Hari itu, Selasa, 10 Juli 2025. Jarum jam menunjuk pukul sebelas siang. Matahari mengambang di atas kepala, tidak terlalu garang namun cukup membuat bayangan jatuh tegas ke tanah. Langit bersih, langit Baubau yang pada musim ini bersahabat dengan hati yang sedang ingin berdiskusi. Siang itu, saya tidak sedang mengejar janji atau terburu waktu, melainkan hendak mengisi hari dengan perbincangan penuh makna bersama seorang sahabat, guru, sekaligus pemikir pendidikan—Ustadz Faisal Islamy, M.Pd. (Pimpinan Pondok Al-Amanah).
Kami duduk bersila di ruang sederhana namun bersih dan lapang, suasananya tenang dan teduh. Suara kipas angin bersanding akrab dengan canda tawa kami yang menyelingi obrolan penuh keseriusan. Tidak ada meja bundar seperti dalam simposium akademik, tidak pula pengeras suara atau proyektor. Tapi diskusi kami hari itu memancar terang, melebihi cahaya presentasi digital manapun.
Kami bicara tentang *mutu pendidikan*. Tentang bagaimana sejatinya sebuah lembaga pendidikan tidak hanya menjadi bangunan fisik tempat transfer ilmu pengetahuan, melainkan rumah besar pembentukan manusia seutuhnya. Ustadz Faisal mengawali dengan satu kalimat yang menyentuh relung kesadaran saya:
"Mutu itu bukan hanya kurikulum, bukan hanya gedung. Mutu itu keteladanan. Baik dalam perkataan, apalagi dalam perbuatan."
Saya terdiam. Menyimak. Ada jeda dalam batin saya, merenungi makna kata "keteladanan" itu.
"Kita ini hidup di era di mana informasi begitu melimpah. Anak-anak kita bisa belajar apa saja lewat layar gawai. Tapi satu hal yang tak bisa mereka pelajari dari internet adalah karakter yang tumbuh dari keteladanan langsung," lanjutnya dengan sorot mata tajam namun hangat.
Menurutnya, kualitas pendidikan hanya akan dapat diraih jika guru, ustadz, dan pendidik memiliki visi yang jelas tentang ke mana anak-anak dididik. "Sekolah bukan sekadar ruang kelas. Ia adalah arah, peta perjalanan. Guru bukan hanya pengajar, ia adalah navigator yang harus tahu betul samudra mana yang akan dilewati anak-anak ini."
Saya membalas dengan satu kalimat ringan, "Kalau begitu, guru bukan hanya orang yang pandai menjelaskan, tapi harus mampu menjadi cermin."
Ia mengangguk, "Betul. Karena kalau tidak begitu, anak-anak ini akan menghafal pelajaran, tapi tidak akan paham bagaimana hidup."
Dalam jeda tawa kami, ia menambahkan satu kalimat penuh daya, "Mutu itu tidak bisa dijiplak, ia harus ditumbuhkan. Dan benihnya adalah ketulusan."
Obrolan ini tidak berhenti pada tataran teori. Ia berbagi pengalaman konkret. Tentang bagaimana ia membimbing guru-guru muda di Pondok Pesantren Al-Amanah untuk tidak hanya sibuk mengisi RPP, tetapi juga mendampingi siswa melewati masa-masa sulit mereka.
"Pendidikan itu bukan proses mencetak murid menjadi sama, tapi menumbuhkan mereka menjadi dirinya yang terbaik. Dan itu butuh penglihatan yang jernih, niat yang kuat, dan kesabaran yang tak terbatas," ujarnya sembari menyeruput air putih.
Saya merasa seperti sedang mendengar lantunan nasihat dari seorang sufi zaman modern, yang menjadikan dunia pendidikan sebagai jalan pengabdian.
Kami pun menyepakati satu hal besar dari obrolan kami hari itu: bahwa *mutu pendidikan bukan hanya soal output angka, tapi tentang bagaimana setiap anak merasa dilihat, dipahami, dan dipersiapkan untuk menghadapi dunia yang sebenarnya.*
Maka, kehadiran guru yang penuh kasih, bijaksana, dan mampu menjadi teladan menjadi kebutuhan utama dalam setiap ruang kelas. Karena pada akhirnya, mutu bukanlah standar dari luar yang dipaksakan, tapi cahaya dari dalam yang ditumbuhkan.
Saat obrolan mulai menepi, saya mengucapkan terima kasih dengan sepenuh hati. "Terima kasih, Ustadz, hari ini saya tidak hanya belajar tentang pendidikan, tapi juga tentang makna hidup yang lebih luas."
Ia hanya tersenyum, "Saatnya bermanfaat."
Kami pun berpisah. Tapi kata-katanya tidak. Ia tinggal dan bergaung dalam dada saya, menyisakan keyakinan bahwa selama masih ada guru yang seperti Ustadz Faisal Islamy, pendidikan kita tidak akan kehilangan arah.
Dan barangkali, dari obrolan santai yang tampak biasa inilah, lahir semangat luar biasa untuk terus menumbuhkan mutu dalam dunia pendidikan—dengan ketulusan, keteladanan, dan keberanian menjadi cahaya di tengah zaman.
Komentar
Posting Komentar