![]() |
H. Muh. Sabirin dan Ibu Haji Berpose Bersama Santri Perdana Ponpes Saw Depan Gedung 2 Makkah Tahun 1993 |
Waktu sudah melangkah melewati jam sepuluh malam, tapi semangat cerita justru baru menyala. Dari mulut Ustad Bachtiar mengalir kisah yang tak sekadar catatan kenangan, tapi serpihan sejarah yang membentuk wajah awal Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Ia tidak sedang bercerita, ia sedang menghidupkan masa lalu.
“Waktu pertama kali saya ke pondok,” katanya memulai, “saya datang bersama Arsyid dan Haeruddin. Kami bertiga, ibarat tiga sekawan yang dikirim takdir untuk membuka bab pertama dari kitab besar bernama perjuangan.”
Pendaftaran itu dilayani langsung oleh Ustad Jamhur Baeda, wajah pertamanya pesantren yang kala itu belum sepenuhnya berbentuk pondok. Kamar mandi? Masih menumpang di rumah warga. Para ustadz? Belum ada ruang guru—mereka pun tinggal di luar, seperti Ustad Jamhur, Ustad Ruslan Daud, dan Ustad Ismail. Mereka inilah trimurti pendidik awal, yang mengajari santri bukan hanya lewat lisan, tetapi lewat laku diam dan kesetiaan.
Hari-hari awal itu adalah kisah tentang batu dan pasir. Malam-malam selepas shalat Isya, santri berbaris ke tepi pantai, memungut batu satu per satu, mengangkutnya ke atas mobil bak terbuka, lalu menumpahkannya di depan pondok. Batu-batu itu ditimbun untuk menghampar lapangan—yang kelak jadi tempat takraw dan bola. Bukan sekadar kerja fisik, itu adalah ritual membangun jiwa: dari batu tumbuh karakter, dari peluh lahir ketabahan.
“Pagi hari kita mengaji dan olahraga, dan masuk kelas, siang istirahat, sore mengaji dan berlari di lapangan. Meski disiplin belum ketat, kita merasa jadi orang-orang terhormat,” lanjutnya, sambil tertawa kecil. “Saat libur tiba, kami tampil rapi. Bahkan masyarakat bilang, mento’o ano… ao si ane… Sopan pada orang tua, sayang pada yang muda.”
Mereka bertiga, Bachtiar, Arsyid, dan Haeruddin, adalah pemandangan baru di kampung: santri berpenampilan rapi, celana panjang kain, baju kemeja dimasukkan. Tak ubahnya seperti utusan masa depan, berjalan di kampung-kampung, hingga sampai ke Gu, memancarkan aura berbeda yang menyejukkan hati masyarakat.
Namun tahun kedua datang membawa wajah baru: masa peralihan dan ujian. Teman-teman lama yang bergabung kembali, suasana mulai bergeser. Merokok sembunyi-sembunyi jadi bagian dari “kenakalan masa muda”. Tapi saat ujian tiba, halaman Gedung Makkah berubah menjadi arena perjuangan. Bacaan hafalan menggema keras—diulang-ulang seperti zikir yang menyentuh langit subuh.
Ujian lisan dan tulisan adalah panggung ketegangan dan pembuktian. Yang siap, penuh percaya diri. Yang lalai, menggigil dibawah pertanyaan ustad. Tapi semuanya berjalan dalam nuansa yang penuh berkah.
Shalat Jumat pun belum dilaksanakan di pondok. Santri harus berjalan kaki ke Masjid Asbabussalam di Bataraguru. Saat tarhim berkumandang, mereka berlarian, berebut duduk di saf depan. Tapi karena mereka masih anak-anak, para pengurus mempersilakan mereka duduk di saf kedua. Sepulangnya, makan siang di rumah Haji di Tokoh Tiga. Tradisi itu membentuk ikatan batin antara santri dan masyarakat: agama turun ke jalan-jalan kampung, bukan hanya di atas mimbar.
