(Sang Pengelana Pendidikan)
Malam menggantungkan sayapnya perlahan di atas Pantai Kamali, Baubau. Angin laut menghembus lembut, seakan ikut bersaksi atas pertemuan yang tak sekadar basa-basi. Minggu, 20 Juli 2025, jam menunjukkan pukul 20.00 WITA ketika kami—sebagian dari keluarga besar IKPS (Ikatan Keluarga Pondok Syaikh)—berkumpul di sebuah pojok kecil yang kini telah menjadi ruang persahabatan: Zehan Parfum, di dekat patung naga yang menjulang gagah menyapa pelaut dan pengelana.
Aroma parfum terapung di udara, wangi khas yang menjadi ciri usaha Laode Hamuni, sahabat kami yang kini mengembangkan bisnis wewangian itu. Malam itu, wangi-wangi itu tak sekadar menyegarkan udara, tapi seolah menghidupkan kembali semangat masa lalu, semangat saat kami masih bersarung dan berpeci di pondok pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, belajar mengeja nilai-nilai kehidupan dari serambi ke serambi.
Obrolan kami bukan sekadar pelipur waktu, tapi seperti aliran sungai yang membawa serpihan-serpihan makna. Ada Ziadin, yang dengan semangat membahas peluang tambahan penghasilan dari dunia ojek online Maxim. Ia bukan hanya bicara tentang aplikasi dan tarif, tapi tentang bagaimana bertahan dengan cara terhormat di tengah kerasnya zaman. "Kita harus peka terhadap peluang," katanya sambil tersenyum, "selama halal dan tak mengganggu waktu ibadah, kenapa tidak?"
Hasan Bahrun atau Ichank, menimpali sambil menyeruput kopi kapal api yang hangat. Ia menegaskan bahwa kerja keras adalah bentuk syukur, dan hidup harus terus bergerak, seperti motor yang tak boleh mati di tanjakan.
Muh. Ilham membawa suasana menjadi lebih santai saat menyinggung spot-spot mancing favoritnya. Mulai dari pelabuhan Murhum hingga Teluk Baubau, ia bercerita dengan mata berbinar tentang strike ikan kakap dan sensasi tarikan malam. Kami tertawa, namun dalam tawa itu, terselip kesadaran: setiap orang punya jalannya, punya caranya sendiri menjaga waras dan bahagia.
Halim, dengan kamera HP-nya yang tak pernah lepas, bercerita tentang semangat mengabadikan kehidupan. Ia menunjukkan foto-foto aktivitas masyarakat Baubau yang diabadikan dari berbagai sudut, dari pasar hingga masjid. “Setiap momen adalah cerita. Dan kita butuh cerita untuk memahami hidup ini,” katanya dengan suara pelan tapi dalam.
Tak ketinggalan Pak Kasman Rauf, anggota DPRD Buton Tengah yang malam itu hadir tanpa embel-embel jabatan. Ia duduk santai, namun tetap tajam menangkap isu-isu masyarakat. Ia berbicara tentang pentingnya pemerintah hadir dalam denyut nadi rakyat, tentang kebijakan yang bukan hanya indah di atas kertas, tapi mengalir nyata ke petani, nelayan, dan pelaku UMKM. “Pemimpin itu pelayan, bukan penguasa,” kalimat itu meluncur begitu saja dari lisannya, tapi menggema lama dalam hati kami.
Saya, Hermansyah, dan Laode Hamrin, lebih banyak mendengarkan malam itu. Namun dalam diam kami, ada kekaguman dan kesyukuran. Kami tahu, bahwa malam ini bukan sekadar temu kangen, tapi semacam majelis hikmah, yang dibungkus dalam balutan obrolan santai, ditemani kopi kapal api dan empat kotak roti terang bulan yang gurih manis.
Terima kasih Pak Kasman atas traktirannya yang manis seperti niat baik. Terima kasih juga untuk Laode Hamuni, pemilik Zehan Parfum, atas tempat yang menghangatkan malam kami. Tempat ini, lebih dari sekadar toko parfum, telah menjadi ruang temu, tempat berbagi cerita, tempat menyemai harapan.
Obrolan itu kami tutup menjelang tengah malam. Udara makin dingin, namun dada kami hangat. Kami pulang membawa bukan hanya aroma parfum di baju kami, tapi juga semerbak persahabatan yang tumbuh dari kesederhanaan dan niat baik.
Inilah persahabatan ala santri: hangat tanpa basa-basi, jujur tanpa menyakiti, dan selalu mencari makna di setiap sudut kehidupan. Sebab kami pernah diajarkan, bahwa di balik obrolan sederhana, bisa lahir gagasan besar. Di balik secangkir kopi, bisa tumbuh peradaban.
Dan malam itu, di pojok patung naga, kami sedang menenun masa depan dalam wewangian silaturahmi yang suci.
Komentar
Posting Komentar