(Sang Pengelana Pendidikan)
Pagi itu (Minggu, 27/07/2025), mentari baru saja mengintip malu dari balik jendela langit. Di Pondok Pesantren Al-Amanah menandai momen Acara Pekan Perkenalan (Khutbatul Arsy), deru mesin tua yang khas membelah udara pagi dengan irama nostalgia yang menyayat ingatan. Sebuah parade kendaraan sederhana namun sarat makna pun dimulai. Bukan parade mewah dengan deretan mobil sport atau motor gede penuh silau. Tapi parade pengabdian, parade ide, parade sejarah, yang mengalir dalam denyut roda kendaraan tua milik pondok, yang dikendarai langsung oleh tangan-tangan yang dulu ditempa dalam peluh dan sabar: para guru, para pendidik, dan para pembawa obor peradaban.
Adalah Ustad Abdul Muizu dan Ustad Arman (Alumni Ponpes Modern Al-Syaikh Abdul Wahid yang berbeda angkatan) saling bersinergis di pelataran medan juang pengabdian Pondok Modern Al-Amanah, dua nama yang hari ini mengemudikan kendaraan legendaris pondok dengan sepenuh jiwa. Di bawah sorot kamera Direktur Utama Media Al-Amanah, Ustad Ramsul Hasan (Alumni Ponpes Modern Al-Syaikh Abdul Wahid), parade itu bukan sekadar visual, tapi pesan yang bergerak. Ia menggambarkan perjalanan panjang pondok dari masa ke masa—meniti jalan penuh batu, melintasi lembah ketidaktahuan, mendaki tanjakan zaman yang penuh tantangan.
Motor tua yang mereka kendarai bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah saksi bisu dari ribuan langkah santri yang berlari mengejar ilmu, adalah pembawa suara pengumuman khutbatul arsy, adalah pengantar bahan bangunan saat masjid direnovasi, dan juga pembawa logistik saat santri-santri isolasi pandemi beberapa tahun silam. Kini, ia tampil di hadapan publik, dengan suara berderak tapi gagah, menunjukkan bahwa pengabdian sejati tak lekang oleh usia dan debu jalanan.
Dan parade hari itu pun menjadi kian berwarna, sebab dalam momen itu pula, KH. Ahmad Karim (Alumni Ponpes Gontor) — sosok yang dihormati dan penuh wibawa — ikut memeriahkan acara dengan mengendarai mobil bus sekolah pondok. Bus yang biasanya membawa santri menjemput ilmu ke arena perlombaan, atau mengantar mereka ziarah dan studi banding ke dunia luar, kini tampil dalam gemuruh nostalgia, dikendarai oleh tangan seorang guru yang tak pernah lelah menanamkan akhlak, kedisiplinan, dan kasih sayang dalam setiap perjalanan pendidikan. Suara klaksonnya bukan sekadar denting kendaraan, tapi gema pengasuhan dan doa yang tak pernah putus dari lisan seorang kiai.
Dari balik lensa, Ustad Ramsul Hasan dan Ustad Nowy (Alumni Ponpes Modern Al-Amanah) tidak hanya merekam gambar, tapi juga merekam jiwa. Kamera yang ia pegang adalah pena zaman. Ia menulis sejarah pondok bukan dengan tinta, tapi dengan cahaya dan gerak. Setiap sorotan kamera adalah ayat-ayat peradaban yang ditayangkan melalui kanal Al-Amanah Liabuku TV, menjangkau santri yang rindu, alumni yang jauh, dan orang tua yang berdoa. Ini bukan media biasa, tapi media dakwah yang menyampaikan bukan hanya berita, tapi juga cahaya nilai.
Parade kendaraan ini menjadi simbol bahwa media pondok bukan sekadar alat dokumentasi. Ia adalah kendaraan misi. Kendaraan yang tak hanya menyiarkan, tapi juga menginspirasi, menggugah, dan menanamkan semangat. Di sinilah letak kekuatan pesantren Al-Amanah: ia bukan sekadar mendidik di ruang kelas, tapi juga membangun kesadaran kolektif umat melalui ruang digital.
