(Alumni Perdana Ponpes Saw).
Di sebuah tanah yang awalnya lengang, di kaki bukit yang belum bernama, kami menapakkan kaki untuk pertama kali. Tahun itu 1993. Masih terlalu dini untuk menyebutnya pesantren besar, tapi cukup kuat untuk disebut sebagai rumah pembentuk jiwa. Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid baru saja lahir dari rahim perjuangan dan cita-cita luhur seorang tokoh: Haji Muhammad Sabirin. Bersama para ustadz pengabdi, beliau membentangkan sajadah panjang bernama harapan.
![]() |
Foto: Spirit Santri Perintis Kala Belajar di Alam dan Kelas Tahun 1993 |
Kami, para santri angkatan pertama—alumni perdana—datang dengan bekal sederhana: niat suci dan semangat yang membara. Belum ada gedung megah, hanya ada asrama yang kiri kanannya dikelilingi rawa. Alas tanah lumpur menjadi saksi bisu perjuangan awal. Tapi justru dari situ, kami belajar: bukan kenyamanan yang menempa manusia, melainkan perjuangan dalam ketidaknyamanan.
Pagi-pagi kami dibangunkan bukan hanya untuk salat subuh berjamaah, tapi untuk disadarkan bahwa dunia ini terlalu sempit bagi jiwa-jiwa malas. Siang kami digembleng dengan ilmu, malam kami dituntun dengan tilawah dan tafakur. Setiap waktu, setiap detik, adalah tarbiyah. Ustadz-ustadz kami kala itu bukan hanya pengajar, tapi ayah dan ibu kedua. Mereka tidak hanya menyampaikan ilmu, tapi menanamkan nilai.
Awal Masuk: Tetesan Air Mata dan Nyala Semangat
Hari pertama menginjakkan kaki di pondok, ada yang menangis diam-diam. Kami masih bocah belia, sebagian bahkan belum genap belasan tahun. Tapi keputusan itu sudah bulat: kami akan nyantri. Kami akan belajar hidup jauh dari pelukan ibu, jauh dari rumah yang nyaman, dan memulai petualangan spiritual yang keras namun penuh makna.
Tidak ada sambutan mewah, tak ada upacara penyambutan. Yang menyambut kami adalah aroma tanah lumpur yang basah, angin yang menyusup lewat celah-celah jendela kaca, dan suara adzan santri yang merdu tanpa alat pengeras (toa). Tapi di sanalah cinta pertama kepada ilmu menancap kuat dalam hati kami. Kami mulai menghafal pepatah Arab "Man Jadda Wa Jada", menyelami kosa kata, dan menjadikan bahasa Arab serta Inggris sebagai mahkota kebanggaan.
Tahun-tahun Penuh Arti: Belajar, Tertawa, dan Menangis
Kami tumbuh bersama pondok. Dari Ruang Asrama yang berfungsi sebagai tempat tidur, ruang belajar, dan mushollah, dan berderet kotak lemari Santri, hingga semua sarana prasarananya yang perlahan mulai berdiri kokoh. Dari tidur beralas tikar, hingga kelak ada kasur tipis yang kami gotong bersama. Semuanya kami nikmati dengan gembira. Jika ada satu hal yang tak pernah hilang dari ingatan, itu adalah tawa dan peluh kami saat gotong royong membangun pondok: mencangkul tanah, membersihkan halaman, menyiram tanaman, dan membersihkan kamar mandi secara bergilir.
Tahun demi tahun kami lalui. Di sanalah kami belajar menjadi manusia. Kami dididik bukan hanya untuk cerdas, tapi untuk tangguh. Kami diajari bahwa ilmu tanpa adab adalah bencana, dan adab tanpa ilmu adalah kehampaan. Ustadz kami tak lelah mengulang pesan, "Santri harus bisa menjadi cahaya, bukan sekadar lilin."
Lulus dan Mengabdi: Tanggung Jawab yang Tak Pernah Usai
Tahun 1999, kami menyelesaikan masa nyantri. Tapi itu bukan akhir. Justru itu adalah babak baru dari tanggung jawab kami sebagai alumni. Beberapa dari kami mengabdi di pondok. Kami mengajar adik-adik kelas, membantu membereskan administrasi, hingga mengawal pembangunan fasilitas pondok. Kami sadar, pondok ini bukan sekadar tempat kami menuntut ilmu, tapi rumah jiwa yang harus kami rawat bersama.
Pengabdian bukanlah kerja upah, tapi kerja cinta. Dan kami mengabdi karena kami cinta. Kami menyadari, bukan seberapa banyak ilmu yang kami simpan, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kami tanam. Dari situlah kami menyebar ke berbagai penjuru negeri, membawa semangat pondok yang sederhana namun membekas.
Menjadi Alumni: Tak Sekadar Gelar, Tapi Amanah
Kini, saat waktu terus berlari, kami tetap menengok ke belakang dengan mata berkaca-kaca. Pondok yang dulu hanya berlantai tanah, kini sudah memiliki gedung bertingkat. Pondok yang dulu hanya punya satu mushalla kecil, kini memiliki masjid besar yang menampung ratusan santri. Santriwati sudah punya pondok dan asrama sendiri, bahkan STIS SAW pun berdiri megah di tanah yang sama. Tapi satu hal tak pernah berubah: semangat keikhlasan dan kesederhanaan.
Sebagai alumni perdana, kami sadar bahwa langkah kami adalah fondasi. Bahwa setiap cerita kami akan menjadi legenda yang diceritakan ulang oleh generasi berikutnya. Maka kami ingin memastikan, cerita itu bukan tentang kemewahan, tapi tentang pengorbanan. Bukan tentang prestise, tapi tentang ketulusan.
Menjaga Warisan: IKPS SAW dan Masa Depan Pondok
Hari ini, lewat wadah IKPS SAW, kami terus menjaga api itu agar tetap menyala. Kami ingin memastikan bahwa pondok ini bukan hanya kuat dari luar, tapi juga kukuh dari dalam. Kami bergerak, berjejaring, dan bersinergi demi kemajuan pondok. Kami percaya, pondok ini bisa menjadi obor peradaban, sejauh mana para alumninya mau mengambil bagian dalam perjuangan.
Kami pernah menjadi santri yang memikul kayu demi membangun dapur. Kami pernah menjadi anak-anak kecil yang takut dimarahi karena tidak hafal. Tapi kini kami adalah bagian dari sejarah pondok ini. Maka menjadi tanggung jawab kami untuk memastikan, sejarah itu terus ditulis dengan tinta emas, bukan dilupakan. Semoga Menginspirasi!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar