Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐔𝐬𝐭𝐚𝐝 𝐅𝐚𝐢𝐬𝐚𝐥 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦𝐲

Oleh: LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Rabu pagi, 2 Juli 2025. Langit Baubau seperti baru saja terbasuh doa, awan bergumpal pelan dan angin bergerak dengan langkah halus. Hari ini, saya menuju Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku, setelah beberapa hari hanya menjadi niat yang tertahan oleh kesibukan. Hari ini, niat itu mengeras menjadi langkah. Saya ingin menyambangi seorang guru, ustad, sahabat, sekaligus pemikir pendidikan yang dalam—Ustad Faisal Islamy, M.Pd., (Pimpinan Pondok Al-Amanah Liabuku)

Dari rumah, saya sempat menyimak siaran langsung apel pembukaan tahun ajaran baru KMI Ponpes Al-Amanah melalui Facebook. Ada denyut semangat di wajah-wajah santri baru, dan di tengah kesibukan itu, saya melangkah masuk ke kantor guru. Sepatu saya lepas, adab seorang murid. Di ruang itu, aroma kopi dan kitab bersatu dalam kesunyian yang bermakna. Saya melihat Ustad Muiz dan Ustad Faisal. Kami bersalaman, bukan hanya karena tradisi, tapi karena hormat yang lahir dari hati.

Tak lama, saya duduk di sampingnya, menyimak ia memberi arahan kepada seorang ustad muda, Yasir Guara namanya. Sosok yang juga alumni Al-Amanah, lulusan Timur Tengah. "Itu Ustad Yasir Guara, dia punya potensi," ucap Ustad Faisal. "Wadiabero butuh pemimpin keagamaan yang fokus pada pembinaan umat. Kita harus menyiapkan kader-kader kuat dari sekarang."

Ia lalu mulai bercerita. Tentang pondok, tentang arah, tentang masa depan. Gayanya tenang, namun penuh intensitas. Ia menyebut sebuah kisah klasik: Sun Go Kong, tabib suci Tang Sanzang (Tong Sam Cong / Xuanzang), babi Zhu Bajie (Cu Pat Kay) dan siluman Sha Wujing (Sha Seng), Kuda Naga Putih (Xiao Bailong), yang berjalan dari timur ke barat demi mencari kitab. "Semua tokoh itu punya peran, saling melengkapi. Tabib punya visi, dan dia tahu arah. Maka perjalanan mereka tidak hanya panjang, tapi juga bermakna," katanya. Dalam perumpamaan itu, ia menggambarkan pentingnya sebuah visi dalam memimpin dan membina.

"Pendidikan pondok ini sedang kita kembangkan pelan-pelan, tapi pasti," ucapnya. Ia meyakini bahwa sistem pendidikan yang baik bukan hanya soal aturan, tapi soal kesadaran kolektif, komitmen bersama, dan penumbuhan nilai. Disiplin di pondok bukan sekadar ketertiban, tapi jalan menuju kebebasan sejati. "Disiplin itu harus membebaskan. Sama halnya seperti akreditasi, harus membebaskan."

Kalimat-kalimatnya tidak menggertak, tapi mengajak. Ia bicara dengan kedalaman, menyentuh inti permasalahan. "Orang belajar supaya hidup jadi simple. Bukan rumit. Pendidikan yang baik membuat hidup jadi mudah, dan membahagiakan," katanya. Sebuah pemahaman yang dalam, sekaligus teguran lembut terhadap banyak model pendidikan hari ini yang kaku dan melupakan ruhnya.

Kemudian ia masuk pada satu kalimat yang menggugah: "Hiduplah yang lama, dan bermanfaat bagi sesama." Sebuah petuah yang tak hanya untuk santri, tapi untuk siapa saja yang ingin hidupnya berjejak.

Ia pun menyampaikan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sekolah. Ia adalah "politik tingkat tinggi". Pendidikan mengajarkan tentang bagaimana hidup. Ia menyebut sosok Rasulullah sebagai contoh ideal kepemimpinan dalam pendidikan: "Nabi Muhammad memiliki sahabat dengan kemampuan yang beragam. Ali dengan keilmuan, Utsman dengan harta, Umar dengan kekuatan, Abu Bakar dengan kesabaran. Semua menyatu dalam satu visi kenabian."

Ia percaya bahwa pondok pesantren harus meneladani visi ini. Harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bukan hanya cakap secara keilmuan, tapi matang dalam kepribadian dan tangguh dalam perjalanan. Santri bukan hanya pembaca kitab, tapi pembaca zaman.

"Kalau kita ingin pondok ini besar, jangan hanya fokus pada dinding dan bangunan. Fokuslah pada jiwa para ustad dan santri," ujarnya. Kata-kata itu saya genggam dalam hati. Di luar, angin menyapu lembut halaman pondok. Beberapa santri berlarian, wajah-wajah muda yang akan menjadi pilar zaman esok.

Obrolan itu menembus waktu. Jam menunjukkan lebih dari sepuluh pagi. Namun dalam benak saya, waktu terasa tak berarti. Ustad Faisal bukan hanya sedang memberi nasihat, ia sedang menuliskan peta masa depan dengan bahasa sederhana, namun bermakna.

Sebelum pamit, saya menatap ruang guru itu. Sebuah tempat kecil, tapi di dalamnya berdenyut arah, melahirkan cita, dan menyusun langkah. Di tempat ini, masa depan sedang disulam. Dengan benang ilmu, dan jarum takwa.

Semoga obrolan hari ini tak hanya menjadi nostalgia, tapi menjadi energi. Untuk terus bergerak, merawat visi, dan menjadikan pondok sebagai lentera zaman. Sebab setiap langkah yang memiliki arah, adalah langkah yang bernilai. Dan setiap jiwa yang hidup dengan visi, akan abadi dalam sejarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...