Tahun demi tahun pun berlalu. Naik ke kelas tiga, suasana mulai berubah. Disiplin mulai ditegakkan. Pelanggar dikenakan sanksi. Ada yang ditempeleng, dijewer, atau dihukum fisik ringan. Ustadz Saleh dikenal keras tapi lembut. Suara mesin motornya saja cukup membuat santri kembali ke posisi duduk mengaji.
“Kalau malam, dan dia datang naik motor bebeknya, kita langsung siap-siap. Yang tidur atau main langsung bangun. Suara beliau menggema: Kum Ya Akhi, Kum!,” kenangnya, membuat kami tersenyum dalam keharuan.
Nama-nama mulai bermunculan: Ustad Iron (almarhum), Ustad Aco (almarhum), Ustad Muh. Hasanuddin, Ustad Faisal Islamy, Ustad Kiaman, dan banyak lagi. Tahun ketiga, 1995, menjadi momen penting: datangnya sosok baru dari Pakistan—H. Muhammad Syaharuddin Saleh, MA. Seorang sarajan muda, penuh ilmu dan harapan, yang segera menikah dengan Ustadzah Marlina, anak kedua H. Muh. Sabirin Pendiri Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid dan kemudian ia diangkat sebagai pimpinan pondok.
Awalnya H. Muh. Syaharuddin Saleh tinggal di Tomba, Saya sering dipanggil ke rumahnya— sekadar membantu menyusun buku di lemari. Tapi dari sana pula muncul desas-desus, karena belum semua menerima pimpinan baru. Bahkan saat acara pentas seni, ada peristiwa penolakan terhadap pertunjukan pantomim oleh Kyai Syaharuddin—karena alasan adaptasi budaya dengan masyarakat Buton.
Dari situ, muncul percik konflik. Ada ustadz yang memilih keluar, seperti Ustad Andi Lukman, Ustad Makmur, Ustad Saleh, dan almarhum Ustad Amiruddin (Aco), almarhum Ustad Iron dan beberapa Ustad lainnya. Sementara yang bertahan, tetap mengabdi dalam diam dan kesetiaan. Di tengah badai kecil itu, Ustad Pengabdian dari Gontor seperti Ustad Ahmad Faisal, Ustad Asrori Muzakki, Ustad Saifuddin dan Ustad Ja’far Karim tetap teguh menjalankan amanah.
Sampai masa pengabdian itu usai, sebuah perpisahan yang menggetarkan hati pun digelar. Di ruang dua Gedung Makkah, hujan tangis pecah saat lagu “Sayonara” dilantunkan oleh Para Santri, diiringi puisi dari Husni Mubarrak. Ahmad Madjid alis Madun menyampaikan sepatah kata sebagai perwakilan santri, sementara Syarifuddin Nanti alias Komenk menjadi MC. Sebuah malam yang abadi dalam ingatan, malam ketika perpisahan menjadi zikir kolektif.
![]() |
Santri Perdana Pose Bersama dari Kiri, Ustad Ja'far Karim, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA., Ustad Ismail, Ustad Pengabdian dari Pondok Arissalah (Sebelah Kanan Ustad Ibnu Rusdi) 1997 |
Dan malam itu, di bawah langit Kota Baubau yang mulai dingin, kisah ini dituturkan dengan mata yang berbinar. Tawa bersahut dengan haru. “Kami bukan sekadar santri,” ujar Bachtiar, “kami adalah batu-batu yang dipilih, diletakkan di fondasi pondok ini. Dan setiap batu punya doa, punya jejak.”
Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Di antara desis angin dan aroma laut, kami tahu satu hal: kisah-kisah seperti ini tak boleh hilang. Ia harus ditulis, dijaga, dan diwariskan—karena dari kisah inilah, kita belajar bagaimana pondok bukan hanya dibangun oleh tangan, tapi juga oleh cinta dan cita-cita. Cerita Berlanjut, dan Teruslah Menginspirasi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar