Alumni Perdana.
La Ode Ibrahim Berkisah:
Pada suatu siang di tahun 1993, matahari menggantung tenang di atas langit Kota Baubau. Di sudut perkampungan, di sebuah rumah sederhana, seorang remaja kampung menatap selembar kalender yang dibentangkan oleh Pak Rusdin, seorang anggota DPRD asal Masaloka-Mawasangka. Bukan tanggal atau kata mutiara yang menarik perhatian remaja itu, melainkan gambar ayam yang terpampang gagah di lembaran kalender. Pak Rusdin berkata pelan, "Sekolah di pondok itu enak." Dalam hati La Ode Ibrahim berbisik, enak berarti makanannya enak... seperti ayam ini...
Seperti riak kecil yang akan menjelma ombak besar, kata-kata sederhana itu mengantar La Ode Ibrahim menapaki jalan panjang penuh liku—jalan menjadi santri perdana Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Bersama dua temannya, Basmin dan Tamsuri, mereka bertiga memulai perjalanan sunyi yang kelak menjadi obor bagi ratusan bahkan ribuan santri setelahnya. Seminggu pertama mereka menginap di rumah Pak Rusdin, hingga akhirnya berpindah ke pondok yang kala itu masih berupa Gedung Makkah dengan tiga ruang: ruang satu untuk gudang penyimpanan material bangunan, dan ruang dua tempat tidur santri dan ruang tiga untuk kelas.
Ruang 2 itu sederhana, tapi di dalamnya hidup semangat yang menyala. Demikian pula ruang tiga untuk kelas. Di sanalah suara mutholaah pertama bergema dari mulut para santri. Lii Ya Dani... Yumna wa Yusro... kalimat-kalimat itu terdengar seperti mantera yang membuka gerbang cahaya. Ustadz Jamhur Baeda menjadi guru pertama, wajahnya sabar tapi tegas. Pelajaran kedua datang dari Ustadz Ruslan Daud yang mengajar khot, kaligrafi indah yang menghiasi papan nama pondok dan kaleng-kaleng di sudut kelas. Orangnya keras, merokok, tapi disiplin.
Gedung Makkah bukanlah bangunan megah seperti sekarang. Di sekelilingnya rawa-rawa dan pohon manggopa menyelimuti, menghadirkan sunyi malam yang diisi suara-suara babi hutan. Fasilitas jauh dari kata layak. Buang air besar dan kecil dilakukan bersama-sama di Wc darurat yang dikelilingi semak-semak dan rawa-rawa, dengan hati yang was-was. Tidak ada WC, tidak ada air mengalir. Mandi pun harus menumpang di sumur warga, antre menggunakan timba.
Namun justru di situlah makna sesungguhnya tertempa. Ketangguhan lahir bukan dari fasilitas, tapi dari jiwa-jiwa yang rela ditempa. Santri bukan hanya belajar nahwu-shorof, tapi juga membangun pondok dengan tangan sendiri. Batu dikumpulkan malam hari dari pantai yang saat ini dibangun Umna Rijoli dan pinggir jembatan batu, disusun untuk menimbun halaman dan jalan berlumpur. Lorong menuju pondok belum disemen, maka kaki-kaki mereka menyatu dengan tanah, membekas dalam sejarah.
La Ode Ibrahim masih ingat betul, banyak santri yang datang dan pergi. Ada yang hanya bertahan sehari, ada pula yang bertahan seumur hidup. Yang bertahan bukanlah yang paling pintar, tapi yang paling tabah. Seperti Mashur, santri lugu dari desa, yang awalnya hendak dikirim ke Jawa, namun takdir membawanya ke Bataraguru karena pertemuan tak terduga antara ayahnya dan Haji Sabirin di Jembatan Batu.
Makan pun jadi cerita tersendiri. Tiga kali sehari, tapi bukan dimasak di dapur pondok, melainkan oleh Haji Sabirin dan istrinya di Toko Tiga, Kelurahan Wale. Makanan diantar menggunakan jasa tukang becak, menjadi simbol kasih sayang di tengah keterbatasan. Uang bulanan? Hanya Rp. 22.500. Tapi nilainya tak sebanding dengan semangat yang mereka tumbuhkan.
Para ustadz saat itu tinggal di luar. Ustadz Ismail datang dari Waara, hanya mengajar lalu pulang. Kantor belum ada, ruang guru pun nihil. Tapi para ustadz punya satu kesamaan: semangat menanam ilmu. Mereka adalah lulusan pesantren dari Jawa—Gontor, Arissalah, Ngabar—yang membawa angin peradaban ke tanah Buton.
Santri perdana mengenal disiplin dari kedisiplinan ustadz. Mengenal keberanian dari pidato malam hari, yang dilakukan di ruang tidur sendiri. Mereka tidur di ruang yang sama tempat mereka berlatih pidato, mencampur antara dunia mimpi dan dunia dakwah.
Kalimat-kalimat motivasi dalam bahasa Inggris terpampang di dinding: May Come, May Go, But We Are Going Forever. Dan satu lagi yang membekas: You Can If You Think You Can and Do. Barangkali itulah mantra kesuksesan mereka. Keyakinan dan tindakan. Dua sayap yang membawa mereka terbang, meski dari sarang yang sederhana.
Tahun-tahun berlalu. Gedung Makkah kini telah berubah. Santri datang dari berbagai penjuru, fasilitas membaik, kamar mandi dibangun, dapur berdiri sendiri. Tapi satu hal tetap abadi: semangat perdana yang menyala dari kisah La Ode Ibrahim dan kawan-kawan.Ia bukan sekadar santri pertama. Ia adalah saksi hidup perjuangan pondok yang berdiri bukan di atas marmer, tapi di atas lumpur dan doa. Ia adalah bukti bahwa cahaya bisa membentang dari kalender bergambar ayam—jika diresapi dengan niat suci.
Kini, ketika nama Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid berkibar tinggi di Kota Baubau dan sekitarnya, kisah para perintis seperti La Ode Ibrahim adalah bahan bakar semangat bagi generasi baru. Bahwa keberhasilan tak datang dari fasilitas, tapi dari keberanian untuk bertahan, untuk percaya, untuk terus menimba ilmu di tengah kesulitan.
Dan kepada seluruh santri masa kini, yang berbaris rapi dalam balutan sarung dan semangat, ingatlah selalu: bahwa tempatmu berpijak kini dibangun dengan keringat, air mata, dan batu-batu yang dikumpulkan malam hari oleh para pendahulu. Hormatilah tempat ini seperti kau menghormati masa depanmu. Karena dari sini, dari tanah bernama Bataraguru, cahaya itu akan terus membentang.
La Ode Ibrahim, alumni perdana, telah menoreh sejarah. Kini, giliranmu menyusul jejaknya. Teruslah Menginspirasi
Komentar
Posting Komentar