Minggu pagi, 1 Juni 2025. Hujan rintik-rintik turun pelan, seolah langit pun ingin ikut bersujud dalam syukur bersama para santri dan santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Langit tak garang, tapi mendung lembut yang melindungi. Seolah semesta paham, hari ini adalah hari sakral: hari khataman—penanda akhir sebuah perjalanan panjang, dan awal dari sebuah pengembaraan baru.
Jam menunjukkan pukul 08.30 ketika saya melangkah pelan ke lokasi acara. Hati saya mendadak dipenuhi kenangan 25 tahun silam. Saya duduk di bangku alumni, menyaksikan deretan adik-adik santri yang kini bersiap melanjutkan estafet cahaya. Dulu saya berdiri di panggung yang sama, dengan suara bergetar dan mata yang basah oleh haru. Hari itu saya menyampaikan sambutan perpisahan sebagai alumni Permata Angkatan-3—sebuah momen yang hingga kini tetap membekas, seperti goresan paku di papan hati.
Di bawah tenda yang sederhana—yang disewa khusus untuk acara ini—berdiri dengan tegap panitia yang sibuk mempersiapkan semuanya. Terdengar suara “tes, tes…” dari sound system yang mulai diujicoba. Mc terlihat melakukan breafing singkat dengan para santri di atas panggung. Beberapa ustadz tampak berkeliling: Ustadz H. Sairul dengan baju koko hijau, Ustadz Ridwan dengan kemeja batik hijau, Ustadz Safar Benzema dan Ustadz Marjuki, Pak Munir yang sibuk mengatur Para Tamu. Semua memastikan bahwa setiap detik dari acara ini berjalan tanpa cela, meski hujan sempat mengguyur dan menggoda air untuk menampung di atas tenda, nyaris membasahi layar televisi dan tamu undangan.
Kursi-kursi plastik berjajar rapi. Santri duduk rapih atau bersandar ringan, dengan busana putih bersih dan celana kain hitam. Pecinya seragam, hitam pekat seperti tinta sejarah yang mereka tulis selama bertahun-tahun menimba ilmu di sini. Sebagian pakai sepatu, sebagian lainnya bersahaja dengan sandal. Khas pondok. Khas kesederhanaan yang membesarkan jiwa.
Di layar televisi yang terpasang di sisi kanan dan kiri, muncul tayangan foto-foto perjalanan para santri dan santriwati. Sebuah dokumentasi hidup yang menggambarkan suka duka, tawa tangis, kerja keras, dan ketulusan belajar. Dua kamera terus merekam setiap detik acara, disiarkan langsung melalui tautan YouTube yang semalam telah dibagikan oleh pengurus IKPS. Sebuah langkah digital yang membawa aroma modernitas di tengah nuansa tradisi.
Tamu undangan mulai berdatangan. Terlihat Sekda Kota Baubau mewakili Walikota, Kepala Kemenag, Anggota DPRD H. Rusdin, Hj. Ratna, serta Ketua Himpunan Keluarga Wadiabero-Haiya, H. Mas’ud Buani. Keberadaan mereka menjadi penanda betapa acara ini bukan hanya milik pondok, tapi milik masyarakat, milik umat, milik sejarah yang terus bergerak maju.
Acara dibuka pada pukul 09.41, dipandu oleh Syahrul Rahman Udu dan Awal Ramadhan, dengan dua bahasa yang mengalir: Arab dan Inggris. Sungguh, ini bukan hanya seremoni, tetapi juga panggung untuk menunjukkan buah dari pendidikan yang telah mereka tempuh. Di Pondok ini, bahasa Arab dan Inggris bukan sekadar pelajaran, tetapi jati diri sehari-hari. Bahasa menjadi alat, sekaligus jembatan menuju dunia yang lebih luas.
Lagu “Oh Pondokku” berkumandang. Suaranya mengguncang bukan hanya pendengaran, tetapi juga ruang batin saya. Syairnya mengalirkan nostalgia yang manis, “Dari pagi dan petang, kita ramai sembahyang. Wahai pondok, tempat laksana ibu kandungku, yang kasih dan sayang padaku.” Saya terdiam. Air mata menari di pelupuk mata. Masa lalu itu hadir utuh dalam sekejap, membawa serta aroma ruang kelas, deru langkah di pagi buta, dan keteguhan hati ketika harus melawan rasa rindu pada kampung halaman demi ilmu dan cita.
KH. Rasyid Sabirin, Lc. MA, sang pimpinan pondok, menyampaikan pesan penuh makna. Bahwa khataman ini adalah bentuk syukur. Bahwa keberhasilan ini bukan puncak, tapi awal dari pengabdian yang lebih luas. Bahwa ilmu bukan untuk disimpan, melainkan untuk ditanam, dirawat, dan dibagikan kepada masyarakat. Bahwa seorang santri harus membawa terang ke mana pun ia pergi.
Ustadz Jamhur Baeda, Ustadz Ja’far Karim, dan Ustadz Dr. Falah Sabirin turut membersamai. Masing-masing menebar aura keteduhan dan kebanggaan. Mereka adalah cermin dari kontinuitas pendidikan, dari kaderisasi yang tak pernah putus, dari cahaya yang terus menyala, bahkan ketika malam datang menyelimuti.
Khataman ini adalah pengingat. Bahwa keberhasilan bukanlah hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari perjuangan panjang, air mata yang tertahan, dan doa yang tak pernah putus dari orang tua. Bahwa santri bukan sekadar pelajar, melainkan pembawa cahaya—yang kelak akan menjadi imam di masjid-masjid desa, penggerak di pelosok negeri, atau pemimpin di tengah kota.
Saya melangkah pulang dengan hati yang penuh. Ada haru, ada harapan, dan ada doa. Semoga mereka yang hari ini diwisuda kelak menjadi cahaya-cahaya yang menerangi zaman. Sebab mereka bukan hanya menghafal kitab, tapi juga menulis takdirnya sendiri dengan tinta ketekunan, pena keikhlasan, dan lembaran pengabdian.
Di bawah langit mendung yang perlahan cerah, saya percaya: cahaya dari pondok ini akan terus membentang, menembus batas ruang dan waktu, dan menjelma menjadi nyala yang menuntun umat.✍🤳
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar