Foto: (Dari Kanan) tampak Ustad Jamal Ponda, Ustad Kasmas, Ustad Riyan Ahmad, Ustad Hamied, dan Saya
(Sang Pengelana Pendidikan)
Gerak Jemari IKPS-, Sabtu malam, 28 Juni 2025. Jam menunjukkan pukul 20.00 ketika saya, Ustad Riyan Ahmad, Ustad Mulimu, Ustad Kasman, Ustad Jamal Ponda, Ustad Harun Bahrun yang masing-masing memarkirkan motor dan sedikit melangkah ke sebuah tempat yang telah menjadi beranda peradaban kecil bagi kami—Kios Mama Fairuz. Terletak di samping Kuburan Islam Bataraguru, kios ini tak hanya menjual aneka roti dan pulsa, tapi juga menjadi ruang berkumpulnya gagasan, nostalgia, dan bara semangat dari para alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid.
Malam itu langit menggelayut mendung, dan rintik hujan seperti memainkan simfoni lembut di atas atap seng kios. Di dalam, cahaya lampu philip menyinari wajah-wajah yang tak asing: Ustadz Kasman Rauf, anggota DPRD Buton Tengah yang lugas dan bersahaja, dan Ustadz Jamal Ponda, sosok tenang nan cerdas, kini bekerja di Yayasan Pendidikan di Jakarta yang dikelolah oleh pegawai Kemendikdasmen RI. Bersama kami ada Hamied—yang lebih akrab kami sapa Anton—tuan rumah dari obrolan malam ini.
Kami duduk melingkar, tanpa protokol, tanpa jarak sosial. Hanya sepotong roti hangat, secangkir kopi, susu dan percakapan yang jujur. Tak terasa, waktu mengalir hingga melewati tengah malam, menyentuh pukul 01.00 dini hari. Di tengah udara yang makin sejuk, kami seperti diseret kembali ke tiga dekade lalu—saat giliran jaga malam di pondok, berbincang dalam bisik, sambil memeluk selimut dan doa.
"Jakarta itu keras, tapi juga mendewasakan," ujar Ustad Kasman. Suaranya berat tapi tenang. "Kita ini lahir dari pesantren, dan dijemur oleh pengalaman di ibu kota. Apa yang kita dapat di sana bukan hanya ilmu, tapi bagaimana mengelola diri, mengenal medan, dan memahami manusia."
Jamal menimpali, "Kemajuan itu bukan semata-mata tentang gelar, jabatan, atau harta. Tapi tentang apakah kita bergerak, berubah, dan memberi dampak. Pondok kita telah menanam itu sejak awal—disiplin, kejujuran, dan adab. Di Jakarta saya belajar bagaimana nilai-nilai itu diuji. Kadang kita tergelincir, tapi bekal dari pondok selalu menjadi penuntun."
Anton, yang wajahnya bersahaja, menyambung, "IKPS itu bukan sekadar wadah alumni. Ini rumah. Di sini kita saling menyapa, saling menguatkan. Saya bukan siapa-siapa, tapi saya percaya, dari kios kecil inilah bisa lahir obor besar. Obrolan kita malam ini bisa saja sederhana, tapi dampaknya bisa menembus batas."
Obrolan ini bukan basa-basi. Ada cita di dalamnya, ada keresahan, dan ada harapan yang menganga. Kami bicara soal bagaimana IKPS bisa mengambil peran lebih besar: mendampingi santri, memberdayakan alumni, menciptakan ruang-ruang literasi dan ekonomi kreatif. Kami tak ingin hanya mengulang-ulang romantisme masa lalu. Kami ingin menciptakan masa depan.
"Kita semua sudah punya bekal," kata Kasman. "Tinggal bagaimana kita mengelolanya. Alumni kita banyak yang hebat. Tapi hebat saja tidak cukup. Harus ada arah. Harus ada tujuan bersama. Harus ada peradaban yang kita bangun."
Malam makin larut, tapi hati kami justru makin hangat. Setiap kata yang diucapkan seolah menjadi benih yang ditanam dalam ladang IKPS. Kami tahu, tidak semua akan tumbuh sekaligus. Tapi dengan kesabaran, kerja, dan doa, kelak kita akan memanen hasilnya.
Saya memandang wajah-wajah itu—teman seperjuangan, saudara sejiwa. Saya tahu, di balik canda, mereka menyimpan bara semangat yang besar. Di tengah keterbatasan, mereka tetap berbagi. Di tengah hujan rintik, mereka tetap datang.
Obrolan kami malam itu mungkin akan dilupakan orang lain. Tapi bagi kami, inilah kisah. Inilah rasa. Inilah gerak. Inilah pemikiran kami. Inilah peradaban yang kami rintis—dari sebuah kios kecil, di sudut Bataraguru, di bawah langit yang masih basah oleh gerimis.
Dan ketika kami pulang menjelang subuh, saya tahu: malam ini tidak sia-sia. Ia telah menulis jejak di hati kami. Ia telah menyalakan nyala baru dalam dada kami.
Karena dari obrolan sederhana, peradaban bisa lahir. Dari secangkir kopi-susu, sejarah bisa dimulai.
Dan dari santri yang dulu jaga malam, kini berdiri mereka yang siap menjaga cahaya zaman.
Komentar
Posting Komentar