Langsung ke konten utama

๐Œ๐ž๐ซ๐š๐ฐ๐š๐ญ ๐’๐ข๐ฅ๐š๐ญ๐ฎ๐ซ๐š๐ก๐ฆ๐ข, ๐Œ๐ž๐ง๐š๐ง๐ ๐ค๐š๐ฉ ๐ˆ๐๐ž: ๐Œ๐ž๐ง๐ฒ๐ž๐ฆ๐š๐ข ๐๐ž๐ซ๐ฎ๐›๐š๐ก๐š๐ง ๐๐š๐ซ๐ข ๐‡๐š๐ญ๐ข ๐ค๐ž ๐‡๐š๐ญ๐ข


Foto: (Dari Kanan) Muh.Ilham Saleh, La Rudi, Arsyid Saleh, Ustad Ja'far Karim, Ustad  Faisal Islamy, La Ode Ibrahim, Muchsan Muslihin, Abdul Muizu (27/07/2025)
Oleh: LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Ada yang tak lekang oleh waktu, meski musim silih berganti dan jarak menjulur dalam bilangan hari. Ia adalah silaturahmi. Ia seperti jembatan yang tak pernah usang, tempat gagasan menyeberang, tempat kenangan berlalu-lalang, tempat doa-doa diam-diam disampaikan dari hati yang tulus untuk mereka yang pernah dan selalu menjadi guru serta sahabat dalam hidup.

Hari ini, di tengah riuhnya dunia yang dijejali notifikasi dan hiruk-pikuk rutinitas, kita sering kehilangan arah, lupa akan sumber mata air yang dulu menuntun langkah: para guru dan sahabat. Mereka bukan hanya pengisi lembaran masa lalu, tapi pelita yang tak henti menyala meski jarak dan waktu berusaha memudarkannya. Maka merawat silaturahmi bukanlah nostalgia kosong, melainkan perwujudan syukur. Ia adalah ikhtiar menjaga cahaya yang pernah dan terus membimbing kita.

Di sebuah ruang sederhana, di beranda, di bawah langit pagi atau senja yang temaram, saat kopi baru saja diseduh dan tawa-tawa lama kembali hadir, sering kali dari sanalah perubahan besar lahir. Tak perlu panggung megah atau forum resmi, cukup obrolan santai dengan para guru dan sahabat, dan gagasan-gagasan mulai mencuat. Karena setiap perjumpaan yang dilandasi cinta dan niat baik, selalu punya potensi menjadi suluh perubahan.

Foto: (Dari Kanan) Ustad Falah Sabiri, Ustad Muh. Ilham Saleh, KH. Ahmad Karim, Ibu Haji dan anak Hj. Nurmarlina Sabirin, Ustad Faisal Islamy, Ustad Jafar Karim, H. Husni Desi, H.Muh. Hasanuddin Saleh, Ustad Arsyid Saleh, Ustad Suddin Aly.

Silaturahmi: Menyulam Rasa, Meneguhkan Makna

Betapa sering kita temui bahwa satu pelukan dari guru di masa lalu mampu meruntuhkan keangkuhan, dan satu genggaman tangan sahabat menguatkan kembali niat yang nyaris padam. Silaturahmi bukan sekadar temu fisik; ia adalah bahasa kasih sayang yang menyembuhkan luka, memperteguh iman, dan menghidupkan gairah berbuat baik.

Seorang guru bukan hanya orang yang mengajarkan, tapi yang menghidupkan pelajaran. Ia adalah ruh dari ilmu, pelita dalam gelap, dan suara dalam sepi hati muridnya. Dalam kunjungan-kunjungan kita, meski hanya sesekali, ada pengakuan diam-diam: bahwa kita tak akan menjadi seperti sekarang jika bukan karena bimbingannya. Dan pada sahabat, kita temukan cermin diri. Kita tahu siapa kita dari cara mereka memanggil nama kita dengan nada yang hanya mereka punya.

Silaturahmi adalah cermin keikhlasan. Di sana, tak ada pangkat, tak ada jabatan, yang ada hanya kesetaraan batin dan kerinduan yang dijahit kembali. Dan sering kali, dari pertemuan-pertemuan inilah lahir ide-ide besar—tentang pendidikan, sosial, ekonomi, hingga arah baru dalam hidup.

Dari Obrolan Menjadi Perubahan

Setiap obrolan bersama guru dan sahabat adalah ladang hikmah. Kita menangkap celah perubahan dari guratan wajah mereka, dari intonasi yang berubah, dari kisah-kisah kecil yang menyelip dalam tawa. Kadang-kadang, perubahan tidak butuh seminar besar. Ia hanya butuh satu kata dari seorang guru: “Kamu bisa.” Atau satu kalimat dari sahabat: “Ayo kita coba bersama-sama.”

Ide-ide besar lahir bukan karena pikiran jenius semata, tapi karena ruang yang hangat dan hubungan yang sehat. Dan silaturahmi itulah ladangnya. Seorang sahabat pernah berkata: “Silaturahmi itu seperti mengisi bahan bakar ide. Kadang kita kehabisan tenaga bukan karena tak mampu, tapi karena tak ada yang mengingatkan tujuan kita.”

Merawat Silaturahmi: Sebuah Revolusi Sunyi

Merawat silaturahmi di zaman ini adalah sebuah revolusi sunyi. Ia tidak ramai, tidak viral, tapi kekuatannya meresap seperti embun ke dalam tanah. Ia memperkuat akar, bukan hanya batang. Kita tidak sedang hanya bertukar kabar, tapi sedang memperbarui niat, menyambung kekuatan batin yang dulu pernah menyatu dalam ruang-ruang belajar dan perjuangan.

Foto: Alumni Permata Angk. 3 Ponpes SAW
 (Dari Kanan) Muh. Ilham Saleh, La Rudi,
Abdul Muizu (27/07/2025)

Mungkin sahabat kita sekarang menjadi petani, pengusaha, guru, dosen, anggota dewan, bahkan mungkin ada yang hanya menjadi ‘biasa-biasa’ saja di mata dunia. Tapi saat duduk bersama, kita menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar biasa. Semua istimewa, karena semua punya cerita. Dan dari cerita-cerita itu, kita menangkap arah baru, jalan baru, dan semangat baru.

Peta Perubahan dari Hati ke Hati

Apa arti perubahan? Ia bukan semata-mata kebijakan besar atau proyek-proyek megah. Ia adalah perubahan cara pandang, perubahan sikap, perubahan cara kita memperlakukan guru dan sahabat. Ia lahir saat kita mulai melihat bahwa waktu kita terbatas, dan silaturahmi bukan hanya tentang mengisi waktu luang, tapi tentang menunaikan hak dan rasa.

Di tengah era digital, saat semua serba cepat dan instan, silaturahmi mengajarkan kesabaran dan kedalaman. Ia menjadi ruang belajar kembali: tentang adab, tentang kepekaan, tentang pentingnya menyapa sebelum lupa, menjenguk sebelum terlambat, dan menyimak sebelum dunia benar-benar sibuk.

Menjadi Bagian dari Cahaya

Ketika kita duduk bersama guru dan sahabat, sesungguhnya kita sedang duduk bersama cahaya. Kita menyimak kehidupan dari perspektif yang lebih tinggi. Dan jika kita teliti, selalu ada ajakan untuk berbuat lebih, menjadi lebih bermanfaat, dan meninggalkan jejak yang lebih berarti. Maka jangan abaikan ajakan silaturahmi, sebab di sanalah sering kali pintu perubahan dibuka.

Silaturahmi melahirkan gerakan, menyemai inspirasi, dan memperkuat jaringan. Ia adalah ekosistem spiritual yang menyuburkan tanah-tanah tandus jiwa kita. Dan ketika itu terjadi, kita menjadi bagian dari cahaya itu—cahaya yang menuntun, bukan hanya menerangi diri sendiri, tapi juga sekitar.

Mari Bertemu, Sebelum Terlambat

Mari kita rawat silaturahmi seperti merawat taman—disiram dengan doa, dipupuk dengan kepedulian, dan dibersihkan dari prasangka. Sebab jika taman ini tumbuh subur, maka ide-ide besar akan bermekaran, dan perubahan akan tumbuh tanpa paksaan.

Guru dan sahabat adalah anugerah. Jangan sampai waktu menyapu mereka sebelum kita sempat berkata terima kasih, sebelum kita sempat menceritakan bahwa mereka pernah menyelamatkan kita dari ketidaktahuan, dari putus asa, dari jalan yang salah.

Bertemulah, sebelum waktu merampas kesempatan. Sebab dari pertemuan yang hangat dan bermakna, kita tak hanya menumbuhkan persahabatan, tapi juga menyalakan peradaban. Maka rawatlah silaturahmi, karena dari sanalah perubahan bermula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

๐Œ๐ž๐ง๐ฒ๐ฎ๐ฅ๐š๐ฆ ๐€๐ซ๐š๐ก, ๐Œ๐ž๐ซ๐š๐ฐ๐š๐ญ ๐‰๐ž๐ฃ๐š๐ค: ๐Ž๐›๐ซ๐จ๐ฅ๐š๐ง ๐๐š๐ ๐ข ๐๐š๐ซ๐ข ๐–๐ข๐ฌ๐ฆ๐š ๐ˆ๐ง๐๐ซ๐š๐ฃ๐š๐ญ๐ข

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

๐‰๐ž๐ฃ๐š๐ค ๐‚๐š๐ก๐š๐ฒ๐š ๐๐š๐ซ๐ข ๐“๐ข๐ฆ๐ฎ๐ซ: ๐’๐š๐ง๐ญ๐ซ๐ข ๐€๐ฅ-๐’๐ฒ๐š๐ข๐ค๐ก ๐€๐›๐๐ฎ๐ฅ ๐–๐š๐ก๐ข๐ ๐Œ๐ž๐ง๐ž๐ฆ๐›๐ฎ๐ฌ ๐‹๐š๐ง๐ ๐ข๐ญ ๐€๐ฅ-๐€๐ณ๐ก๐š๐ซ

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

๐’๐ข๐ฅ๐š๐ญ๐ฎ๐ซ๐š๐ก๐ฆ๐ข ๐๐š๐ง ๐Š๐ž๐›๐ž๐ซ๐ฌ๐š๐ฆ๐š๐š๐ง: ๐‚๐š๐ก๐š๐ฒ๐š ๐€๐›๐š๐๐ข ๐๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ฆ๐ข๐ค๐ข๐ซ๐š๐ง ๐Š๐‡. ๐Œ๐ฎ๐ก. ๐’๐ฒ๐š๐ก๐š๐ซ๐ฎ๐๐๐ข๐ง ๐’๐š๐ฅ๐ž๐ก, ๐Œ๐€

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...