Oleh: La Rudi
Selasa sore, 21 Mei 2025. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan langit Baubau dalam semburat jingga yang teduh. Angin dari arah bukit menderu pelan, menyapa dedaunan di sekitar Beranda Inspirasi IKPS Kios Mama Fairuz, tempat kami duduk santai, berbincang tentang hal-hal yang lebih besar dari kami sendiri.
Aku, Hamid Munir, Safar Benzema, dan seorang sahabat yang dibawa Hamid, mengukir waktu dalam percakapan yang sederhana, namun sarat makna. Letaknya unik — beranda kecil ini berdiri tak jauh dari pemakaman Islam, seakan hendak mengingatkan bahwa setiap gagasan dan langkah kita, akan suatu hari menjadi jejak yang dikenang, atau terlupakan oleh zaman. Maka, hidup tak bisa asal melangkah, harus bermakna, harus memberi.
Di tangan Hamid, kopi panas mengepul dari gelas bening, seakan hendak menandingi semangat kami yang mulai mendidih karena obrolan tentang internet, peluang bisnis, dan arah masa depan Kota Baubau serta Buton Selatan. Kami tak sedang berdiskusi dalam ruang seminar ber-AC atau meja-meja perundingan mewah. Kami hanya duduk di kursi plastik, berbagi roti hangat, tapi percakapan kami mengalir seperti sungai ilmu — jernih, menyegarkan, dan memberi harapan.
“Orang sekarang lihat jaringan itu bukan cuma soal ada atau tidak ada,” ucap Safar, dengan semangat yang mengingatkanku pada seorang pengelana digital. “Tapi kecepatannya, stabilitasnya, dan tentu saja, murahnya. Kalau bisa ketiganya, pasti laku keras.”
Aku mengangguk. Di dunia hari ini, kecepatan adalah bahasa zaman. Internet bukan lagi hanya alat hiburan, melainkan sarana belajar, alat bisnis, bahkan penentu masa depan anak-anak desa yang ingin mengubah nasib.
Hamid menyahut, “Saya pernah ke satu desa di Buton Selatan. Jaringannya lambat, anak-anak harus naik ke bukit untuk buka Google Classroom. Tapi begitu jaringan bagus masuk, warung kopi di sana berubah jadi co-working space dadakan.”
Kami tertawa kecil. Tapi dalam tawa itu, ada getar kesadaran: di tangan yang tepat, ide sekecil apapun bisa menjadi perubahan besar. Obrolan kami mengalir ke berbagai arah: dari fiber optik yang belum merata, hingga peluang kerja sama dengan provider lokal, dari potensi UMKM yang bisa naik kelas lewat e-commerce, hingga pentingnya literasi digital bagi generasi muda.
Apa yang membuat sore itu begitu istimewa bukan hanya gagasan-gagasan yang lahir, tapi suasana kebatinan yang terbentuk. Di antara sisa-sisa matahari yang menyapu batu nisan di kejauhan, kami tahu, hidup ini singkat — maka harus diperjuangkan dengan hal-hal yang berguna. Kami sadar, setiap pertemuan bisa menjadi batu loncatan menuju aksi. Setiap percakapan, jika ditangkap dengan kesadaran, bisa menjadi sumber perubahan.
Sore itu, Beranda Inspirasi IKPS bukan hanya menjadi tempat ngopi. Ia menjadi ruang tumbuhnya kesadaran kolektif. Bahwa sebagai alumni pesantren, sebagai warga Buton, sebagai manusia yang tak ingin hidupnya sia-sia — kita ditakdirkan untuk mencari celah kebaikan di sela-sela kesibukan dunia.
“Jangan pernah remehkan pertemuan kecil,” kata Hamid, perlahan. “Kadang dari obrolan sederhana seperti ini, terbit matahari perubahan.”
Aku mencatat kalimat itu dalam hati.
Saat matahari benar-benar tenggelam dan adzan Maghrib mulai terdengar samar dari kejauhan, kami tahu bahwa sore ini telah memberikan lebih dari cukup. Kami tak membawa pulang proposal, atau draft proyek. Tapi kami pulang dengan tekad baru — bahwa mulai besok, kami akan menyusun peta kecil: siapa yang harus kami temui, ke mana kami harus membawa ide, dan bagaimana kami bisa mulai bertindak.
Internet bukan sekadar sinyal. Ia adalah harapan. Di tangan pemuda yang peduli dan berpikir, ia bisa menjadi jembatan emas dari keterbelakangan menuju kemajuan.
Terima kasih, Hamid Munir, atas roti, kopi, dan ruang ini. Tapi lebih dari itu, atas inspirasinya.
Beranda kecil ini telah menjadi halaman depan peradaban yang lebih besar.
Dan kami, siap menjadi penulis kisahnya. Bom Inspirasi Kita.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar