Langsung ke konten utama

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐆𝐚𝐠𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢𝐫 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧

Menempuh Jalan Sunyi Penambang Pengetahuan Foto: (Dari Kanan) Hamid Munir, Safar Yahya, La Rudi (Lokasi Kios Mama Fairuz, 13/06/2025).

Pagi itu, Jumat yang teduh. Langit baru saja menumpahkan hujan rintik yang cukup membuat daun-daun berkilau dan jalanan memantulkan aroma tanah yang khas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 08.30 ketika aku memutuskan singgah di sebuah kios kecil yang sederhana namun akrab: Kios Mama Fairuz. Terletak di samping pemakaman Islam, kios ini menjual aneka roti dan pulsa. Tempat itu tak hanya menjadi persinggahan lapar, tapi kadang juga menjadi ruang diskusi yang tak terduga. Dan pagi itu, seperti biasa, aku membeli beberapa roti—dua bundar dan dua donat. Tapi yang lebih penting dari itu: sebuah percakapan lahir di sela-sela gigitan rasa dan rintik hujan.

Ambilkan saya roti bundar dua ini dan donat dua,” ucapku.

Sambil menunggu, aku membuka obrolan dengan Hamid Munir, pemilik kios yang juga alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Pembicaraan kami merambat ke tema yang selama ini bergelut di kepala: peran alumni, khususnya dalam wadah organisasi IKPS. “Yang jelas kita tidak boleh pasif,” ujar Hamid, dan saya mengangguk setuju.

Namun percakapan kami sempat terputus, ketika seorang sahabat lama singgah—Safar Yahya, M.Pd., yang saat ini sedang menempuh studi doktoralnya di UIN Malang. “Nanti saya balik, antar dulu anak,” katanya sambil menarik gas motornya.

Benar saja, tak lama ia kembali. Dan seperti biasa, obrolan kami bukan sekadar ringan, tapi menyentuh lapisan-lapisan dalam tentang masa depan, harapan, dan kekuatan alumni.

Alumni itu besar karena anggotanya punya skill dan kemampuan yang beragam,” katanya penuh semangat. “Kata Sokrates, seni lukisan itu indah karena banyak warna tercampur. Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid sudah punya alumni dari berbagai profesi dan latar belakang. Kalau ini disatukan dan dikelola dengan baik, bisa menjadi kekuatan yang dahsyat.”

Aku terdiam sejenak, menyimak kata-katanya yang seperti menggugah potensi tidur. "Benar, kita ini mesti punya diferensiasi. Bahkan tulisan-tulisan kecil yang dibagikan dan ternyata dibaca dan memberi inspirasi. Itu juga bagian dari bagaimana menciptakan diferensiasi." Ucapnya lebih lanjut.

IKPS itu harus punya diferensiasi, ciri pembeda dari organisasi-organisasi lainnya. Kalau tidak, kita hanya jadi kumpulan nama, bukan gerakan.”

Dalam dinginnya pagi, kata-katanya membakar gairah. Kami lalu saling berbagi cerita motivasi. Safar Yahya, seperti biasa, punya stok kisah inspiratif yang ia kutip dari para tokoh besar Islam. Salah satunya tentang Abu Nawas dan Raja Harun Ar-Rasyid.

Suatu ketika,” katanya, “Raja Harun Ar-Rasyid bertanya, ‘Siapa yang bisa melihat Tuhan, dan membuktikan di mana Tuhan itu?’ Semua menteri bungkam. Mana ada manusia bisa melihat Tuhan, begitu pikir mereka. Tapi Abu Nawas malah mengangkat tangan.”

Aku ikut tersenyum, sudah tahu arah ceritanya. Tapi tetap saja, kisah ini punya cara membangkitkan getaran kalbu.

Abu Nawas bilang, "Saya bersedia memberikan jawaban, asal saya duduk di singgasana raja." Awalnya Raja keberatan, tapi akhirnya mengizinkan. Saat Abu Nawas duduk di singgasana, ia berkata, "Bukti Tuhan itu ada adalah karena saya sekarang duduk di singgasana Anda, sementara Anda di hadapan saya. Sesuatu yang tak mungkin tanpa kehendak-Nya.”

Tawa kecil kami pecah. Tapi di balik kisah itu, kami menangkap pesan yang lebih dalam. Bahwa gagasan bisa lahir dari mana saja—bahkan dari seorang cerdik (banyak akal) seperti Abu Nawas. Bahwa perubahan bisa datang dari siapa saja—bahkan dari alumni yang dulunya hanya anak kampung.

Kami pun kembali pada pembahasan awal: bagaimana agar alumni pondok ini tak sekadar hadir dalam acara seremonial, tapi aktif mengukir jejak di masyarakat. “Pondok itu memberi kita fondasi, tinggal bagaimana kita bangun rumah amal di atasnya,” kata Safar.

Dia membayangkan, jika saja IKPS dikelola dengan visi dan diferensiasi yang tajam, maka akan lahir banyak karya. Kita bisa punya forum literasi, program pelatihan keterampilan, sampai jaringan dakwah berbasis digital. Semua itu bukan angan, tapi mungkin. Asal dikerjakan dengan sungguh dan bukan sekadar niat tanpa langkah.

Obrolan di Kios Mama Fairuz itu pun berakhir dengan saling menyemangati. Hujan sudah reda, langit mulai terang. Tapi dalam dadaku, ada awan ide yang terus menggumpal.

Karena ternyata, sebuah gagasan besar bisa lahir dari percakapan sederhana. Di samping kuburan, dengan aroma roti dan kopi yang menggoda. Di antara sahabat yang tak pernah padam semangatnya.

Dan mungkin, Abu Nawas benar. Kadang untuk melihat Tuhan, kita harus bersedia tukar posisi, tukar cara pandang. Dan untuk membesarkan alumni, kita hanya perlu satu hal: kemauan untuk saling mendengar dan bergerak bersama.

Hari ini, kita bukan sekadar alumni. Kita adalah warna-warni dalam lukisan besar bernama perjuangan.

Mari mulai dari roti, kopi dan obrolan. Siapa tahu, besok kita bangun peradaban.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...