Pagi itu, Jumat yang teduh. Langit baru saja menumpahkan hujan rintik yang cukup membuat daun-daun berkilau dan jalanan memantulkan aroma tanah yang khas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 08.30 ketika aku memutuskan singgah di sebuah kios kecil yang sederhana namun akrab: Kios Mama Fairuz. Terletak di samping pemakaman Islam, kios ini menjual aneka roti dan pulsa. Tempat itu tak hanya menjadi persinggahan lapar, tapi kadang juga menjadi ruang diskusi yang tak terduga. Dan pagi itu, seperti biasa, aku membeli beberapa roti—dua bundar dan dua donat. Tapi yang lebih penting dari itu: sebuah percakapan lahir di sela-sela gigitan rasa dan rintik hujan.
“Ambilkan saya roti bundar dua ini dan donat dua,” ucapku.
Sambil menunggu, aku membuka obrolan dengan Hamid Munir, pemilik kios yang juga alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Pembicaraan kami merambat ke tema yang selama ini bergelut di kepala: peran alumni, khususnya dalam wadah organisasi IKPS. “Yang jelas kita tidak boleh pasif,” ujar Hamid, dan saya mengangguk setuju.
Namun percakapan kami sempat terputus, ketika seorang sahabat lama singgah—Safar Yahya, M.Pd., yang saat ini sedang menempuh studi doktoralnya di UIN Malang. “Nanti saya balik, antar dulu anak,” katanya sambil menarik gas motornya.
Benar saja, tak lama ia kembali. Dan seperti biasa, obrolan kami bukan sekadar ringan, tapi menyentuh lapisan-lapisan dalam tentang masa depan, harapan, dan kekuatan alumni.
“Alumni itu besar karena anggotanya punya skill dan kemampuan yang beragam,” katanya penuh semangat. “Kata Sokrates, seni lukisan itu indah karena banyak warna tercampur. Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid sudah punya alumni dari berbagai profesi dan latar belakang. Kalau ini disatukan dan dikelola dengan baik, bisa menjadi kekuatan yang dahsyat.”
Aku terdiam sejenak, menyimak kata-katanya yang seperti menggugah potensi tidur. "Benar, kita ini mesti punya diferensiasi. Bahkan tulisan-tulisan kecil yang dibagikan dan ternyata dibaca dan memberi inspirasi. Itu juga bagian dari bagaimana menciptakan diferensiasi." Ucapnya lebih lanjut.
“IKPS itu harus punya diferensiasi, ciri pembeda dari organisasi-organisasi lainnya. Kalau tidak, kita hanya jadi kumpulan nama, bukan gerakan.”
Dalam dinginnya pagi, kata-katanya membakar gairah. Kami lalu saling berbagi cerita motivasi. Safar Yahya, seperti biasa, punya stok kisah inspiratif yang ia kutip dari para tokoh besar Islam. Salah satunya tentang Abu Nawas dan Raja Harun Ar-Rasyid.
“Suatu ketika,” katanya, “Raja Harun Ar-Rasyid bertanya, ‘Siapa yang bisa melihat Tuhan, dan membuktikan di mana Tuhan itu?’ Semua menteri bungkam. Mana ada manusia bisa melihat Tuhan, begitu pikir mereka. Tapi Abu Nawas malah mengangkat tangan.”
Aku ikut tersenyum, sudah tahu arah ceritanya. Tapi tetap saja, kisah ini punya cara membangkitkan getaran kalbu.
Abu Nawas bilang, "Saya bersedia memberikan jawaban, asal saya duduk di singgasana raja." Awalnya Raja keberatan, tapi akhirnya mengizinkan. Saat Abu Nawas duduk di singgasana, ia berkata, "Bukti Tuhan itu ada adalah karena saya sekarang duduk di singgasana Anda, sementara Anda di hadapan saya. Sesuatu yang tak mungkin tanpa kehendak-Nya.”
Tawa kecil kami pecah. Tapi di balik kisah itu, kami menangkap pesan yang lebih dalam. Bahwa gagasan bisa lahir dari mana saja—bahkan dari seorang cerdik (banyak akal) seperti Abu Nawas. Bahwa perubahan bisa datang dari siapa saja—bahkan dari alumni yang dulunya hanya anak kampung.
Kami pun kembali pada pembahasan awal: bagaimana agar alumni pondok ini tak sekadar hadir dalam acara seremonial, tapi aktif mengukir jejak di masyarakat. “Pondok itu memberi kita fondasi, tinggal bagaimana kita bangun rumah amal di atasnya,” kata Safar.
Dia membayangkan, jika saja IKPS dikelola dengan visi dan diferensiasi yang tajam, maka akan lahir banyak karya. Kita bisa punya forum literasi, program pelatihan keterampilan, sampai jaringan dakwah berbasis digital. Semua itu bukan angan, tapi mungkin. Asal dikerjakan dengan sungguh dan bukan sekadar niat tanpa langkah.
Obrolan di Kios Mama Fairuz itu pun berakhir dengan saling menyemangati. Hujan sudah reda, langit mulai terang. Tapi dalam dadaku, ada awan ide yang terus menggumpal.
Karena ternyata, sebuah gagasan besar bisa lahir dari percakapan sederhana. Di samping kuburan, dengan aroma roti dan kopi yang menggoda. Di antara sahabat yang tak pernah padam semangatnya.
Dan mungkin, Abu Nawas benar. Kadang untuk melihat Tuhan, kita harus bersedia tukar posisi, tukar cara pandang. Dan untuk membesarkan alumni, kita hanya perlu satu hal: kemauan untuk saling mendengar dan bergerak bersama.
Hari ini, kita bukan sekadar alumni. Kita adalah warna-warni dalam lukisan besar bernama perjuangan.
Mari mulai dari roti, kopi dan obrolan. Siapa tahu, besok kita bangun peradaban.
Komentar
Posting Komentar