Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐦𝐚𝐢 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢 𝐍𝐚𝐛𝐢: 𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐈𝐝𝐮𝐥 𝐀𝐝𝐡𝐚 𝐝𝐢 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐨𝐤


Oleh : La Rudi
(Sang Pengelana Pendidikan)

Jumat pagi, 6 Juni 2025. Udara masih menyimpan sejuk subuh ketika langkah-langkah para santri, ustadz, para alumni dan masyarakat sekitar pondok mulai menyemut ke pelataran utama Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Di bawah langit biru yang belum sepenuhnya cerah, gema takbir Idul Adha telah bergema sejak dini hari, menggetarkan rongga hati yang rindu akan makna pengorbanan. Bukan hanya gema suara, tapi gema jiwa yang ditarik kembali pada kisah abadi antara seorang ayah dan putranya, Ibrahim dan Ismail. Sebuah kisah yang tak hanya dibaca, tapi dijalani dalam nafas pesantren: ketaatan, keikhlasan, dan pengabdian.

Pagi itu, halaman pondok berubah menjadi lautan putih. Sarung dan baju koko, mukena dan jilbab putih menghampar seperti sajadah besar. Semua berdiri dalam saf, tak ada sekat antara guru dan murid, alumni dan santri, tua dan muda. Yang terdengar hanyalah lantunan takbir yang dipandu oleh suara khusyuk para guru: KH. Rasyid Sabirin, Ustadz Ja’far Karim, dan Ustadz Jamhur Baeda. Takbir yang tidak hanya menggetarkan telinga, tapi juga menyirami gersang jiwa yang haus akan makna.

Sebelum sholat dimulai, Dr. Falah Sabirin membacakan tata cara pelaksanaan Idul Adha dengan tenang dan penuh kejelasan, seolah sedang menuntun kita bukan hanya pada gerakan, tapi pada niat. Lalu, KH. Rasyid Sabirin melangkah ke depan, memimpin sebagai imam. Suaranya menyusup lembut, mengalun mantap membawa jamaah menyelami hakikat sholat, menghubungkan bumi dan langit, jasad dan ruh, hamba dan Tuhan.

Usai salam terakhir, Ustadz Ahlan, M.Pd., naik ke mimbar. Wajahnya tenang, suaranya bersahaja, tapi setiap katanya menghunjam. Dalam khutbah yang ia sampaikan, kami diingatkan akan lima hal yang menjadi pondasi penghambaan: syukur atas nikmat Allah, meniti jalan lurus, melaksanakan sholat semata karena Allah, bersedekah sebagai wujud cinta, dan berkurban sebagai puncak ketaatan dan kepekaan sosial. Ia berkata, "Kurban bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol memotong ego, keserakahan, dan cinta dunia yang berlebihan."

Kalimat itu bergema lebih dalam dari gema takbir manapun. Karena memang, bukankah dunia ini terlalu riuh untuk dihadapi tanpa jiwa yang pasrah dan hati yang ikhlas?

Khutbah usai, namun suasana masih menggantung syahdu ketika KH. Rasyid Sabirin kembali menyampaikan kabar yang menyejukkan hati. Ia menceritakan kemajuan para santri—mereka yang telah menorehkan prestasi dalam berbagai lomba di Kota Baubau dan Sulawesi Tenggara. Tak hanya itu, beberapa ustadz dan ustadzah kini sedang meniti jalan ilmu ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Nama-nama yang disebut bukan sekadar pencapaian, melainkan jawaban dari doa panjang dan ikhtiar yang tak pernah padam.

Momen itu menjelma sebagai detak baru semangat pondok. Dalam gema Idul Adha, kami menyadari bahwa semangat memperbaiki kualitas pendidikan tak pernah boleh surut. Justru inilah saatnya menguatkan langkah. Idul Adha memberi pelajaran bahwa pengorbanan hari ini adalah investasi peradaban esok. Bahwa seperti Nabi Ibrahim yang rela meletakkan putranya di altar cinta Ilahi, kita pun harus rela mengorbankan kenyamanan demi kemajuan generasi.

Di bawah langit yang mulai meninggi, para santri kembali ke asrama, para alumni saling bertegur sapa, dan para guru menyapu halaman dengan senyum yang teduh. Tapi hati kami masih tertambat di mimbar khutbah, pada kisah kurban, dan pada janji diam-diam dalam diri: untuk menjadi bagian dari perjuangan ini. Untuk terus menghidupkan pondok dengan ilmu, keteladanan, dan karya.

Idul Adha ini bukan sekadar seremonial. Ia adalah peringatan, sekaligus pembaruan ikrar. Bahwa pondok bukan hanya tempat belajar, tapi tempat menyemai cahaya. Bahwa dari pondok, akan lahir bukan hanya lulusan, tapi pelita-pelita zaman.

Maka, kami pulang dari pelataran sholat bukan dengan langkah biasa, tapi dengan jiwa yang dibasuh semangat Nabi. Dan dalam hati kami, gema takbir itu masih bergaung: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar... Sebuah gema yang kini tak lagi hanya di langit-langit pondok, tapi telah menjelma dalam langkah-langkah kami menuju masa depan.

Karena seperti Ibrahim, kami pun ingin menjadikan setiap pengorbanan sebagai jalan menuju cinta-Nya.

Dan seperti pondok ini, kami ingin terus menjadi ladang bagi generasi yang siap menyemai cahaya.

Selamat Idul Adha.

#SantriMenyemaiCahaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...