Langsung ke konten utama

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦, 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧


Oleh : LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Malam Selasa itu, 10 Juli 2025, angin berhembus lembut membelai dedaunan yang perlahan mengering, seolah hendak menyampaikan kabar bahwa malam ini akan istimewa. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 ketika langkah kaki saya menapaki lapangan basket dan masuk ke Gubuk di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid yang sunyi namun menyimpan gema ribuan doa. Di teras kecil yang sudah tak asing, saya bertemu dua sahabat seperjalanan dalam dunia ilmu dan pengabdian: Ustadz Syarifuddin—yang biasa kami sapa Komenk—dan Ustadz Riyan.

Obrolan kami dimulai dari hal yang sederhana: menjemput jodoh. Tapi seperti biasa, dari yang sederhana itulah lahir percakapan yang menukik dalam, menyentuh relung-relung pengalaman dan perasaan. Komenk mulai mengulik tentang proses panjang, getir, dan terkadang lucu dalam meraih pendamping hidup. Kami tertawa, tapi ada makna di balik gelak. Jodoh tak sekadar takdir, tapi juga perjuangan yang dibungkus kesabaran dan keberanian menjemput masa depan.

Tak lama kemudian, datanglah Ustadz Muh. Ilham, wajahnya berseri-seri seolah membawa semangat dari laut. Obrolan pun bergeser, dari urusan hati ke kisah spot memancing favorit. Ia bercerita tentang hamparan laut yang luas, ikan-ikan yang seakan memanggil para pemancing untuk datang, dan kesunyian yang mengajarkan kesabaran. "Memancing itu seperti menunggu takdir, tapi dengan usaha. Kau harus tahu kapan menarik kail, dan kapan diam menanti arus berubah," katanya. Sebuah perumpamaan yang tak hanya berlaku di laut, tapi juga dalam hidup.

Sekitar pukul 23.00, Ustadz Ilham pamit. Malam makin dalam, namun percakapan belum ingin usai. Tiba-tiba hadir pula Ustadz Dr. Falah Sabirin, usai menghadiri rapat Dewan Guru untuk menetapkan hasil kenaikan kelas santri. Meski tampak lelah, ia tetap menyambung obrolan dengan semangat. Ia mengingatkan masa-masa berliburnya ke Yogyakarta pertengahan 2013, tentang kerinduan pada suasana diskusi intelektual dan persahabatan yang sarat makna.

"Pondok bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tapi ruang penggemblengan jiwa. Alumni harus hadir bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai energi yang menghidupkan cita dan cita-cita pondok," katanya tegas. Ia kemudian memberikan saya beberapa buku tentang Buton—tanpa banyak kata, namun saya tahu, itu adalah isyarat. Sebuah sinyal halus tapi tajam: bahwa saya harus membaca, menulis, dan menyambung cerita.

Waktu terus berjalan. Ustadz Falah akhirnya berpamitan tepat tengah malam. Tapi malam belum ingin benar-benar selesai. Komenk, yang sejak tadi menjadi semacam pemandu rasa, kembali menghidupkan obrolan. Ia mulai memeluk zaman dengan narasi-narasi filosofis. Ia mengutip kalimat yang membuat saya dan Riyan terdiam: "Menulis, kawan. Biar terang jejak kehidupan kita ini. Jangan biarkan hidup hanya sekadar lewat. Tulislah, dan abadikan makna."

Saya menatap Riyan. Ia mengangguk perlahan. Kami tahu, malam ini bukan sekadar tentang nostalgia. Ia adalah pengingat, bahwa dalam hiruk pikuk dunia, selalu ada waktu untuk menyelami makna. Bahwa pertemuan adalah takdir, dan percakapan adalah anugerah. Dalam keheningan malam, kami mengikat janji tak tertulis: untuk terus berjalan, belajar, dan menulis.

Karena kehidupan bukan hanya tentang bernafas, tetapi tentang meninggalkan jejak. Dan malam itu, di pondok yang telah menjadi rumah bagi ruh dan ruhani kami, kami menemukan kembali alasan untuk melangkah. Bukan karena dunia menunggu, tapi karena masa depan adalah cerita yang harus ditulis hari ini.

Dan malam itu, kami mulai menulisnya, dari obrolan santai yang bermakna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...