Udara pagi masih basah. Embun yang bergelayut di dedaunan belum sepenuhnya luruh. Cahaya matahari perlahan menyingkap kelam malam, menorehkan semburat jingga di ufuk timur. Pada pagi yang bersejarah itu, 4 April 2025, sebuah langkah kecil memulai cerita besar. Lari pagi bersama alumni dan Pimpinan Pondok KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA., menjadi lebih dari sekadar aktivitas fisik—ia menjelma menjadi simbol kebersamaan, spirit perjuangan, dan pengingat akan langkah-langkah panjang yang masih harus ditempuh.
Dalam rangkaian acara Santri Sehari, momen lari pagi ini terasa istimewa. Bukan hanya karena diikuti oleh para alumni yang telah lama berpisah dari pondok, tetapi juga karena Kyai ikut berlari bersama. Di balik senyuman teduhnya, ada semangat yang tak pernah pudar. Dan di setiap langkah yang ia jejakkan, ada pesan mendalam yang harus dimaknai.
Langkah yang Menyatukan
Tak ada batas antara Kyai dan santrinya. Tak ada sekat antara yang muda dan yang telah menua. Semua berlari bersama, menyusuri jalanan yang dulu menjadi saksi perjalanan mereka sebagai santri.
Sebagian alumni tertawa kecil, mengingat masa-masa ketika mereka dulu diwajibkan berolahraga pagi. Ada yang dulu sering menghindar dengan alasan sakit perut atau tugas hafalan yang belum selesai. Kini, mereka berlari dengan penuh kesadaran—bukan karena kewajiban, tetapi karena panggilan hati.
Kyai Abdul Rasyid berlari di tengah-tengah mereka. Langkahnya tidak tergesa, tetapi tetap bertenaga. Setiap gerakannya adalah teladan, setiap nafasnya mengandung makna.
"Kita ini alumni pondok, berarti kita ini pejuang. Dan seorang pejuang harus tetap menjaga tubuh dan pikirannya agar tetap kuat," katanya dengan senyum yang khas.
Kata-kata itu sederhana, tetapi menancap dalam. Bahwa santri sejati tidak hanya kuat dalam hafalan dan pemikiran, tetapi juga dalam kesehatan dan kebugaran. Bahwa menjadi alumni bukan berarti selesai, justru ini adalah awal dari perjalanan panjang.
Berlari Menuju Perubahan
Di tengah perjalanan, beberapa alumni mulai kelelahan. Napas mereka tersengal, langkah mulai melambat. Tapi Kyai tetap berlari. Tak cepat, tetapi konsisten.
"Jangan berhenti, jangan menyerah," ucapnya dengan lembut.
Dan kata-kata itu, meski sederhana, seakan menyentuh relung hati terdalam.
Para alumni saling berpandangan. Ada yang mengangguk, ada yang tersenyum. Dan tanpa komando, mereka kembali mempercepat langkah. Karena di pundak mereka, ada amanah besar.
Jejak yang Tak Akan Hilang
Lari pagi itu akhirnya membawa mereka kembali ke halaman pondok. Matahari kini telah meninggi, menghangatkan tubuh yang letih tetapi puas. Keringat mengalir di dahi, tetapi di hati, ada sesuatu yang lebih dalam mengalir—sebuah kesadaran baru.
Kyai Abdul Rasyid berhenti di tengah lapangan. Ia menatap wajah-wajah yang ada di sekelilingnya, para alumni yang dulu pernah menjadi santri, kini telah menjadi orang-orang yang berjuang di berbagai bidang.
"Santri tidak pernah benar-benar lulus dari pondok. Kalian mungkin sudah keluar dari sini, tapi kalian tetap membawa pondok ini di hati. Dan selama itu masih ada, maka kalian tidak boleh berhenti berlari, tidak boleh berhenti berjuang."
"Karena sesungguhnya, seorang santri adalah pelari maraton. Ia berlari bukan untuk menang cepat, tetapi untuk mencapai tujuan dengan kesabaran dan keteguhan."
Suasana hening sejenak. Semua menyerap setiap kata yang diucapkan Kyai.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar