Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤: 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐖𝐢𝐬𝐦𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭𝐢

Oleh : LAR (Sang Pengelana Pendidikan)   Pagi itu, Minggu, 29 Juni 2025, jam menunjukkan pukul 06.30 ketika udara Liabuku masih segar, seperti baru dicuci oleh hujan rintik-rintik yang reda beberapa saat sebelumnya. Kabut tipis menyelimut bukit-bukit kecil di kejauhan, seakan menyambut hangat pagi yang penuh harapan. Di sebuah sudut pondok yang sederhana namun bermakna—Wisma Indrajati, Pondok Pesantren Al-Amanah Liabuku—terjadi pertemuan kecil, namun sarat makna. Kami duduk berhadapan dalam suasana santai, tak ada podium, tak ada protokol. Hanya segelas kopi hangat, semangkuk geroncong, dan tuli-tuli, yang panasnya masih mengepul, beberapa bungkus nasi kuning, dan tawa-tawa ringan yang kadang pecah menembus diam. Saya, Ustad Riyan Ahmad, dan Ustad Roni, dan  menjadi pendengar setia dalam perbincangan yang membuka tabir masa depan, dan menyusul  Ustad Falah Sabirin yang keberadaannya tidak sampai selesai, karena harus segera menghadiri rapat di Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid...

𝐊𝐨𝐩𝐢 𝐒𝐮𝐬𝐮, 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 𝐝𝐢 𝐊𝐢𝐨𝐬 𝐌𝐚𝐦𝐚 𝐅𝐚𝐢𝐫𝐮𝐳

Foto: (Dari Kanan) tampak Ustad Jamal Ponda, Ustad Kasmas, Ustad Riyan Ahmad, Ustad Hamied, dan Saya Catatan : LAR (Sang Pengelana Pendidikan) Gerak Jemari IKPS- , Sabtu malam, 28 Juni 2025. Jam menunjukkan pukul 20.00 ketika saya, Ustad Riyan Ahmad, Ustad Mulimu, Ustad Kasman, Ustad Jamal Ponda, Ustad Harun Bahrun yang masing-masing memarkirkan motor dan sedikit melangkah  ke sebuah tempat yang telah menjadi beranda peradaban kecil bagi kami—Kios Mama Fairuz. Terletak di samping Kuburan Islam Bataraguru, kios ini tak hanya menjual aneka roti dan pulsa, tapi juga menjadi ruang berkumpulnya gagasan, nostalgia, dan bara semangat dari para alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Malam itu langit menggelayut mendung, dan rintik hujan seperti memainkan simfoni lembut di atas atap seng kios. Di dalam, cahaya lampu philip menyinari wajah-wajah yang tak asing: Ustadz Kasman Rauf, anggota DPRD Buton Tengah yang lugas dan bersahaja, dan Ustadz Jamal Ponda, sosok tenang nan cerdas, kin...

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐦 𝐆𝐚𝐠𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐎𝐛𝐫𝐨𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢𝐫 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧

Menempuh Jalan Sunyi Penambang Pengetahuan Foto: (Dari Kanan) Hamid Munir, Safar Yahya, La Rudi (Lokasi Kios Mama Fairuz, 13/06/2025 ) . Pagi itu, Jumat yang teduh. Langit baru saja menumpahkan hujan rintik yang cukup membuat daun-daun berkilau dan jalanan memantulkan aroma tanah yang khas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 08.30 ketika aku memutuskan singgah di sebuah kios kecil yang sederhana namun akrab: Kios Mama Fairuz. Terletak di samping pemakaman Islam, kios ini menjual aneka roti dan pulsa. Tempat itu tak hanya menjadi persinggahan lapar, tapi kadang juga menjadi ruang diskusi yang tak terduga. Dan pagi itu, seperti biasa, aku membeli beberapa roti—dua bundar dan dua donat. Tapi yang lebih penting dari itu: sebuah percakapan lahir di sela-sela gigitan rasa dan rintik hujan. “ Ambilkan saya roti bundar dua ini dan donat dua ,” ucapku. Sambil menunggu, aku membuka obrolan dengan Hamid Munir, pemilik kios yang juga alumni Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Pembicaraan kami m...

