Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐫𝐚𝐜𝐢𝐤 𝐈𝐥𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐮𝐧 𝐊𝐚𝐧𝐤𝐮𝐧𝐠: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐧 𝐈𝐧𝐬𝐩𝐢𝐫𝐚𝐬𝐢


Oleh : LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Selasa, 10 Juli 2025. Jam di hpku menunjukkan pukul 14.00 ketika langkah kaki ini menapaki jalur tanah menuju sebuah kebun sederhana, tapi tertata apik di Liabuku. Namanya Kankung Garden, sebuah lahan hijau hasil olahan tangan sabar Ustad Muh. Zaki. Di bawah payung langit yang teduh, aroma tanah basah dan semilir angin dari pepohonan sekitar membalut jiwa yang haus rehat dari hiruk-pikuk rutinitas kota.

Hari ini, saya tidak sendirian. Bersama saya, duduk santai di sebuah Gubuk berlantai bambu, Ustad Arman, M.Pd—alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid dan kini pengabdi penuh cinta di Pondok Al-Amanah. Beliau bukan hanya pendidik, tapi juga petani spiritual, yang merawat jiwa dan tumbuhan sekaligus.

"Saya traktir nasi goreng dulu, biar ngobrolnya makin hidup," katanya berseri, sambil mengeluarkan dua bungkus nasi goreng dari plastik. Kami duduk di bawah atap rumbia Gubuk yang teduh, sambil memandang rimbun daun kankung yang tumbuh subur. Lidah dimanjakan oleh bumbu nasi goreng, dan jiwa diperkaya oleh percakapan bermakna.

"Berkebun, beternak dan mengajar itu mirip," ujarnya pelan tapi dalam. "Keduanya menanam. Yang satu di tanah, yang satu di hati. Dan semua butuh kesabaran."

Saya mengangguk. Perkataan itu menusuk tepat ke relung makna. Bagi Ustad Arman, menjadi pendidik bukan sekadar pekerjaan, melainkan ibadah panjang yang menyuburkan nilai. Sementara berkebun adalah ruang kontemplatif—tempat ia mengendapkan lelah sambil tetap produktif.

"Di kebun ini saya belajar bahwa semua yang kita rawat dengan ikhlas akan tumbuh. Kankung-kankung itu tak butuh kita paksa. Cukup diberi air, tanah, dan sinar. Sama seperti santri—mereka butuh lingkungan yang mendidik, bukan paksaan."

Kalimatnya seakan mengalir seperti aliran irigasi kecil yang menyusuri bendungan. Saya merasa sedang belajar dari seorang guru yang menyatu dengan semesta. Ia bercerita tentang pengalamannya mengajar, dari kesabaran menghadapi santri yang melanggar displin hingga kegembiraan menyaksikan mereka lulus dan berdiri di mimbar kehidupan.

"Mengajar itu bukan mencetak, tapi memahat. Butuh seni, bukan hanya metode. Kadang santri datang dengan luka, dan kita harus menjadi pengobatnya, bukan hanya pengajar."

Kebun kankung ini bukan sekadar tempat bercocok tanam. Ia adalah laboratorium kehidupan. Di sela canda, kami bicara tentang krisis kepercayaan diri generasi muda, tantangan dunia digital, hingga bagaimana membangun pesantren yang adaptif, tapi tidak kehilangan nilai aslinya.

"Saya ingin pondok itu menjadi tempat di mana anak-anak bisa tumbuh utuh. Bukan hanya pintar, tapi juga punya empati. Dan saya percaya, pendidikan terbaik itu bukan yang terburu-buru mencetak prestasi, tapi yang sabar menunggu bunga karakter mekar pada waktunya."

Dalam senyap, saya menatap wajah Ustad Arman. Di sana saya temukan ketulusan. Seorang pria yang menjalani hari-harinya dengan kesadaran bahwa hidup adalah pengabdian. Ia memilih jalan sunyi sebagai pendidik, tidak mencari popularitas, tapi kebermanfaatan.

"Kita sedang hidup di zaman cepat, tapi membangun manusia itu tetap butuh waktu. Sama seperti menanam. Kalau kita tergesa, yang tumbuh hanya rumput liar. Tapi kalau sabar, kita akan panen hasil yang memuliakan."

Langit mulai merona senja. Obrolan kami seakan tak pernah habis. Tapi satu yang saya yakini, percakapan ini bukan sekadar berbagi cerita. Ia adalah aliran ilmu, pancaran makna, dan sulaman semangat baru bagi saya untuk terus berkontribusi, dalam bentuk apapun.

Dan di bawah teduhnya daun kankung, saya belajar: bahwa menjadi manusia bermanfaat, bisa dimulai dari apapun. Termasuk dari sepiring nasi goreng, sepetak kebun, dan secuil waktu berbincang bersama sahabat yang tak pernah letih menanam harapan di ladang umat.

Terima kasih, Ustad Arman. Engkau telah menanamkan semangat baru hari ini. Semoga kebun kankungmu dan ternak ayammu tumbuh subur, sebagaimana tumbuhnya anak-anak didikmu menjadi generasi yang tangguh, berilmu, dan berakhlak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...