Oleh: Ahmad Riyan M.Pd
Dalam dekapan sunyi malam yang menyimpan dzikir para pencari Tuhan, nama-nama itu perlahan menyala seperti bintang yang menerangi langit keilmuan. Fisabilillah, Saharuddin, Sri Izati, dan Syahrini Marfi—empat santri dan santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau—menjadi kilau harapan di tengah arus zaman yang terus menguji keistiqamahan. Mereka bukan hanya sekadar nama dalam daftar juara, melainkan pelita dari tradisi yang menghidupkan ruh wahyu.
Ajang Seleksi Tilawatil Qur'an dan Hadits (STQH) tingkat Kabupaten Buton Selatan menjadi saksi dari ketekunan, keikhlasan, dan ketajaman niat mereka. Di balik podium kehormatan dan medali yang berkilau, tersembunyi malam-malam panjang yang penuh hafalan, siang-siang yang dibakar matahari semangat, dan bisikan doa dari para guru yang tak pernah letih membimbing. Prestasi mereka bukan kebetulan, tapi buah dari tempaan jiwa yang penuh makna.
Adalah Fisabilillah, sang penjaga sabda Nabi, yang dengan khidmat melafazkan satu demi satu potongan hadits tanpa sanad hingga lima ratus jumlahnya, tanpa tergagap, tanpa ragu. Namanya kini terpatri sebagai Juara 1 Hafalan 500 Hadits Tanpa Sanad Putra, sebuah capaian yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang tekun mengakrabi ilmu dengan cinta dan tunduk.
Di sisinya, berdiri Saharuddin, yang tak kalah membanggakan. Ia menaklukkan tantangan Hafalan 100 Hadits dengan sanad, dan berhasil meraih Juara 2. Dalam benaknya, silsilah periwayat hadits bukan sekadar deretan nama, tapi jalinan spiritual yang menghubungkannya langsung dengan Rasulullah SAW. Setiap sanad adalah tongkat estafet, dan Saharuddin adalah pelari muda yang sedang memegang erat warisan tersebut.
Tak kalah indah, Sri Izati melantunkan hafalannya dengan ketenangan yang memancar dari wajahnya. Sebagai santriwati, ia tampil tak sekadar berkompetisi, melainkan mempersembahkan kemampuannya sebagai bentuk ibadah. Juara 2 Hafalan 100 Hadits dengan sanad Putri adalah bukti bahwa kekuatan intelektual dan ketulusan hati bisa berjalan beriringan.
Dan Syahrini Marfi, namanya seolah melambai lembut di angin sore yang membawa kabar baik. Ia meraih Juara 2 dalam Hafalan 500 Hadits tanpa sanad, mengukir prestasi gemilang yang menegaskan bahwa kemuliaan santri bukan lagi sesuatu yang hanya dikenang masa lalu, tapi terus hidup dan menyala dalam realita kekinian.
Keempat nama ini bukan hanya deretan juara, tapi simbol bahwa Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid sedang menyiapkan generasi emas. Pesantren ini bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi kawah candradimuka yang menempa mental, spiritual, dan intelektual. Ia mencetak pribadi-pribadi yang tidak hanya bisa berbicara, tapi menyampaikan kebenaran; bukan hanya hafal, tapi memahami; bukan hanya tampil, tapi menginspirasi.
Dalam keberhasilan ini, kita membaca lebih dari sekadar angka-angka juara. Kita membaca ketekunan ustadz-ustadz pengasuh yang dengan sabar membimbing anak-anak itu satu per satu, mengulangi pelajaran berkali-kali, hingga setiap hadits melekat tidak hanya di benak, tapi di hati.
Kemenangan para santri ini adalah gema dari ketulusan, nyanyian dari kesabaran, dan bukti nyata bahwa pondok pesantren bukanlah menara gading yang terasing, melainkan benteng umat yang kokoh. Mereka adalah para penjaga hadits, pelanjut mata rantai ilmu, penyambung lidah hikmah, dan penjaga cahaya risalah.
Hari ini, kita bersyukur. Esok, kita harus melanjutkan. Semoga cahaya yang dibawa oleh Fisabilillah, Saharuddin, Sri Izati, dan Syahrini Marfi terus menular, menyinari setiap sudut pesantren, membakar semangat santri lain untuk bangkit, belajar, dan berprestasi. Karena sesungguhnya, kemenangan sejati bukan hanya berdiri di podium, tetapi saat mampu menjadikan ilmu sebagai lentera dalam hidup.
Dan di tengah segala kesederhanaan, sekali lagi, Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid membuktikan: dari pondok yang tenang, dari kamar yang sederhana, dari mushola yang penuh sujud, akan lahir penjaga-penjaga ilmu yang akan menyalakan zaman dengan cahaya yang tak pernah padam. Semoga Menginspirasi!
Komentar
Posting Komentar