𝐀𝐫𝐭𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐦𝐚𝐢 𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐈𝐝𝐮𝐥 𝐀𝐝𝐡𝐚 𝐝𝐢 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢

Foto Dari Kanan: Ust. Harun Rijali, La Ode Ibrahim  Haeruddin, Husain Mahfud dan La Rudi Oleh La Rudi (Sang Pengelana Pendidikan)  Di tengah gema takbir yang melambung dari menara masjid dan bergetar di langit-langit hati, Idul Adha datang tak sekadar sebagai hari raya. Ia hadir sebagai tafsir spiritual tentang cinta yang agung, pengorbanan yang tulus, dan kepasrahan yang total kepada kehendak Ilahi. Namun, di balik makna besar itu, ada jalinan lain yang tak kalah luhur: persahabatan. Khususnya, persahabatan ala santri—yang lahir dari lantai musholla, dari barisan shaf-shaf rapat, dari tidur bersama di asrama, dari tawa dan air mata yang mengalir dalam satu ikatan suci: ukhuwah fi sabilillah . Foto: Dari Kanan Ust. Syarifuddin N, Husein Mahfud Idul Adha di Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid bukan hanya tentang menyembelih hewan kurban. Lebih dari itu, ia menjadi momentum menyembelih ego, memotong-motong kesombongan, dan menyajikan keikhlasan dalam nampan persaudaraan. Sant...

𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐦𝐚𝐢 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢 𝐍𝐚𝐛𝐢: 𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐈𝐝𝐮𝐥 𝐀𝐝𝐡𝐚 𝐝𝐢 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐨𝐤

Oleh : La Rudi (Sang Pengelana Pendidikan) Jumat pagi, 6 Juni 2025. Udara masih menyimpan sejuk subuh ketika langkah-langkah para santri, ustadz, para alumni dan masyarakat sekitar pondok mulai menyemut ke pelataran utama Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Di bawah langit biru yang belum sepenuhnya cerah, gema takbir Idul Adha telah bergema sejak dini hari, menggetarkan rongga hati yang rindu akan makna pengorbanan. Bukan hanya gema suara, tapi gema jiwa yang ditarik kembali pada kisah abadi antara seorang ayah dan putranya, Ibrahim dan Ismail. Sebuah kisah yang tak hanya dibaca, tapi dijalani dalam nafas pesantren: ketaatan, keikhlasan, dan pengabdian. Pagi itu, halaman pondok berubah menjadi lautan putih. Sarung dan baju koko, mukena dan jilbab putih menghampar seperti sajadah besar. Semua berdiri dalam saf, tak ada sekat antara guru dan murid, alumni dan santri, tua dan muda. Yang terdengar hanyalah lantunan takbir yang dipandu oleh suara khusyuk para guru: KH. Rasyid Sabirin, ...

𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐈𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐩𝐚𝐭𝐫𝐢: 𝐏𝐞𝐫𝐜𝐚𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐏𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐊𝐚𝐦𝐢𝐬

Ustadz Ja'far Karim S.Pd., M.Hum Oleh: La Rudi (Sang Pengelana Pendidikan) Pagi itu, Kamis 5 Juni 2025, matahari belum terlalu garang ketika langkah-langkahku menyusuri jalan sempit kiri kanan penjual pasar Kamis Jembatan Batu. Aroma tanah basah yang bercampur bau ikan asin dan rempah-rempah seolah menyambutku kembali ke ruang kenangan masa lalu. Tak ada niat belanja, hanya sekadar menyegarkan pikiran dengan hiruk-pikuk kehidupan pasar. Tapi di balik kesederhanaan pagi itu, Allah mempertemukanku dengan seorang pendidik/ ustad/ orang tua/ sahabat seperjalanan—sosok yang tak hanya mengajar, tetapi menanam nilai dalam jiwaku. "Assalamu’alaikum," sapaku pelan. "Waalaikumu’ssalam," jawabnya sembari menoleh. Matanya menyipit menahan senyum. "Mau belanja apa ini?" tanyanya. "Saya tidak belanja, hanya sekadar jalan-jalan," jawabku. Dialah Ustadz Ja’far Karim. Dulu, hampir tiga dekade lalu, aku adalah santri nakal di bawah pengawasannya. Hari ini, aku...

𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐌𝐞𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠, 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠: 𝐊𝐡𝐚𝐭𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐲𝐚𝐥𝐚 𝐂𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧

Oleh: La Rudi  (Sang Pengelana Pendidikan) Minggu pagi, 1 Juni 2025. Hujan rintik-rintik turun pelan, seolah langit pun ingin ikut bersujud dalam syukur bersama para santri dan santriwati Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid. Langit tak garang, tapi mendung lembut yang melindungi. Seolah semesta paham, hari ini adalah hari sakral: hari khataman—penanda akhir sebuah perjalanan panjang, dan awal dari sebuah pengembaraan baru. Jam menunjukkan pukul 08.30 ketika saya melangkah pelan ke lokasi acara. Hati saya mendadak dipenuhi kenangan 25 tahun silam. Saya duduk di bangku alumni, menyaksikan deretan adik-adik santri yang kini bersiap melanjutkan estafet cahaya. Dulu saya berdiri di panggung yang sama, dengan suara bergetar dan mata yang basah oleh haru. Hari itu saya menyampaikan sambutan perpisahan sebagai alumni Permata Angkatan-3—sebuah momen yang hingga kini tetap membekas, seperti goresan paku di papan hati. Di bawah tenda yang sederhana—yang disewa khusus untuk acara ini—berd...