(Sang Pengelana Pendidikan)
Rabu malam, 16 Juli 2025. Jam menunjukkan pukul 20.00. Udara di Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid malam itu begitu dingin. Angin malam merambat perlahan dari bukit-bukit sunyi, menyusup ke sela-sela dedaunan dan menggigilkan kenangan. Langit tak sepenuhnya gelap; ada cahaya bintang yang gemetar di angkasa, seolah menunduk mendengarkan kami yang duduk bersahaja di sebuah kursi sederhana. Di situ, saya berbincang santai bersama KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc., MA.—Pimpinan Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid.
Obrolan kami bukan sekadar berbagi kisah, tetapi seperti membuka lembaran kitab lama yang penuh jejak tinta perjuangan. Nama yang menjadi poros pembicaraan kami malam itu adalah almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh, MA.—seorang figur pengabdi, pendidik, dan pemimpin pesantren yang telah berpulang, namun jejaknya abadi di hati santri dan sahabatnya.
“Beliau itu,” ucap KH. Abdul Rasyid pelan namun penuh tekanan, “bukan hanya mengajarkan ilmu. Tapi beliau hidup di dalamnya. Cara hidupnya, caranya berjalan, bahkan caranya menatap santri pun adalah pelajaran.”
Saya diam sejenak, membiarkan kalimat itu meresap dalam hati. Malam kian larut, dan tiap detik seakan menyulam cerita.
Kami berbicara tentang ketegasan beliau. “Ketegasannya bukan karena kerasnya hati, tapi karena jelasnya visi,” lanjut beliau. “Kalau sudah soal kedisiplinan, jangan berharap bisa tawar-menawar. Itu prinsipnya.”
Saya teringat bagaimana para alumni pondok sering bercerita tentang betapa almarhum KH. Syahruddin selalu datang tepat waktu saat mengajar. Tak pernah terlambat. Bahkan beliau sering lebih dulu hadir di ruang kelas sebelum para santri. Disiplin bukanlah aturan semata dalam dirinya, tapi sudah menjadi nafas yang menghidupkan pondok.
“Kebijaksanaannya muncul bukan karena banyaknya umur, tapi karena tajamnya pandangan dan kesungguhan belajar dari setiap peristiwa,” tutur KH. Abdul Rasyid.
Kami menyinggung soal masa-masa awal berdirinya Pondok Al-Amanah di Liabuku. Betapa beliau membangun dengan tangan dan keringat sendiri, bersama istri tercinta, sahabat-sahabat seperjuangan, santri-santrinya yang setia dan patuh, mengajar, membimbing, dan memimpin dengan keteladanan. Tanpa gaji tetap. Tanpa fasilitas mewah. Hanya keyakinan, keikhlasan, dan cita-cita besar mencetak generasi beradab.
Nilai-nilai kepondokan Gontor, tempat beliau menimba ilmu, begitu kental dalam setiap langkah hidupnya. Mulai dari adab, kesederhanaan, semangat kolektif, hingga pentingnya rencana hidup yang jelas dan bertarget. “Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu sia-sia,” kata KH. Abdul Rasyid. “Setiap harinya seperti sudah tertulis targetnya: apa yang harus selesai, siapa yang harus dibimbing, dan ke mana pondok harus melangkah.”
Saya melihat ke arah langit. Bintang-bintang tampak seperti mata-mata para santri yang menyaksikan dari langit. Mungkin di antara mereka ada satu cahaya yang adalah beliau—menatap kami, tersenyum melihat obrolan malam yang menghidupkan kembali semangatnya.
KH. Abdul Rasyid menyampaikan bahwa hubungan mereka bukan sekadar kolega di dunia pendidikan, dan hubungan kakak ipar, Tapi sahabat seperjuangan. Sama-sama alumni Gontor, sama-sama membawa nilai yang mereka pelajari dan membumikan di tanah Buton.
“Jangan biarkan perjuangan beliau jadi narasi nostalgia saja,” katanya, memecah keheningan. “Kita harus melanjutkan. Kita yang masih hidup, harus menulis, membangun, dan mendidik dengan nilai yang sama.”
Saya mengangguk. Kata-katanya seperti bara yang ditiup angin. Membakar semangat dan menyala dalam dada.
Tak terasa waktu hampir tengah malam. Tapi kami masih tenggelam dalam percakapan. Tak ada yang lebih menyejukkan dari mengenang orang baik yang hidupnya diabdikan untuk kebaikan.
Obrolan itu bukan hanya obrolan. Ia adalah tafsir malam atas perjuangan. Sebuah pelajaran bahwa hidup yang mulia adalah hidup yang dijalani dengan keteguhan, keteladanan, dan keikhlasan. Sebagaimana almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh yang jejaknya masih membentang dalam doa dan cita-cita para santri.
Malam pun pulang ke sunyi. Tapi cerita ini akan terus tinggal. Di hati. Di pena. Dan di langkah-langkah yang menyambung perjuangan beliau. Makasih Pak Kyai Abdul Rasyid Sabirin sudah meluangkan waktunya berbagi kisah inspiratif.
Komentar
Posting Komentar