Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐍𝐲𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝟏𝟗𝟗𝟑–𝟏𝟗𝟗𝟗: 𝐊𝐚𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐝𝐚𝐧𝐚, 𝐁𝐚𝐭𝐮 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧

Oleh: Bachtiar
(Alumni Perdana Ponpes Saw).

Di sebuah tanah yang awalnya lengang, di kaki bukit yang belum bernama, kami menapakkan kaki untuk pertama kali. Tahun itu 1993. Masih terlalu dini untuk menyebutnya pesantren besar, tapi cukup kuat untuk disebut sebagai rumah pembentuk jiwa. Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid baru saja lahir dari rahim perjuangan dan cita-cita luhur seorang tokoh: Haji Muhammad Sabirin. Bersama para ustadz pengabdi, beliau membentangkan sajadah panjang bernama harapan.

Foto: Spirit Santri Perintis Kala Belajar di Alam dan Kelas Tahun 1993

Kami, para santri angkatan pertama—alumni perdana—datang dengan bekal sederhana: niat suci dan semangat yang membara. Belum ada gedung megah, hanya ada asrama yang kiri kanannya dikelilingi rawa. Alas tanah lumpur menjadi saksi bisu perjuangan awal. Tapi justru dari situ, kami belajar: bukan kenyamanan yang menempa manusia, melainkan perjuangan dalam ketidaknyamanan.

Pagi-pagi kami dibangunkan bukan hanya untuk salat subuh berjamaah, tapi untuk disadarkan bahwa dunia ini terlalu sempit bagi jiwa-jiwa malas. Siang kami digembleng dengan ilmu, malam kami dituntun dengan tilawah dan tafakur. Setiap waktu, setiap detik, adalah tarbiyah. Ustadz-ustadz kami kala itu bukan hanya pengajar, tapi ayah dan ibu kedua. Mereka tidak hanya menyampaikan ilmu, tapi menanamkan nilai.

Awal Masuk: Tetesan Air Mata dan Nyala Semangat

Hari pertama menginjakkan kaki di pondok, ada yang menangis diam-diam. Kami masih bocah belia, sebagian bahkan belum genap belasan tahun. Tapi keputusan itu sudah bulat: kami akan nyantri. Kami akan belajar hidup jauh dari pelukan ibu, jauh dari rumah yang nyaman, dan memulai petualangan spiritual yang keras namun penuh makna.

Tidak ada sambutan mewah, tak ada upacara penyambutan. Yang menyambut kami adalah aroma tanah lumpur yang basah, angin yang menyusup lewat celah-celah jendela kaca, dan suara adzan santri  yang merdu tanpa alat pengeras (toa). Tapi di sanalah cinta pertama kepada ilmu menancap kuat dalam hati kami. Kami mulai menghafal pepatah Arab "Man Jadda Wa Jada", menyelami kosa kata, dan menjadikan bahasa Arab serta Inggris sebagai mahkota kebanggaan.

Tahun-tahun Penuh Arti: Belajar, Tertawa, dan Menangis

Kami tumbuh bersama pondok. Dari Ruang Asrama yang berfungsi sebagai tempat tidur, ruang belajar, dan mushollah, dan berderet kotak lemari Santri, hingga semua sarana prasarananya yang perlahan mulai berdiri kokoh. Dari tidur beralas tikar, hingga kelak ada kasur tipis yang kami gotong bersama. Semuanya kami nikmati dengan gembira. Jika ada satu hal yang tak pernah hilang dari ingatan, itu adalah tawa dan peluh kami saat gotong royong membangun pondok: mencangkul tanah, membersihkan halaman, menyiram tanaman, dan membersihkan kamar mandi secara bergilir.

Tahun demi tahun kami lalui. Di sanalah kami belajar menjadi manusia. Kami dididik bukan hanya untuk cerdas, tapi untuk tangguh. Kami diajari bahwa ilmu tanpa adab adalah bencana, dan adab tanpa ilmu adalah kehampaan. Ustadz kami tak lelah mengulang pesan, "Santri harus bisa menjadi cahaya, bukan sekadar lilin."

Lulus dan Mengabdi: Tanggung Jawab yang Tak Pernah Usai

Tahun 1999, kami menyelesaikan masa nyantri. Tapi itu bukan akhir. Justru itu adalah babak baru dari tanggung jawab kami sebagai alumni. Beberapa dari kami mengabdi di pondok. Kami mengajar adik-adik kelas, membantu membereskan administrasi, hingga mengawal pembangunan fasilitas pondok. Kami sadar, pondok ini bukan sekadar tempat kami menuntut ilmu, tapi rumah jiwa yang harus kami rawat bersama.

Pengabdian bukanlah kerja upah, tapi kerja cinta. Dan kami mengabdi karena kami cinta. Kami menyadari, bukan seberapa banyak ilmu yang kami simpan, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kami tanam. Dari situlah kami menyebar ke berbagai penjuru negeri, membawa semangat pondok yang sederhana namun membekas.

Menjadi Alumni: Tak Sekadar Gelar, Tapi Amanah

Kini, saat waktu terus berlari, kami tetap menengok ke belakang dengan mata berkaca-kaca. Pondok yang dulu hanya berlantai tanah, kini sudah memiliki gedung bertingkat. Pondok yang dulu hanya punya satu mushalla kecil, kini memiliki masjid besar yang menampung ratusan santri. Santriwati sudah punya pondok dan asrama sendiri, bahkan STIS SAW pun berdiri megah di tanah yang sama. Tapi satu hal tak pernah berubah: semangat keikhlasan dan kesederhanaan.

Sebagai alumni perdana, kami sadar bahwa langkah kami adalah fondasi. Bahwa setiap cerita kami akan menjadi legenda yang diceritakan ulang oleh generasi berikutnya. Maka kami ingin memastikan, cerita itu bukan tentang kemewahan, tapi tentang pengorbanan. Bukan tentang prestise, tapi tentang ketulusan.

Menjaga Warisan: IKPS SAW dan Masa Depan Pondok

Hari ini, lewat wadah IKPS SAW, kami terus menjaga api itu agar tetap menyala. Kami ingin memastikan bahwa pondok ini bukan hanya kuat dari luar, tapi juga kukuh dari dalam. Kami bergerak, berjejaring, dan bersinergi demi kemajuan pondok. Kami percaya, pondok ini bisa menjadi obor peradaban, sejauh mana para alumninya mau mengambil bagian dalam perjuangan.

Kami pernah menjadi santri yang memikul kayu demi membangun dapur. Kami pernah menjadi anak-anak kecil yang takut dimarahi karena tidak hafal. Tapi kini kami adalah bagian dari sejarah pondok ini. Maka menjadi tanggung jawab kami untuk memastikan, sejarah itu terus ditulis dengan tinta emas, bukan dilupakan. Semoga Menginspirasi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...