Di antara aroma ayam panggang yang menyeruak dari tungku, dan menu lapa-lapa dan ketupak hangat yang terhidang, tersimpan kisah yang tak lekang oleh waktu: kisah kebersamaan, kesederhanaan, dan syukur tak bertepi. Pada momen yang sederhana itu, di atas karpet depan rayon yang dikelilingi wajah-wajah penuh kenangan, tersaji lebih dari sekadar santapan jasmani—tersaji rasa yang menyatukan hati.
Malam itu, 4 April 2025 langit pondok masih menyisakan embun. Para alumni berdatangan satu per satu, saling menyapa, saling tersenyum, seakan kembali menjadi santri dengan semangat dan raut wajah masa lalu. Namun ada satu hal yang membuat momen ini begitu istimewa: makan bersama dengan KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA.—sang pemimpin, guru, dan sahabat ruhani.
Kata-kata itu menancap di relung hati. Karena memang benar, makan bersama bukan hanya soal mengisi perut. Di balik suap demi suap itu, mengalir ruh kesederhanaan yang dulu ditanamkan di pondok. Di situ, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tak ada yang lebih tua atau muda. Yang ada hanya rasa syukur yang sama-sama dihayati.
Makanan Sebagai Bahasa Cinta
Saat tangan-tangan alumni menyuap nasi dari talam yang sama, terbangun kembali ikatan tak kasat mata yang pernah melekat kuat. Di situ, tak hanya lidah yang merasakan rasa gurih sambal atau hangatnya kuah sup, tapi juga hati yang kembali diguyur oleh cinta yang lama.
Makanan di pondok tidak pernah mewah. Tapi ia selalu cukup. Cukup untuk mengisi tenaga, dan lebih dari cukup untuk mengajarkan kita arti hidup bersahaja.
![]() |
Foto: Alumni Perdana Bersama KH.Abdul Rasyid Sabirin Mengolah Rasa Terasa Dikehidupan |
Alumni dan Rasa yang Tak Pernah Hilang
KH. Abdul Rasyid Sabirin bukan hanya hadir sebagai tokoh. Ia hadir sebagai pelita yang menerangi kembali jalan kenangan kami. Di sela-sela santap malam itu, beliau berbagi kisah tentang perjuangan pondok hari ini dan cita-cita besar ke depan.
"Kita pernah susah bersama. Maka biarlah kita maju pun tetap bersama. Pondok ini harus diperjuangkan bersama," tuturnya.
Mendengar itu, hati para alumni bergetar. Dalam hati, masing-masing tahu, pondok ini adalah rumah yang melahirkan mereka—dan kini waktunya untuk kembali menghidupkan rumah itu.
Makan Itu Ibadah, Bila Didasarkan Syukur dan Niat Mulia
Dalam tradisi pesantren, makan bersama adalah bentuk ikatan ruhani. Ia bukan hanya aktivitas fisik, tapi bentuk taqarrub (pendekatan) satu sama lain. Kita saling berbagi, saling memperhatikan, bahkan saling menjaga agar yang lain tidak kekurangan. Di situlah letak keberkahan.
Makan adalah titik temu paling manusiawi, namun juga paling ilahiyah bila diniatkan untuk syukur. Di balik gumpalan nasi dan serpih lauk itu, ada cerita, ada perjuangan, ada cinta.
Menghidupkan Tradisi, Menguatkan Visi
Kegiatan makan bersama bukan hanya nostalgia. Ia adalah cara untuk menyulam kembali tradisi yang mulai pudar di tengah dunia yang bergerak cepat. Alumni, dengan berbagai latar belakang dan profesi, kembali ke pondok bukan sekadar datang—mereka pulang.
Syukur: Ruh yang Membimbing Langkah Alumni
Tak ada yang lebih indah dari alumni yang tidak lupa tanah pijaknya. Dan tak ada yang lebih menyentuh dari momen di mana alumni duduk bersila bersama gurunya, menyendok nasi dengan tangan, sambil tertawa, bercengkerama, dan mengenang masa ketika mimpi mereka baru bertunas.
Santri boleh tumbuh menjadi doktor, pengusaha, birokrat, atau pendidik. Tapi ketika ia kembali makan bersama gurunya, ia kembali menjadi santri yang penuh hormat.
Penutup: Makan Itu Momen, Syukur Itu Makna
Di akhir acara makan bersama itu, langit mulai makin terang dengan kilauan cahaya bintang. Embun malam berlahan mengejukkan bumi. Seperti halnya di dalam hati para alumni, ada embun yang tetap tertinggal: embun cinta, embun syukur, embun tekad untuk kembali berbuat.
Makan bersama ini hanyalah satu peristiwa kecil. Tapi maknanya seluas samudera. Ia mengajarkan kita bahwa yang menyatukan kita bukanlah kepentingan, tapi rasa syukur atas karunia Allah yang pernah mempersatukan kita di pondok ini.
Dan hari itu, rasa syukur tak hanya diucapkan dalam doa. Tapi dihidupkan lewat suapan demi suapan, tawa demi tawa, dan niat demi niat untuk kembali menjaga, membangun, dan mencintai Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid—rumah yang membesarkan kita semua. Salam Progress!.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar