Langsung ke konten utama

𝐒𝐢𝐦𝐟𝐨𝐧𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐋𝐢𝐚𝐛𝐮𝐤𝐮


Oleh: LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)

Catatan Inspiratif dari Apel Khutbatul Arsy, 27 Juli 2025

Pagi itu, langit Liabuku belum begitu tinggi, mentari baru saja membuka tirai kabut yang menyelimuti bumi. Angin sejuk mengalir dari pegunungan ke laut, lalu menyusup pelan ke sela-sela pagar pondok yang masih menyimpan embun. Hari ini, 27 Juli 2025, pukul 07.30 pagi, saya melangkah dengan hati bergetar menuju lapangan upacara Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku. Ada yang istimewa hari ini—apel tahunan Khutbatul Arsy, pekan perkenalan sakral bagi santri dan keluarga besar pondok.

Tema besar yang diusung tahun ini begitu menggugah: “Menstafetkan Cita-Cita Pendiri, Beradaptasi dengan Teknologi.” Sebuah kalimat yang mengandung dua kekuatan utama: sejarah dan masa depan. Dua titik waktu yang tampaknya berjauhan, tapi justru saling meneguhkan arah, seperti dua mata pedang yang saling menopang kekuatannya di medan perjuangan.

Di tengah suasana pagi yang khidmat, drone perlahan-lahan mengangkasa. Matanya merekam setiap gerakan dari langit, dan menyajikannya secara langsung melalui Al-Amanah Liabuku TV. Sebuah pertanda bahwa pondok ini tidak berjalan mundur, melainkan melaju, menembus batas-batas ruang tradisional menuju era digital. Kamera drone itu menjadi saksi bisu akan tekad para pejuang ilmu yang tak hanya fasih dalam kitab, tapi juga tangkas menghadapi tantangan zaman.

Ustadz Faisal Islamy, M.Pd., pimpinan pondok, menyampaikan amanahnya dengan suara yang tenang namun membakar semangat. Ia berbicara tentang rencana yang terukur, langkah yang terencana, dan kualitas pendidikan yang harus terus ditingkatkan. Ia menyadarkan kami semua bahwa pondok bukan sekadar tempat tinggal bagi para santri, tapi sebuah lembaga pendidikan yang punya tanggung jawab besar: mempersiapkan generasi yang siap tampil di masyarakat dan dunia kerja dengan penuh integritas dan kepercayaan diri.

Satu per satu barisan santri diperiksa oleh para pemimpin pondok—Ustadz Faisal, Ibu Hj. Nurmarlina Sabirin, dan Direktur KMI Ustadz Arsyid Saleh, bersama para dewan guru. Langkah mereka menyusuri barisan adalah langkah sejarah, yang tak hanya menilai kerapian seragam dan keselarasan gerakan, tapi lebih dalam: menakar semangat, mengukur harapan, dan memastikan bahwa cita-cita pondok tetap membara dalam jiwa tiap santri.

Lalu bunyi marching band menggema, bagai dentuman genderang perjuangan. Santri dan santriwati memadukan langkah, irama, dan formasi dalam simfoni gerakan yang rapi dan penuh makna. Dari berbagai daerah mereka datang—Baubau, Buton, Muna, Wakatobi, bahkan dari luar Sulawesi Tenggara. Masing-masing mewakili konsulat daerahnya. Tapi hari ini, semua bersatu dalam satu nama: Al-Amanah.

Di pundak merekalah kelak akan dititipkan tongkat estafet cita-cita sang pendiri, almarhum KH. Muhammad Syahruddin Saleh. Seorang ulama pejuang, pendidik visioner, dan pemimpin yang membaktikan hidupnya untuk Islam melalui pendidikan. Ia tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter. Ia tak hanya mengatur pondok, tapi juga menanam nilai. Dan hari ini, kita menyaksikan benih-benih yang dulu ditanamnya, kini mulai tumbuh dengan kuat dan berbuah dalam bentuk pengabdian kolektif.

Semua komponen bergerak. Ada tangan-tangan yang terlihat—para ustadz dan ustadzah, para santri senior, pengurus harian pondok. Tapi juga ada tangan-tangan yang tidak terlihat: para alumni yang diam-diam membantu, wali santri yang setia mendoakan, dan masyarakat sekitar yang menjadi ekosistem pendukung pondok ini. Semuanya satu irama dalam simfoni perjuangan pendidikan yang panjang dan penuh berkah.

Di balik setiap kegiatan yang tampak megah hari ini, ada perenungan yang dalam: bahwa pondok adalah benteng terakhir pendidikan akhlak di tengah arus globalisasi. Di sinilah karakter dibentuk, jiwa disemai, dan mentalitas diasah. Apel tahunan ini bukan sekadar formalitas, tapi ikrar berjamaah bahwa pondok harus terus maju tanpa meninggalkan akar tradisi dan nilai.

Saya termenung sejenak di bawah teduh langit Liabuku. Drone masih menari di angkasa, seperti burung yang membawa kabar gembira. Bahwa di tempat yang mungkin sederhana secara fasilitas, sedang tumbuh generasi hebat dengan mimpi-mimpi besar. Bahwa dari balik tembok pondok ini, sedang dibentuk pemimpin masa depan yang cakap, santun, dan siap menghadapi tantangan global.

Tak terasa, pagi berganti siang. Tapi semangat dari apel Khutbatul Arsy ini terus mengalir dalam dada saya. Sebuah momen yang mengingatkan kita bahwa pengabdian itu tak hanya soal seberapa lama kita bertahan, tapi seberapa tulus kita berjuang. Dan bahwa teknologi bukan ancaman bagi pondok, melainkan jembatan yang mengantar nilai-nilai luhur ke penjuru dunia.

Di akhir acara, saya mencatat satu pelajaran penting: bahwa menstafetkan cita-cita bukan hanya mewarisi, tapi juga memperjuangkan. Bahwa beradaptasi dengan teknologi bukan sekadar menggunakan, tapi juga memaknai. Dan bahwa berdiri sebagai bagian dari Pondok Al-Amanah adalah kehormatan yang harus dibayar dengan pengabdian, ilmu, dan keteladanan.

Semoga semangat ini terus menyala, sebagaimana nyala mata para santri pagi tadi—mata-mata yang memandang jauh ke depan, tapi tetap berpijak pada akar yang kuat.

Simfoni pengabdian ini akan terus kita mainkan—dengan jiwa, dengan ilmu, dan dengan iman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐢𝐦𝐮𝐫: 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐀𝐥-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐖𝐚𝐡𝐢𝐝 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐛𝐮𝐬 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐀𝐥-𝐀𝐳𝐡𝐚𝐫

Oleh: La Rudi S.Hum., M.Pd (Alumni Permata Angk. 3 Ponpes Saw) Di antara deru ombak Buton dan sunyi malam Baubau yang mendalam, kabar bahagia menyelinap ke relung hati para pencinta ilmu: lima bintang kecil dari timur, santri-santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, kini bersiap terbang jauh ke negeri para ulama — Mesir, tanah Al-Azhar yang agung. Alhamdulillah , kelima anak negeri ini — Almawaddah dari Baubau, Fegita dari Siomou, Azhar dari Talaga Buton Tengah, Ld. Fahriansyah dari Lasalimu, dan Ilham dari Lombe Buton Tengah — telah membuktikan bahwa mimpi yang disulam dengan doa dan kerja keras mampu mengalahkan ketatnya seleksi nasional. Mereka lolos sebagai penerima beasiswa Kementerian Agama RI tahun 2025 dan diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan termasyhur di dunia. Bukan jalan lapang yang mereka lalui. Sebaliknya, medan itu terjal dan berliku. Seleksi yang diikuti lebih dari 2.800 peserta dari seluruh Indonesia dilaksanakan de...

𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧: 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐇. 𝐌𝐮𝐡. 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐫𝐮𝐝𝐝𝐢𝐧 𝐒𝐚𝐥𝐞𝐡, 𝐌𝐀

La Ode Ibrahim S.Pd.I., M.Pd Alumni Perdana Ponpes SAW Di tengah riuh rendah zaman yang kerap memisahkan manusia dalam sekat-sekat individualisme, KH. Muh. Syaharuddin Saleh, MA, hadir sebagai sosok yang menyalakan obor kebersamaan. Dalam keheningan pikiran yang ke dalam, beliau melahirkan gagasan besar tentang silaturahmi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan manusia, tetapi juga mengisyaratkan hati dan memperkuat iman. Pemikiran beliau ini tidak hanya menjadi teori yang mengisi kitab, tetapi diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata melalui pembentukan Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid (IKPA) pada tahun 2000. Di mata beliau, silaturahmi bukan sekedar bertemu atau berbicara. Ia adalah seni menyambung hati, membangun jembatan kasih sayang, dan menciptakan ruang di mana manusia bisa saling mendukung. Gagasan ini disampaikan pada saat saya ditunjuk sebagai ketua pertama IKPA. Ini dasar memahami silaturahmi sebagai pilar utama dalam membangun kebersamaan di ...