Oleh: La Rudi
Di kaki langit Baubau yang senantiasa menyimpan hikmah, ada satu lembaga yang sedang menapaki tangga-tangga pengakuan akademik — bukan sekadar demi prestise, tetapi demi sebuah tanggung jawab luhur: menjawab tantangan zaman dengan ilmu, pengabdian, dan komitmen membangun daerah.
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Al-Syaikh Abdul Wahid telah menulis satu lembar penting dalam sejarahnya, ketika dua asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) hadir secara daring pada 22–23 Mei 2025, menelisik, mengkaji, dan menggali kualitas dari sebuah institusi yang tumbuh dari akar pesantren, tetapi merindukan langit peradaban.
Adalah Dr. Muhammad Hambali, Lc., M.A. dan Prof. Dr. Jamal Abdul Aziz, M.Ag. — dua insan ilmuwan yang menelisik bukan hanya angka dan dokumen, tetapi juga semangat dan denyut kehidupan akademik yang tersembunyi di balik lembar-lembar laporan. Mereka menyapa STIS bukan sekadar sebagai lembaga, tetapi sebagai ruh kolektif yang sedang bertumbuh, berikhtiar, dan bersujud di altar pengabdian ilmu.
Kegiatan ini bukan hanya rutinitas administratif. Ia adalah cermin yang memantulkan kesungguhan. Dalam dua hari assessment lapangan secara daring itu, seluruh unsur STIS — mulai dari pimpinan, dosen, hingga staf — hadir dengan wajah bersinar. Bukan karena ingin tampil sempurna di hadapan para asesor, tapi karena mereka sadar: ini adalah bagian dari muhasabah ilmiah, introspeksi akademik, dan perenungan intelektual untuk melangkah lebih terarah ke masa depan.
Ketua STIS, Dr. Falah Sabirin, dalam suaranya yang tenang namun kokoh, menyampaikan terima kasih kepada para asesor atas arahan dan masukan yang diberikan. Ucapan sederhana itu mengandung makna mendalam: bahwa ilmu yang kita kejar bukan untuk pengakuan, melainkan untuk keberkahan dan kemanfaatan yang luas.
Dan di balik layar daring itu, dalam hening doa yang membuka dan menutup kegiatan, KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., M.A. — Ketua Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda Al-Syaikh Abdul Wahid — mengirimkan harapannya ke langit. Sebuah harapan yang telah lama bersemayam dalam batin para pendiri lembaga ini: agar STIS menjadi mercusuar ilmu dan cahaya pengabdian di tengah-tengah masyarakat Buton dan sekitarnya.
**
Dalam era digital yang riuh oleh informasi dan disrupsi, STIS hadir dengan nafas yang berbeda. Ia bukan hanya institusi, ia adalah ideologi akademik. Ia bukan sekadar tempat kuliah, tetapi ruang di mana keislaman dan keilmuan bersatu dalam semangat membangun daerah.
STIS lahir dari rahim pesantren, dibesarkan oleh nilai-nilai luhur, dan kini berjalan menuju kematangan institusional dengan kaki-kaki akademik yang kuat. Assessment daring ini hanyalah satu tahapan, tetapi sangat menentukan. Karena dari sinilah, arah perjalanan lima atau sepuluh tahun ke depan bisa diluruskan, disesuaikan, bahkan diperbarui.
Akreditasi bukanlah semata status. Ia adalah cermin kualitas, refleksi dari niat dan tindakan yang terstruktur. Dalam assessment inilah STIS menunjukkan bahwa meskipun ia masih muda, tapi sudah matang dalam semangat dan kokoh dalam fondasi.
Dan semua ini adalah bagian dari visi besar: bahwa daerah tidak boleh selamanya bergantung pada pusat. Bahwa peradaban tidak harus datang dari ibukota. Bahwa Buton, dengan segala potensinya, bisa dan harus melahirkan pusat-pusat ilmu yang unggul, yang tak hanya menguasai kitab-kitab kepondokan, tetapi juga mahir menjelajah dunia digital, teknologi, dan kebijakan publik.
STIS menjawab zaman bukan dengan retorika, tapi dengan kerja. Dengan membangun jejaring, meningkatkan mutu dosen, memperluas riset, dan menjaga tradisi spiritual yang menjadi akar kekuatannya.
**
Sungguh, apa yang dilakukan STIS Al-Syaikh Abdul Wahid dalam dua hari itu, adalah sebuah bentuk keberanian. Berani menilai diri sendiri. Berani membuka ruang kritik. Berani berdialog dengan standar-standar nasional. Dan lebih dari itu — berani bercita-cita tinggi dalam dunia pendidikan yang kerap dilupakan di wilayah timur Indonesia.
Dan kami, para pemerhati, alumni, dan anak negeri yang mencintai tanah Buton, melihat semua ini dengan mata berbinar. Karena kami tahu, tidak banyak lembaga yang mau berjalan dengan kepala tegak dan hati tunduk seperti ini: tunduk kepada nilai-nilai keilmuan, ketekunan, dan kemanfaatan umat.
Kita patut berbangga. Tapi lebih dari itu — kita patut melanjutkan. Karena akreditasi bukanlah garis akhir, melainkan awal dari langkah yang lebih besar.
Langkah untuk menjadikan STIS sebagai pusat keilmuan syariah yang adaptif terhadap zaman. Langkah untuk melahirkan lulusan yang bukan hanya tahu hukum, tetapi juga mengerti realitas. Langkah untuk mengubah Buton — dari pinggiran menjadi pusat, dari penerima menjadi pemberi, dari penonton menjadi pemain.
**
Maka, di bawah langit Baubau yang senantiasa memeluk mimpi-mimpi besar anak daerahnya, izinkan kami menutup opini ini dengan satu pengharapan:
Semoga langkah STIS tidak pernah surut. Semoga semangat para dosen, mahasiswa, dan pemimpinnya tetap menyala. Dan semoga setiap ikhtiar yang dilakukan — sekecil apapun — menjadi bagian dari mozaik peradaban Islam yang agung, yang lahir bukan dari kota besar, tapi dari sebuah beranda timur Nusantara yang terus berjuang dalam diam dan doa. Gerak Jemari Santri Menyapa!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar