Langsung ke konten utama

𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐈𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐩𝐚𝐭𝐫𝐢: 𝐏𝐞𝐫𝐜𝐚𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐏𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐊𝐚𝐦𝐢𝐬

Ustadz Ja'far Karim S.Pd., M.Hum

Oleh: La Rudi
(Sang Pengelana Pendidikan)

Pagi itu, Kamis 5 Juni 2025, matahari belum terlalu garang ketika langkah-langkahku menyusuri jalan sempit kiri kanan penjual pasar Kamis Jembatan Batu. Aroma tanah basah yang bercampur bau ikan asin dan rempah-rempah seolah menyambutku kembali ke ruang kenangan masa lalu. Tak ada niat belanja, hanya sekadar menyegarkan pikiran dengan hiruk-pikuk kehidupan pasar. Tapi di balik kesederhanaan pagi itu, Allah mempertemukanku dengan seorang pendidik/ ustad/ orang tua/ sahabat seperjalanan—sosok yang tak hanya mengajar, tetapi menanam nilai dalam jiwaku.

"Assalamu’alaikum," sapaku pelan.

"Waalaikumu’ssalam," jawabnya sembari menoleh. Matanya menyipit menahan senyum. "Mau belanja apa ini?" tanyanya.

"Saya tidak belanja, hanya sekadar jalan-jalan," jawabku.

Dialah Ustadz Ja’far Karim. Dulu, hampir tiga dekade lalu, aku adalah santri nakal di bawah pengawasannya. Hari ini, aku hanya seorang alumni yang rindu akan nilai-nilai yang pernah beliau tanamkan.

Kami pun berbincang ringan, namun dalam. Aku mengutarakan keinginan menulis tentang almarhum KH. Syaharuddin Saleh, pendiri pondok Al-Amanah Liabuku tercinta dan dia menjadi salah satu informannya. Ia mengangguk pelan, "Iya, nanti ke rumah. Kita ngobrol di sana." Jawabannya sederhana, tapi hangatnya menembus batinku.

Tanpa menunggu waktu, perbincangan pun mengalir. Ia mulai menuturkan kenangan lama, tentang bagaimana disiplin di pondok menjadi tiang penyangga peradaban santri. "Disiplin itu harga mati," katanya. "Mulai dari bahasa Arab dan Inggris yang wajib digunakan, sampai kerapian berpakaian—baju harus selalu dimasukkan. Tapi lebih dari itu, etika. Bagaimana adab terhadap ustadz, orang tua, dan teman. Karena ilmu tanpa etika itu bagai tubuh tanpa ruh."

Ucapannya membawaku pada satu kenangan yang lama terpendam. Aku pernah melakukan tindakan fatal di ruang kamar Gedung Makkah, tempat sholat lima waktu dilaksanakan. Waktu itu, entah karena bodoh atau sekadar mencari perhatian, aku berjoget saat adzan berkumandang. Sebuah tindakan konyol yang berbuah pahit. Rupanya Ustadz Ja’far melihatku dari lubang kecil di dinding.

Aku dipanggil. Ditempeleng beberapa kali dihadapan teman-teman. Pipiku perih, hatiku tertampar. Tapi bukan dendam yang tumbuh—melainkan kesadaran. Selepas hukuman, ia tidak menghina atau mempermalukan. Ia menasihatiku dengan tenang, bahkan memotivasiku. "..., Kalau satu hari satu kosa kata Bahasa Inggris kamu hafal, maka setahun kamu punya 366 kata. Itu belum termasuk jika kamu menambahnya dengan kalimat dan percakapan. Bisa kamu bayangkan betapa kayanya kamu nanti."

Dari peristiwa itu, aku belajar. Bukan hanya tentang rasa malu, tapi tentang tekad untuk berubah. Aku mulai menyusun perbendaharaan kata, satu demi satu. Tak lama, aku sudah bisa berbincang dalam bahasa Inggris. Aku tamat dari pondok dan melanjutkan kuliah ke Yogyakarta. Di sana, aku bahkan menerjemahkan dua buku asing: Angel Speak (Sabda Malaikat) dan How To Be Feel Confident (Tips Jadi Pede). Semuanya berawal dari satu tamparan dan satu kalimat motivasi.

Kini, 29 tahun telah berlalu. Tapi semangat itu masih mengalir. Ustadz Ja’far tetap memegang prinsipnya: bahasa adalah mahkota pondok—taajul ma’had. Dalam setiap kisahnya, dalam setiap petuahnya, aku seperti dibangunkan dari tidur panjang. Bahwa nilai-nilai pondok bukan hanya untuk masa itu, tapi untuk sepanjang hayat.

Tidak ada rasa dendam yang tertinggal. Yang ada hanya rasa syukur. Karena di masa kelam itulah aku menemukan cahaya. Karena dari tamparan itulah aku belajar menatap dunia. Dan karena didikan keras itulah aku mampu bertahan dalam samudra pergaulan, keluarga, dan dunia akademik.

Terima kasih, Ustadz. Karena telah menjadi penjaga disiplin di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, penegur saat kami lalai, dan penyemai harapan di ladang jiwa kami. Percakapan kita hari ini bukan sekadar nostalgia. Ia adalah pelita, pengingat bahwa masa lalu yang penuh tempaan adalah anugerah.

Dan aku percaya, tidak ada pertemuan yang kebetulan. Hari ini Allah mempertemukan kita bukan sekadar untuk mengenang, tapi untuk meneguhkan: bahwa jejak para guru adalah cahaya yang akan terus menyala di hati para murid yang bersyukur.

Salam takzim dari muridmu yang pernah nakal, tapi kini sedang belajar menjadi bijak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...