Langsung ke konten utama

𝐒𝐢𝐦𝐟𝐨𝐧𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐋𝐚𝐩𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐔𝐩𝐚𝐜𝐚𝐫𝐚

Foto: Inspeksi Barisan Santri (Tampak dari Kanan) Pimpinan Pondok Ustad Faisal Islamy M.Pd., Ustadza Hj. Nurmarlina Sabiri S.Ag., M.Pd., Ustad Ja'far Karim S.Pd., M.Hum., Ustad H. Muh. Hasanuddin Saleh,     Ustad Arsyid Saleh M.Pd., (27/07/2025)

Oleh : LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Pagi itu, Ahad, 27 Juli 2025, mentari menyapa perlahan dari ufuk timur, menebar hangatnya di halaman Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku. Jam menunjukkan pukul 07.30. Namun denyut kehidupan di pondok telah menggema sejak Subuh. Udara pagi masih menyimpan kesejukan sisa malam, tapi suasana halaman utama pondok telah menghangat oleh semangat para santri dan santriwati yang bersiap menyambut momen penting: Apel Tahunan Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy.

Tema yang diangkat tahun ini menggugah kesadaran kolektif: “Menstafetkan Cita-Cita Pendiri, Beradaptasi dengan Teknologi.” Sebuah narasi besar yang tidak hanya mengajak untuk mengingat, tetapi juga menggerakkan. Mengajak untuk mengenang pendiri pondok tercinta, almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh, sekaligus menantang generasi penerus untuk terus berinovasi di tengah zaman yang terus bergerak.

Langit biru pagi itu dihiasi oleh dengung lembut drone yang terbang mengitari kawasan pondok, menyiarkan langsung suasana apel ke kanal YouTube Al-Amanah Liabuku TV. Dari ketinggian, kamera merekam pemandangan yang memukau: barisan santri dan santriwati yang rapi, marching band yang memainkan lagu-lagu semangat, bendera yang berkibar gagah, dan seluruh dewan guru yang berdiri penuh khidmat.

Tampak Pimpinan Pondok, Ustad Faisal Islamy, S.Pd., M.Pd., didampingi oleh Hj. Nurmarlina Sabirin, S.Ag., M.Pd., serta Direktur KMI Ustad Arsyid Saleh, M.Pd., memimpin langsung prosesi inspeksi barisan. Satu demi satu, barisan konsulat dari berbagai daerah disambangi, sambil mengangguk dan tersenyum menyapa wajah-wajah muda yang penuh cita-cita. Barisan konsulat ini bukan sekadar lambang administratif. Ia adalah miniatur Indonesia yang bersemayam di jantung Pondok Al-Amanah—Buton, Muna, Makassar, Ambon, Papua, hingga Kalimantan. Semuanya berhimpun dalam satu cita: menuntut ilmu karena Allah.

Dalam amanatnya, Ustad Faisal Islamy menekankan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan di pondok. Tidak cukup hanya melestarikan nilai, tapi juga harus membingkainya dalam sistem yang terencana dan terukur. "Kita ingin pesantren ini makin dipercaya, baik oleh masyarakat, maupun oleh dunia kerja. Maka kita tidak boleh stagnan. Kita harus terus bergerak, menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, termasuk dalam penguasaan teknologi," ujarnya tegas namun bersahaja.

Pernyataan itu seperti kobaran api yang menyulut semangat. Di era digital seperti hari ini, pesantren bukan lagi hanya tempat menghafal dan mengkaji kitab, tetapi juga medan rintisan inovasi. Dan itulah yang hendak dibangun: sebuah generasi santri yang fasih membaca kitab kuning, namun tak gagap menatap layar laptop; yang mahir merangkai kalimat doa, namun juga mampu menyunting video dakwah di YouTube; yang santun dalam adab, namun juga sigap dalam dunia kerja dan pengabdian sosial.

Marching band mulai memainkan lagu "Mars Al-Amanah" yang menggema ke seluruh penjuru pondok. Seolah ingin mengatakan: "Kami ada. Kami siap melanjutkan cita-cita." Lagu itu dinyanyikan oleh para santri dengan dada membusung. Sebagian mata tampak berkaca-kaca. Ini bukan sekadar apel tahunan. Ini adalah peristiwa jiwa. Peristiwa hati. Peristiwa pengokohan identitas dan arah perjuangan.

Di balik gegap gempita acara ini, kita tak boleh lupa pada tangan-tangan yang senyap namun penuh pengabdian. Ustadz dan ustadzah yang mengajari dengan sabar. Petugas dapur yang memasak dengan cinta. Santri senior yang melatih adik-adiknya. Operator kamera yang merekam diam-diam namun penuh dedikasi. Semuanya bergerak dalam harmoni. Menyatu dalam simfoni pengabdian.

Dan dari semua itu, sosok almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh kembali hadir dalam kenangan. Wajahnya mungkin telah tiada, namun jejaknya masih hidup dalam setiap sudut pondok ini. Dalam sistem disiplin yang diterapkan. Dalam nilai keikhlasan yang diajarkan. Dalam visi pendidikan yang meramu antara ilmu dan amal, antara tradisi dan modernitas.

Beliau adalah ruh dari semua ini. Sosok yang semasa hidupnya begitu tegas, namun juga bijaksana. Yang mampu mengambil keputusan dengan cepat, namun tetap mempertimbangkan maslahat. Yang punya rencana-rencana jangka panjang, namun juga menyentuh kehidupan sehari-hari. Dan semua itu kini diteruskan, diwariskan, distafetkan.

Apel Khutbatul Arsy tahun ini adalah peneguhan kembali. Bahwa Pondok Al-Amanah bukan sekadar lembaga. Ia adalah gerakan nilai. Ia adalah rumah cita-cita. Ia adalah mata air perjuangan yang tidak akan kering selama masih ada santri yang mau belajar, guru yang mau membimbing, dan masyarakat yang mau mendukung.

Kita semua adalah bagian dari cita-cita itu. Maka mari kita rawat. Mari kita jaga. Mari kita teruskan. Dengan ikhlas. Dengan ilmu. Dan dengan teknologi yang bersahabat.

Karena sejatinya, khidmah kepada pesantren adalah khidmah kepada umat. Dan khidmah kepada umat adalah jalan menuju ridha Allah.

Selamat datang tahun ajaran baru. Selamat datang para pejuang baru. Selamat datang generasi estafet yang akan mengibarkan panji-panji Al-Amanah di cakrawala masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...