dan pemimpin di berbagai penjuru negeri.

“Ya Allah, jadikanlah pahala semua ilmu yang beliau ajarkan mengalir tiada henti. Seperti sungai yang tak pernah kering, seperti cahaya yang tak pernah padam.”

Doa yang Menghubungkan Hati dan Waktu

Ketika alumni dan santri menadahkan tangan, doa mereka bukan hanya serangkaian kata.

Doa itu adalah bentuk pengabdian, bentuk cinta yang tetap hidup meskipun jasad telah tiada.
Doa itu adalah bukti bahwa seorang guru yang ikhlas tidak akan pernah benar-benar pergi.
Doa itu adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

KH. Abdul Rasyid Sabirin menutup matanya sejenak, meresapi suasana sebelum berkata,

"Beliau telah pergi, tapi warisannya tetap hidup. Maka mari kita lanjutkan perjuangan ini. Mari kita jaga pondok ini, kita besarkan, kita jadikan lebih baik lagi, agar setiap huruf yang diajarkan di sini menjadi amal jariyah yang terus mengalir untuk beliau.”

Alumni yang hadir mengangguk, mata mereka berkaca-kaca. Mereka sadar, warisan terbesar yang bisa diberikan kepada pendiri pondok ini bukan hanya doa, tetapi juga tindakan nyata.

Melanjutkan Perjuangan: Dari Doa ke Aksi Nyata

Doa yang mereka kirimkan hari itu adalah awal dari sebuah janji: janji untuk terus menjaga dan membesarkan pondok ini.

Pondok ini bukan sekadar bangunan, bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah amanah, amanah yang harus dijaga oleh setiap orang yang pernah merasakan manfaatnya.

Dari sanalah muncul tekad baru:

  • Mengembangkan pondok tahfidz Quran, agar semakin banyak santri yang mencintai dan menghafalkan kalamullah.

  • Memperkuat pendidikan bahasa Arab dan Inggris, agar para santri bisa berdakwah dan berdialog dengan dunia.

  • Memperbaiki fasilitas pendidikan, agar ilmu bisa ditransfer dengan lebih baik dan nyaman.

Semua ini adalah bentuk nyata dari doa-doa yang mereka panjatkan.

Karena doa tanpa usaha adalah harapan kosong, tetapi usaha tanpa doa adalah kesombongan.

Mengenang, Bukan Sekadar Meratap, Tetapi Terus Melangkah

Ziarah dan doa ini bukan akhir dari penghormatan untuk H. Muh. Sabirin. Ia adalah titik awal dari kesadaran bahwa perjuangan harus terus dilanjutkan.

Pondok ini tidak boleh berhenti di sini.
Ilmu yang diajarkan di sini harus terus berkembang.
Generasi yang lahir dari tempat ini harus menjadi lentera di tengah gelapnya zaman.

Saat langkah-langkah alumni mulai meninggalkan Masjid Al-Amin, angin berhembus pelan, seolah membawa pesan dari sang pendiri:

"Teruslah melangkah. Jangan biarkan pondok ini redup. Teruslah berjuang, karena setiap langkah kalian adalah cahaya untuk dunia."

Dan di bawah langit yang semakin senja, mereka berjanji dalam hati:

Kami tidak akan berhenti di sini.
Kami akan terus melangkah.
Kami akan menjaga dan membesarkan pondok ini, hingga kelak kita semua bertemu kembali, dalam naungan rahmat Allah yang abadi.

Salam Progress!.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...