(Sang Pengelana Pendidikan)
Minggu malam, 13 Juli 2025. Langit malam seperti sedang menahan tangis, menggantungkan gerimis yang tak turun, menyisakan kesyahduan yang menyelinap pelan ke dalam relung hati. Di sebuah sudut Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, tepatnya di gubuk kecil yang penuh kenangan, kami bertiga duduk dalam sunyi yang bermakna. Gubuk itu bukan sembarang bangunan; ia saksi bisu tumpahan cita-cita, isak perjuangan, dan obrolan-obrolan yang lebih tajam dari pidato para negarawan.
Saya, terbaring santai di atas sajadah yang sudah agak lusuh tapi penuh sejarah, memandang remang lampu pondok yang menyusup dari sela-sela jendela. Di seberang saya, Ustad Syarifuddin Nanti—akrab kami sapa Komenk—duduk di kursi kayu. Sebuah laptop menyala di depannya, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, seperti menggubah puisi yang menuntut kejujuran rasa. Matanya tajam, fokus pada deretan huruf yang mulai membentuk makna.
"Aku sedang merayu imajinasiku," katanya, setengah bergurau. "Biar malam ini tak sekadar lewat."
Di sisi lain, Muh. Ilham Saleh menjadi dirijen kecil suasana. Musik pelan mengalun dari perangkatnya. Lagu pertama yang diputar adalah tentang ayah, lalu berpindah ke lagu yang membuat udara seperti terhenti: lagu tentang Aba, Almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh. Sejenak kami terdiam. Suara beliau seolah kembali bergaung. Sosoknya yang bersahaja, matanya yang teduh namun tegas, dan tutur katanya yang membasuh jiwa, hadir dalam ingatan.
"Beliau itu tidak hanya mendirikan pondok, tapi membangunkan peradaban," ungkap Komenk. Kalimatnya menggema seperti doa yang tak selesai dibaca.
Kami pun mengulas banyak kisah tentang beliau. Tentang bagaimana beliau mendidik dengan hati, menanamkan disiplin, dan membentuk karakter dengan teladan. Komenk sempat mengingatkan bahwa pengabdian adalah ruh dari semua yang kita jalani. Bukan sekadar bekerja, bukan pula sekadar berada di pondok. Tapi benar-benar menyerahkan diri untuk sebuah nilai—ilmu, dakwah, dan pengembangan manusia.
"Totalitas. Itu kata kuncinya," lanjutnya. "Kita ini tidak bisa lagi setengah hati. Hidup ini terlalu mahal untuk dijalani dengan niat yang kecil."
Muh. Ilham menimpali dengan lembut, "Dan setiap perjuangan butuh semangat. Lagu itu hanya alat, tapi yang menyalakan api tetaplah tujuan kita."
Obrolan kami menembus malam. Kami berbincang soal pendidikan, soal pentingnya menulis, soal membangun semangat santri di era digital, hingga tantangan merawat warisan pemikiran KH. Syahruddin. Kami sadar, tokoh sebesar beliau tak akan tergantikan, tapi nilai-nilai beliau bisa terus dirawat. Kami, generasi yang dibesarkan oleh pondok ini, punya tanggung jawab untuk meneruskan.
Komenk kembali menatap layar laptopnya. "Setiap kalimat harus punya ruh," katanya. "Karena tulisan yang bernyawa akan membekas, seperti nasihat Aba yang kita kenang sampai sekarang."
Saya mengangguk. Dalam hati saya menulis puisi diam-diam, bahwa malam ini bukan malam biasa. Ia adalah malam yang memeluk, malam yang menyampaikan pesan, bahwa pondok ini bukan sekadar tempat tidur dan belajar, tapi ruang tumbuhnya peradaban.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Tapi kami masih terjaga. Waktu tak terasa berjalan karena hati kami sedang berjalan lebih jauh: menelusuri jejak masa lalu untuk menemukan arah masa depan. Kami adalah santri, yang pernah nakal, pernah jatuh, pernah lelah. Tapi malam ini, kami kembali menguat.
Gubuk ini adalah ruang sakral. Di sinilah semangat yang lelah dipulihkan, mimpi yang pudar diasah kembali, dan langkah yang ragu diarahkan. Kami bukan siapa-siapa, tapi dengan ilmu, kebersamaan, dan pengabdian, kami ingin jadi sesuatu yang berarti.
Terima kasih Ya Allah sudah membersamai Kami dalam balutan kebahagiaan. Terima kasih malam. Terima kasih gubuk. Terima kasih sahabat. Dan terima kasih, Pak Kyai (Aba). Engkau tetap hidup dalam obrolan kami, dalam tulisan-tulisan kami, dan dalam langkah kami yang terus mencari makna.
Malam ini bukan tentang nostalgia. Ia tentang perenungan, penyadaran, dan janji: bahwa setiap santri adalah lilin kecil yang ingin menerangi zaman, dan setiap obrolan bermakna adalah bara yang akan menyalakan obor juang selanjutnya.
Salam hangat dari Gubuk Pondok, tempat kenangan dan harapan bersatu menjadi kekuatan.
Komentar
Posting Komentar