Oleh: LaR
(Sang Pengelana Pendidikan)
Minggu sore, 13 Juli 2025, langit di atas Liabuku tampak tenang. Awan-awan tipis menggantung bagai tirai putih di langit biru, seolah sedang menyaksikan kisah persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Saya melangkah ke kediaman seorang sahabat, Ustadz Abdul Muizu, seorang alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid, sekaligus kini menjadi salah satu pengasuh santri di Pondok Al-Amanah Liabuku. Di rumah yang sederhana namun hangat itu, saya disambut bukan hanya dengan tangan terbuka, tapi juga dengan wajah penuh keramahan dari istrinya, Ustadzah Kasmi, yang juga alumni pondok Al-Amanah dan kini menjadi salah satu pengajar teladan.
Kami duduk melingkar di ruang tamu, ditemani secangkir teh panas dan suguhan pisang walanda—kue khas Bugis yang manisnya menyentuh sampai ke kalbu. Kudapan itu dipesan langsung dari sahabat kami, Ustadzah Siti Rahma, yang kini menjadi seorang wirausaha kuliner sukses, menyebar cita rasa nusantara dari dapurnya di Liabuku ke berbagai penjuru kota. Lidah kami dimanjakan oleh rasa, sementara kenangan pun mulai mengalir seperti sungai yang tak bisa dibendung.
Kami bercerita tentang masa-masa kuliah di Yogyakarta, sekitar awal tahun 2000-an. Masa ketika idealisme sedang hangat-hangatnya, dan hidup begitu sederhana tapi bermakna. Kost-kostan sempit yang hanya cukup untuk tidur dan belajar, motor pinjaman teman, uang kiriman orang tua yang pas-pasan, serta malam-malam panjang yang diisi dengan diskusi, membaca buku, dan menulis mimpi. Kami teringat saat mengendarai sepeda ontel dari satu seminar ke seminar lain, demi menyerap ilmu dan semangat zaman. Yogyakarta, dengan segala keramahannya, bukan hanya menjadi kota pelajar, tetapi juga kota pencetak jiwa-jiwa merdeka.
"Waktu itu, kita berpikir hidup itu masih panjang," ucap Ustadz Abdul Muizu sambil tertawa kecil. "Sekarang, waktu itu sudah pergi dan membawa kita sejauh ini."
Obrolan itu bukan sekadar nostalgia. Ia adalah pengingat, bahwa kehidupan bergerak tanpa kompromi. Usia yang tak lagi muda membawa tanggung jawab yang lebih besar. Kami bukan lagi mahasiswa yang bermimpi di balik tumpukan buku. Kami kini adalah ayah, suami, guru, dan pengabdi. Tugas kami bukan hanya memahami hidup, tetapi menuntun generasi berikutnya agar tahu arah dan tujuan.
Saya melihat kesungguhan di mata Ustadz Abdul Muizu. Ia kini memikul amanah sebagai bapak pengasuhan santri di Pondok Al-Amanah. Sebuah posisi yang tidak hanya menuntut kesabaran, tapi juga keteladanan. Ia bersama sahabat-sahabat sesama alumni, berjuang mencetak generasi berilmu dan berakhlak, yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Pondok Al-Amanah kini bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan rumah besar bagi cita-cita umat.
"Pendidikan itu tidak cukup dengan transfer ilmu. Ia butuh keteladanan. Santri harus melihat langsung bagaimana kita hidup, bukan sekadar mendengar apa yang kita ucapkan," ujar Ustadz Abdul Muizu. Kata-katanya menggema dalam pikiranku.
Dan saya menyadari, bahwa pertemuan sore ini bukanlah pertemuan biasa. Ia adalah perjumpaan yang merajut kembali jalinan semangat pengabdian yang sempat terurai oleh kesibukan dan jarak. Kami tidak sedang membicarakan bisnis, politik, atau dunia maya. Kami sedang membicarakan masa depan umat, melalui jendela kecil bernama pendidikan.
Tak terasa waktu bergulir. Matahari mulai beranjak dari peraduannya, meninggalkan cahaya lembut di ufuk barat. Kami pun berpamitan, menyadari bahwa cerita hari ini adalah bekal untuk melangkah esok. Dalam hati saya bersyukur, karena dalam keheningan obrolan santai ini, Allah menitipkan banyak makna. Tentang arti sahabat, pentingnya pengabdian, dan bahwa setiap langkah kecil di jalan kebaikan akan bergaung besar di akhirat nanti.
Pisang walanda boleh habis, teh boleh dingin, tapi nilai-nilai yang lahir dari perbincangan ini akan abadi dalam kenangan. Inilah cerita kami, dari pondok ke kota, dari masa lalu ke masa depan. Jalan pengabdian memang sunyi, tapi bersama sahabat, ia menjadi terang.
Semoga Allah terus menguatkan langkah-langkah kami, dan menjadikan setiap obrolan sebagai ladang pahala..

Komentar
Posting Komentar