Langsung ke konten utama

𝐌𝐞𝐧𝐞𝐫𝐣𝐞𝐦𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐬𝐚𝐧 𝐆𝐮𝐫𝐮, 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐒𝐮𝐤𝐬𝐞𝐬 𝐚𝐥𝐚 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢

Bingkai Bersama: (Dari Tengah) Ustad Faisal Islamy, Ustad Jafar Karim, (Kanan ke Kiri) Muh. Ilham Saleh, La Rudi, Arsyid Saleh, La Ode Ibrahim,
Muchsan Muslihin, Abd. Muizu (27/07/2025)
Oleh: LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Di suatu pagi yang tenang, saat embun masih setia menetes di ujung daun, seorang santri membuka kitabnya. Suaranya lirih, penuh takzim. Tak hanya lidahnya yang bergerak, tapi juga jiwanya yang menyerap makna. Ia tak hanya membaca, tetapi sedang menerjemahkan kehidupan. Di balik huruf-huruf Arab yang berjajar, ia mendengar suara gurunya: “Jangan hanya tahu ilmu, jadilah cahaya yang menghidupkan ilmu itu.”

Foto: Para Ustad Ponpes SAW Menjelajahi Alam di Puncak Lakudo (Dari Kiri) Suddin Aly, Almarhum Andi Lukman Ruslan Daud, La Marissa, Komaruddin Sekitar 1996-an

Begitulah santri memulai harinya. Tak sekadar belajar, tapi berlatih menjadi manusia. Tak sekadar paham, tapi mendalam. Sebab di balik setiap pesan guru, tersimpan pelita yang jika diterjemahkan dengan sungguh-sungguh, mampu menuntun ke arah keberhasilan, bukan hanya di akhirat, tapi juga di dunia nyata.

Bingkai Bersama: (Dari Kanan) Saya, Ust. Amir Karim,
Ust. Suddin Aly, Ust. Muh. Ust. Ilham Saleh ( 27/07/2025)
Namun, bagaimana caranya? Bagaimana santri—yang terbiasa hidup dengan kitab dan kesederhanaan, bisa sukses dalam dunia yang keras, cepat, dan penuh kompetisi? Jawabannya terletak pada kemampuan untuk menerjemahkan pesan guru dalam kehidupan sehari-hari.

Almarhum KH. Muh. Syahruddin Berpose Bersama Santri Perdana Pondok Putra Darussalam Al-Amanah Sekitar 2006an 

KH. Abdul Rasyid Sabirin 

1. Pesan Guru adalah Arah, Hidup adalah Perjalanan

Pesan para guru—baik yang tertulis dalam kitab, yang disampaikan dalam majelis, maupun yang tersirat dalam tingkah laku mereka—bukanlah kumpulan nasihat kering. Ia adalah arah. Seperti kompas yang menunjuk utara. Tugas santri adalah bergerak, melangkah, dan menjadikan arah itu sebagai petunjuk dalam menapaki kehidupan.

Misalnya, saat guru berkata, "Kejujuran itu pondasi rezeki," maka santri tak akan mencuri kesempatan dalam berbisnis, tak akan memalsukan laporan hanya demi keuntungan sesaat. Ia percaya bahwa rezeki akan datang lewat jalan yang halal, walau mungkin lambat.

Ketika guru pernah mengajarkan, "Berbuat baiklah walau tak dilihat orang," maka santri akan menyapu jalanan tak dikenal, menolong sahabat tanpa sorotan kamera, dan menulis kebaikan di lembar kehidupan dengan tinta keikhlasan.

Pesan-pesan sederhana itu, bila diterjemahkan dalam hidup nyata, menjadi pondasi kuat untuk membangun keberhasilan yang berakar pada nilai dan bukan sekadar angka.

2. Sukses Ala Santri: Teguh, Tangguh, dan Tak Lelah Belajar

Sukses ala santri bukanlah tentang kemewahan, tetapi kebermanfaatan. Bukan sekadar jabatan, tapi seberapa luas keberadaan kita bisa menjadi rahmat bagi sesama.

Santri terbiasa bangun sebelum fajar, memulai hari dengan air wudu dan bacaan doa. Rutinitas ini membentuk karakter: disiplin, spiritual, dan tahan banting. Maka ketika ia masuk ke dunia nyata—sebagai guru, dosen, pengusaha, birokrat, petani, penulis, atau bahkan pemimpin—ia membawa etos itu bersamanya.

Ia tidak gampang menyerah, sebab di pondok dulu, belajar itu disertai dengan lapar, haus, dan rindu. Ia sudah kenyang dengan ujian—baik dalam bentuk hafalan maupun kehidupan.

Dan inilah sukses ala santri: ia tangguh menghadapi badai, tapi tetap lembut dalam bicara. Ia gigih bekerja keras, tapi tetap tawadhu di hadapan Allah dan manusia.

3. Menerjemahkan Kesabaran, Menjadi Keteguhan

Kesabaran adalah bahasa yang diajarkan guru lewat diamnya, lewat tatapan yang penuh makna ketika kita salah, lewat senyuman ketika kita bandel tapi tetap dipeluk dalam doa.

Di luar pondok, dunia nyata sering tak sabar: semua ingin cepat, instan, dan mengabaikan proses. Tapi santri diajarkan untuk sabar. Mengantri saat mengambil makan, menunggu giliran kamar mandi, atau menanti gaji dari pengabdian yang tak seberapa.

Santri tahu, bahwa setiap hal baik butuh waktu. Maka ketika membangun usaha, ia tak panik saat jatuh. Ketika meniti karier, ia tak silau pada pencapaian instan. Ia belajar dari pesan gurunya: “Allah tidak melihat hasilmu, tapi kesungguhan usahamu.”

4. Memaknai Kegagalan, Menghidupkan Istighfar

Guru tak hanya mengajarkan sukses, tapi juga bagaimana bersikap saat gagal. Santri tahu, bahwa tidak semua impian akan jadi kenyataan. Tapi santri juga tahu, bahwa istighfar bukan sekadar ucapan, tapi kunci untuk bangkit.

Dulu, saat lupa hafalan, santri dihukum berdiri atau mengulang lagi dari awal. Itu bukan hukuman, itu latihan jiwa. Maka di dunia nyata, ketika usahanya bangkrut, atau proyeknya gagal, ia tidak menyalahkan orang lain. Ia istighfar, mengevaluasi diri, lalu bangkit lagi.

Pesan guru: “Allah sayang pada hamba yang bersungguh-sungguh lalu bertobat ketika keliru.” Dan santri, lebih percaya itu daripada kata motivator mana pun.

5. Menjadi Cahaya, Bukan Sekadar Penonton Dunia

Dunia hari ini dipenuhi penonton. Banyak yang hanya mengamati, mengomentari, mengkritik, tapi sedikit yang mau bertindak. Santri diajarkan oleh guru untuk menjadi pelaku. Menjadi cahaya, bukan bayang-bayang. Menjadi solusi, bukan beban.

Maka ketika santri masuk ke tengah masyarakat, ia membawa nilai: kejujuran, ketulusan, kesungguhan. Ia bukan hanya sibuk membangun bisnis, tapi juga membangun masjid. Ia tidak hanya mengelola keuangan, tapi juga menjaga akhlak.

Pesan guru: “Jadilah seperti lilin, meski terbakar, tapi menerangi sekitar.” Dan itulah yang dihidupkan santri—bahwa hidup bukan soal nyaman, tapi tentang bermanfaat.

6. Guru Tak Pernah Pergi, Jika Pesannya Dihidupkan

Banyak guru telah tiada. Nama mereka mungkin tak dikenal dunia. Tapi jika pesan mereka masih hidup di hati murid, mereka abadi. Maka tugas santri bukan hanya mengenang, tapi menghidupkan. Tugas santri adalah menjadi lanjutan dari doa-doa para guru, menjadi bukti dari ajaran yang mereka wariskan.

Jika dulu guru mengajarkan akhlaq, maka santri harus jadi teladan akhlak di kantor, di pasar, di rumah tangga. Jika dulu guru mengajarkan tauhid, maka santri harus menjaga aqidahnya meski ditawarkan kekuasaan dan kemewahan.

Guru tak pernah meminta balas budi. Tapi jika kita sukses, dan nilai-nilai mereka tetap hidup dalam hidup kita, itulah bentuk terindah dari rasa terima kasih.

7. Jalan Panjang Masih Terbentang

Santri bukan manusia suci, bukan pula makhluk tanpa cela. Tapi santri punya satu kelebihan: ia pernah dididik untuk menjadi manusia yang utuh, yang hidup bukan sekadar untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain.

Maka, mari terus menerjemahkan pesan guru dalam setiap langkah hidup kita. Jadikan kerja kita sebagai bentuk ta’allum. Jadikan keluarga kita sebagai ruang pengabdian. Jadikan lingkungan kita sebagai pondok baru, tempat kita menyebarkan nilai-nilai mulia.

Sukses ala santri bukan hanya soal menjadi pejabat atau pengusaha. Tapi menjadi manusia yang kuat dalam prinsip, lapang dalam berbagi, dan rendah hati dalam keberhasilan.

Karena pada akhirnya, pesan guru adalah lentera. Dan hidup kita adalah jalan yang masih panjang. Mari berjalan dengan cahaya itu, agar tak hanya selamat, tapi juga memberi terang bagi dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...