Bingkai kebersamaan para pimpinan, guru, dan santri menyatu; senyum, canda, dan tawa; kesal, marah, dan peluh — semua meleleh dalam satu warna, menjadi bumbu rasa yang menemukan jalan, ritme, dan harmoni, sebagaimana simfoni dalam musik drum band. Tidak semua harmoni terbentuk dari nada indah, ada kalanya dentuman keras, tabuhan cepat, atau bunyi lirih pelan yang justru melengkapi irama. Begitulah kehidupan di pondok: dinamis, mendidik, penuh kejutan, namun selalu kembali pada irama pengabdian.
Bila kita menengok sejarah, sejak tahun 2000 hingga 2007, Almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh, sang pendiri pondok, telah meletakkan fondasi peradaban ini dengan keteladanan. Ia tidak mewariskan gedung mewah, tapi nilai dan arah. Ia tidak meninggalkan sistem yang kaku, tapi semangat yang lentur. Maka dari itu, ketika kendaraan-kendaraan ini melintas di tengah santri dan para guru, mereka tidak hanya melihat mesin yang hidup, tapi juga ruh perjuangan yang terus menyala.
Semangat itu pula yang dilanjutkan oleh para pimpinan pondok dari masa ke masa. Dari mereka yang pernah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Pondok Al-Syaikh Abdul Wahid, hingga yang kini berkhidmat di Al-Amanah, semua menyatukan diri dalam visi besar: menjadikan pesantren sebagai benteng nilai dan pelopor perubahan.
Kolaborasi lintas pondok ini bukan sekadar simbol persaudaraan, tapi strategi kultural dan edukatif untuk menghadapi zaman yang berubah begitu cepat. Teknologi digital, arus informasi, dan tantangan akhlak menjadikan kolaborasi ini mutlak. Maka para alumni pondok—dimanapun mereka berada—disebut untuk bersatu, untuk kembali pulang, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam misi bersama.
Setiap santri yang menyaksikan parade itu tahu: suatu hari nanti, mereka pun akan mendapat giliran mengendarai "kendaraan zaman" ini. Entah itu dalam bentuk dakwah di mimbar, jurnal di kampus, mikrofon di studio, atau bahkan dalam senyap sebagai guru honorer di pelosok negeri. Mereka akan menjadi pengemudi yang membawa nilai-nilai pondok dalam wujud kerja nyata. Dan kendaraan itu, entah apa bentuknya kelak, akan melaju membawa ruh pengabdian yang sama.
Sebab pondok tidak mencetak pemuja simbol, tapi pemikul amanah. Ia tidak mendidik untuk mengejar status, tapi untuk mengabdi dengan ikhlas. Dan parade hari ini adalah latihan batin, bahwa untuk menjadi besar, harus berani memulai dari kecil; untuk menembus peradaban, harus rela menembus debu jalanan dengan motor tua yang tak pernah mogok dalam jiwa.
Kendaraan pondok ini adalah metafora. Ia mengajarkan kita tentang kesabaran dalam perjalanan, tentang keikhlasan dalam deru yang kadang serak, tentang perjuangan yang tak perlu sorotan sorak. Ia mengingatkan kita bahwa pengabdian bukan tentang kemewahan, tapi ketulusan. Bahwa teknologi hanya alat, nilai tetap tujuan.
Dan jika hari ini kita melihat Ustad Muizu dan Ustad Armar mengendarai motor itu dengan penuh bangga, itu karena mereka tahu: mereka sedang melanjutkan perjalanan yang pernah dimulai oleh seorang kiai di Liabuku, yang dengan basah peluh dan bening air mata membangun mimpi besar bernama Al-Amanah.
Maka marilah kita rawat warisan ini.
Dengan semangat, bukan nostalgia.
Dengan tindakan, bukan sekadar cerita.
Karena di balik setiap kendaraan tua itu, ada cita-cita besar yang menunggu untuk disampaikan pada dunia.
Dan kita—alumni, guru, santri, sahabat pondok—adalah para penumpangnya. Kita harus siap mengarungi perjalanan panjang ini dengan keberanian, keikhlasan, dan keyakinan bahwa Al-Amanah akan terus melaju, menembus zaman, dan menyalakan peradaban.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar